Sjahrir, Perantauan, Pengasingan

Mengenangkan Sutan Sjahrir sembari menjejaki Kota Bandung adalah juga pengembaraan halaman demi halaman buku, tetes-tetes tinta yang digoreskan dan pemihakan pada kaum yang ditindas kolonialisme.

Yus Ariyanto
Oleh Yus Ariyanto 303 Dilihat
11 menit membaca

Temanku yang baik,

Kapan terakhir kali kau mengunjungi Bandung? Kota itu pasti masih tersimpan dengan baik di bilik ingatan. Bertahun-tahun silam kita pernah memeluk sejuk udara, menjejaki kotor trotoar, mencerca pembuat lubang galiannya. Keluyuran di Dipati Ukur, Cikapundung, Buah Batu, Braga, Cicadas, Palasari.

Ah ya, Palasari… Kita kerap berdua menuju ke sana. Lazimnya usai menerima jatah bulanan dari orang tua masing-masing. Mampir ke Gramedia di Jalan Merdeka, menandai buku-buku terbaru, lalu mengejar angkot yang mengantar ke bursa buku tersebut. Sebagai mahasiswa berkocek tipis, diskon 20%-30% niscaya berharga. Apalagi ada bonus sampul.

Di Bandung pula kita mulai mengenal Sutan Sjahrir. Kau penasaran dengan kiprah Bung Kecil. Kayaknya seusai menyimak esai Romo Mangunwijaya, sepucuk esai yang terang-benderang ditulis oleh seorang pengagum berat, di jurnal Prisma. Setelahnya, kau bolak-balik ke Palasari, bergerak dari satu kios ke kios lain, berharap memergoki Renungan Indonesia. Tapi, nihil belaka. Di Gramedia sudah tak bisa dijumpai. Lantas tiba momen ketika seorang kawan mencurinya dari perpustakaan sebuah kampus.

Renungan Indonesia memuat surat-surat Sjahrir dari pengasingan di Boven Digoel dan Banda Neira (1934-1938). Setiap pekan, ia menulis dua atau tiga surat untuk istrinya, Maria Duchateau, di Belanda. Maria lalu menyunting surat-surat itu, menerbitkan di bawah judul Indonesiche Overpeinzingen. HB Jassin menerjemahkan beberapa tahun kemudian.

Pada akhirnya, kumpulan surat Sjahrir tersebut berpindah ke kamar kosmu hanya beberapa hari setelah dicuri. Doktrin “dilarang mencuri di kebun tetangga” terabaikan! Bermanfaat lantaran kau segera membaca dengan rakus meski dihinggapi semacam rasa khawatir bakal merusaknya. Maklum, buku telah berusia hampir 50 tahun saat tiba di tanganmu.

Belakangan aku jadi tergoda untuk juga menyimak. Apa yang masih menetap di kepalanya pada hari-hari ini?

2.
Chalid Salim menulis begini tentang Sjahrir, ”…dari percakapan kami ternyata bahwa ia sungguh-sungguh seorang Hollandophile atau pencinta Belanda dan sungguh berpaham anti-komunis. Kehidupannya di Leiden sebagai seorang mahasiswa rupanya melekatkan cap kebelandaan pada dirinya…Sungguh tolol orang-orang Belanda mengasingkan dua intelektual itu (Mohammad Hatta dan Sjahrir) yang berpaham Eropa ke tempat pengasingan yang buruk ini.”

Kau mesti masih ingat, Chalid Salim adalah adik kandung Haji Agus Salim. Ia redaktur Pewarta Deli. Dicap sebagai komunis dan dituding mengoyak ketertiban umum dengan tulisan-tulisannya, Chalid harus mendekam di Boven Digoel selama 15 tahun (1928-1943).

Chalid Salim tak sendiri. Cukup banyak orang yang mengenal Sjahrir, menyimpan anggapan demikian. Ketua Amsterdamsche Sociaal Democratische Studenten Club, Salomon Tas, kurang-lebih berpikiran senada.

Sjahrir tiba di Belanda pada akhir musim panas 1929. Kakak perempuannya, Sjahrizal Djoehana, telah setahun di Amsterdam, bersama suami yang tengah melanjutkan pendidikan spesialis dokter. Sjahrir mula-mula masuk Fakultas Hukum di Universitas Amsterdam – tapi kemudian pindah ke Universitas Leiden.

Sejak awal, Sjahrir terlihat tak terlalu berminat dengan pendidikan formal. Salah satu kegiatan pertamanya sejak tiba adalah menemukan pergaulan di kalangan kaum sosialis. Salomon Tas menjadi sosok yang ia cari.

