Mukti, Lelaki Menggamit Kecapi

Seorang laki muda menggamit kecapi, alat musik tradisional Sunda. Tubuhnya agak kurus, celananya longgar, kacamatanya bulat dengan lensa tebal. Ia muncul dari lorong samping dalam Fakultas Sastra, Kampus Unpad Dipatiukur, Bandung.

Amar Faishal
Oleh Amar Faishal 355 Dilihat
6 menit membaca

Tiga puluh tahunan lalu rasanya masih begitu dekat.

Seorang laki muda menggamit kecapi, alat musik tradisional Sunda. Tubuhnya agak kurus, celananya longgar, kacamatanya bulat dengan lensa tebal.

Ia muncul dari lorong samping dalam Fakultas Sastra, Kampus Unpad Dipatiukur, Bandung. Sepertinya dari Sekretariat Lises, Lingkung Seni Sunda, salah satu unit kegiatan mahasiswa Universitas Padjadjaran.

Kami bertemu di selasar Fakultas Sastra, kemudian sama sama menuju Sekretariat GSSTF, Gelanggang Seni Sastra Teater dan Film.

Anak muda yang menggamit Kecapi tadi adalah Hidayat Mukti. Mungkin itu pada akhir tahun ’88, awal saya ikut-ikutan nangkring. Itulah awal awal saya mengenal Mukti.

Kemudiannya, ia lebih sering terlihat di GSSTF, dibanding di Lises atau ruang kuliah. Mungkin karena suasananya yang egaliter, akrab, dan relatif longgar. Ada spirit pemberontakannya juga. Khas anak muda. Bisa ngobrol dan diskusi apa saja.

Tahun-tahun itu GSTTF cukup banyak aktivitasnya. Ada acara reguler tahunan: Parade Teater. Pementasan beberapa naskah drama yang bisa berlangsung selama 3 hari di Aula Unpad (sekarang ganti nama menjadi Grha Sanusi Hardjadinata). Tiga atau empat bulan sekali ada pementasan. Belum lagi diskusi-diskusi.

Mukti terlibat, ikut menggarap musiknya. Termasuk ketika di GSSTF ada sayap kegiatan baru: tari. Pentas tari cukup sering tampil di banyak tempat: Jakarta, Yogya, Solo, dan Bandung tentu saja.

Masa itu Mukti masih memainkan kecapi, selain gitar. Untuk memberikan efek tertentu agar bunyinya lebih ekspresif, senar kecapi tidak dipetik tapi seperti digaruk dengan jari jari.

Kadang pada klimaknya beberapa senar kecapi itu sampai putus atau lepas. Agak “liar” memang.

Alat musik yang seringnya dimainkan “halusan” dengan dipetik, Mukti menggunakannya dengan tidak biasa. Ternyata menjadi kekuatannya pada moment itu.

Periode interaksi di sanggar kampus ini rasanya punya pengaruh sangat kuat dalam perjalanan Mukti selanjutnya, pada corak musiknya, terutama liriknya.

Lewat diskusi, mungkin tepatnya obrolan tentang sastra dan puisi, yang hampir tiap hari di ruangan kampus seukuran 4 X 4 meter, kedekatannya dengan puisi semakin intens. Dan ia mengelaborasinya.

Obrolan itu bisa terjadi sampai larut malam, sebagian bahkan menginap, termasuk Mukti.

Pada akhir tahun tahun 80-an sampai awal 90-an di Bandung sering berlangsung aksi mahasiswa, demonstrasi. Bisa karena masalah tanah, buruh, politik, situasi kampus atau yang lain.

Sejumlah teman teman GSSTF cukup sering terlibat. Selain karena concern, kadang “diundang” juga oleh teman teman dari kampus lain untuk turut unjuk rasa.

Ada kelebihan kalau mengajak GSSTF demo waktu itu karena punya “paket komplit”: ada yang jago orasi, ada yang greget baca puisi, punya orang yang bisa main musik, juga aksi teatrikal. Lengkap. Mukti tentu saja kerap terlibat dalam aksi aksi juga.

Bagian lain yang juga sangat penting dalam perjalanannya saya kira berasal dari Kanayakan, kamar kontrakan Miranda Risang Ayu pada akhir 80-an. Lokasinya di sayap Jl. Dago sebelah timur.

Untuk menuju tempat itu harus melewati jalan kecil yang terjal, bersemen dan ada kebon bambu pada tepiannya. Kendaraan hanya motor yang bisa menjangkau sampai lokasi. Kalau hujan jalanannya licin.

Seorang teman pernah berkunjung ke tempat itu dengan bermotor, terpeleset, terjatuh. Beruntung orang dan motormya tersangkut di rimbunan bambu. Tak terbayangkan kalau sampai terjatuh ke tanah persawahan yang sekira 4 meteran di bawahnya.

Sebagian besar teman teman GSSTF pernah berkunjung ke Kanayakan, kadang ramai-ramai.

Miranda menulis banyak puisi dari sini dan Mukti melakukan musikalisasi. Mereka menemukan kecocokan

Lagu “Pojok Kanayakan” dan “Titik Renung” yang sering diminta untuk dinyanyikan ketika Mukti konser, berasal dari periode ini.

Selain mencipta sendiri, sejumlah lirik lagunya Mukti berasal dari puisi teman temam GSSTF seperti “Surat Kepada D” (Budi Godot), “Bulan Itu Buram” (Karta Widjaya). Yang paling banyak berasal dari puisinya Miranda. Entah sudah berapa jumlahnya. Ada juga musikalisasi cerpen Lea Pamungkas.

Tentu banyak juga lagu hasil kolaborasi bersama teman yang lain seperti “Aku Hanya Ingin” (Ajeng Kesuma), “Sistem” (J. Renata), “Mencari Matahari” (Shinta Widyana)

Beberapa tahun lalu kami tahu diabetes mulai menggerogoti tubuhnya. Kami masih sempat bertemu beberapa kali dalam acara ketika Mukti ikut mengisinya.

Yang agak sedih ketika mendapat kabar jari jarinya tidak kuat lagi menekan senar ketika memainkan gitar setelah dirawat di rumah sakit. “Seperti orang teramputasi kalau sampai nggak bisa main musik lagi. Nggak kebayang,” kata seorang teman.

Kemudian saya dengar ia mulai latihan lagi, mengawalinya dengan piano.

Beberapa hari lalu, gembira membaca akun FB Ginandjar Satyanagara, sohib dekatnya, yang mengabarkan sedang menyambut Konser Musik Cinta Mukti Mukti 2022 yang akan segera dipentaskan.

Ketika mendapat berita kepergiannya, Senin sore, 15 Agustus, rasanya ada yang lepas. Saya dengarkan lagi nyanyiannya, “Do