Mereka lalu segera menjadi akrab dan kerap bertemu. Apa yang paling kerap mereka obrolkan? Kolonialisme. Mungkin kalau zaman kita ya, Orde Baru, rezim berlumuran darah yang membiakkan korupsi di mana-mana.

Dalam bahasa Tas, persoalan kolonialisme itu nyata, dramatis, serta menyulut perasaan romantik dan rasa cinta pada perjuangan. Mereka sepakat Hindia Belanda harus merdeka, sesegera mungkin.

Tentang persona kawannya ini, dalam Souvenirs of Sjahrir (1969), Tas bilang, “Saya tidak menemukan pada dirinya yang mirip stereotipe mental oriental. Ia suka bicara langsung ke inti persoalan, tidak suka berputar-putar dulu, selalu terbuka menyikapi ide-ide pihak lain.”

Ah, kau juga pasti masih ingat bahwa Salomon Tas adalah mantan suami Maria Duchateau. Hubungan yang lumayan “rumit” tapi manis di antara mereka bertiga.

Hanya dua tahun Sjahrir di Negeri Bunga Tulip, kuliahnya belum kelar. Ia pulang ke Hindia Belanda untuk mengurusi pergerakan yang kocar-kacir setelah penangkapan Sukarno dan PNI yang membubarkan diri. Jalannya, bersama Mohammad Hatta, menuju pengasingan terbentang. Aktivitas mereka dengan PNI Baru terlalu mengkhawatirkan rezim kolonial.

Temanku yang baik,

Sjahrir bukan tak menyadari kemunculan persepsi bahwa dirinya “kebelanda-belandaan.” Pada surat 9 Maret 1936, di Banda Neira, ia mengakui dirinya relatif kurang populer di kalangan orang-orang nasionalis dan intelektual di Indonesia. Sebagian besar lantaran dirinya mempunyai apa yang mereka sebut sebagai “kecenderungan-kecenderungan Barat.”

Dalam surat 28 Agustus 1937, Sjahrir menandaskan bahwa dirinya bukan seorang Hollandophile kendati pendidikannya separuh Belanda.

Ia tak memungkiri mempunyai kenangan indah kepada negeri yang kebanyakan orang se-Tanah Air membencinya. Belanda segera akrab karena seperti telah tertanam di memori berkat buku-buku sejak masa kanak.Tidak banyak hal asing karena ia sudah mengenalnya via bacaan. “Aku merasa di rumah sendiri; tak pernah aku merasa rindu pada Tanah Air,” tulis pria kelahiran 5 Maret 1909 itu.

Rindu tidak, cinta iya. Di pengujung surat Sjahrir mengaku cinta pada Tanah Air-nya dan orang-orangnya. Agak membingungkan mungkin. Tapi, sedikit bisa dipahami jika mengingat alasannya, yaitu: “…terutama barangkali karena aku selalu mengenal mereka sebagai pihak yang menderita, sebagai pihak yang kalah. Jadi sesuatu yang normal sekali; simpati kepada underdogs, orang-orang tertindas.”

Beberapa bulan sebelumnya, pada 31 Desember 1936, ia menuliskan persepsi tentang Barat. Buat Sjahrir, Barat berarti kehidupan yang bergelora, kehidupan yang melesat maju dan dinamis. Dia yakin bahwa hanya Barat, dalam pengertiannya itu, yang bisa membebaskan Timur dari perbudakan. Sejumlah orang memformulasikan Timur sebagai perwujudan kedamaian dan ketenangan jiwa. Buat Sjahrir, itu masa lalu, bahkan tak pernah ada, hanya ilusi.

Feodalisme dan perbudakan, dalam pengertian yang luas, kiranya menjadi musuh utama seorang Sutan Sjahrir. Dalam sejumlah surat, ia menyampaikan hal tersebut.

Ia menulis, dalam surat 12 Maret 1937, sifat-sifat ketimuran yang dikagumi Barat hanya cocok menyangkut soal relasi hierarkis dalam sebuah masyarakat feodal. “….di mana satu golongan kecil memiliki kekayaan benda dan mental dan bagian lain yang terbesar hidup dalam kemiskinan dan kepasrahan, dengan agama dan filsafat sebagai kompensasi makanan yang tak cukup itu,” tulis perdana menteri RI pertama tersebut.

Ia menegaskan bahwa bangsanya masih hidup dalam perbudakan. Semua sifat ketimuran, yang konon indah itu, adalah residu dari masyarakat feodal, dengan segala kemiskinan dan pengangguran yang membelit.

“…kita akhirnya nyaris menjadi orang yang tidak memiliki kebutuhan apa-apa dari abad ke abad dan menjadi ahli dalam hal “tidak berbuat apa-apa”…..hidup dengan menghindari dunia dan penghidupan, mereka jadi ahli dalam seni mengelak, seni negasi, yang dilakukan secara spontan dan wajar,” tulis Sjahrir.

Membaca tudingan-tudingan itu, mungkin kita jadi teringat Mitos Pribumi Malas karya Syed Hussein Alatas. Jika tak keliru, kita mendapatkannya juga di Palasari, bukan? Tesis utama buku itu adalah kemalasan bukanlah sebab, melainkan akibat. Penyebabnya adalah kolonialisme.

Sikap malas dari masyarakat pribumi justru merupakan wujud perlawanan terhadap kolonialisme. Syed Hussein menemukan, dokumen Belanda sejak abad ke-17 hingga ke-18 amat sedikit membahas kemalasan pribumi. Baru setelah pemberlakuan sistem Tanam Paksa, mulai muncul tuduhan dari aparatus kolonial mengenai betapa pemalas warga pribumi.

Sjahrir menuliskannya jauh sebelum Syed Hussein melakukan penelitian. Juga jauh sebelum kaum strukturalis menawarkan cara pandang baru tentang kemiskinan: bukan kemalasan atau sistem nilai yang perlu diubah, melainkan struktur sosial yang kudu dibongkar.

Peradaban Barat yang melahirkan kapitalisme tak luput dari kritik Sjahrir. Sebagai seorang sosialis, itu tak mengherankan. Ia menyadari “segala kerapuhan dan kebusukan” peradaban Barat. Namun, ia mengapresiasi karena daya lenting, militansi, dan rasionalitasnya.

Pada pengujung surat 12 Maret 1937 nan panjang itu, ia toh berketetapan: “…mengapa kita mesti memilih antara Barat yang kapitalis dan Timur yang menghamba? Kita tidak perlu menginginkan yang satu atau yang lain: kita bisa menolak kedua-duanya, sebab kedua-duanya sesungguhnya harus dan sedang menjadi masa silam.”

3.

Temanku yang baik,

Asyik juga jika kapan-kapan kita menyambangi Bandung lagi. Menyesap susu murni di Simpang Dago, mengganyang kupat tahu di Gasibu, menyusuri Teuku Umar yang rindang, atau menikmati senja jatuh di Jayagiri.

Seperti kita, Sjahrir pernah merantau ke Bandung. Ia belajar di AMS (1926-1929), dekat Kebon Kelapa, dan mengambil jurusan Barat Klasik. Para siswa dari jurusan ini galib disiapkan menjadi sarjana hukum. Ayah Sjahrir, Mohammad Rasad, adalah sarjana hukum, seorang kepala jaksa di Medan.

Di Bandung, menurut sejarawan Rudolf Mrazek, Sjahrir tak meninggalkan hobi bermain bola dan menjadi anggota Club Voetballverening Poengkoer. Di ranah kesenian, ia bergabung dengan kelompok drama Bandungse Toneel Verening Van Indonesise Studerenden (Batovis).

Persentuhan dengan ide nasionalisme terjadi di periode ini. Ia terlibat bahkan memimpin Pemuda Indonesia (Jong Indonesie) cabang Bandung. Salah satu kegiatannya adalah mendirikan Tjahja Volksuniversiteit, sekolah gratis untuk anak-anak pribumi. Juga mengelola terbitan berkala.

Polisi mengawasi anak-anak muda tersebut. Tapi langkah paling jauh adalah meminta Kepala AMS untuk mengajak bicara Sjahrir. Beberapa tahun berselang, hukuman yang demikian berat jadi kenyataan. Mendekam di Cipinang, lalu diasingkan ke Boven Digoel dan Banda Neira.

Di pengasingan, Sjahrir menulis surat-surat, surat-surat yang membuat kita terpikat. Dalam ketidakbebasan, ia mendedahkan renungannya tentang wajah bangsa, masa lalu dan hari esok. Ia berjarak secara kultural dengan sesama anak jajahan tapi punya kepedulian politik tak tepermanai.

Dua penerbit indie di Yogya menerbitkan kembali Renungan Indonesia dalam dua tahun belakangan. Kebuntuanmu di Palasari saat mencari tak terulang pada hari-hari ini.

Sampaikan salam hangat untuk orang-orang tercinta, temanku yang baik.

* * *

Bagikan karya ini

Tentang Pengarya

Tinggalkan Komentar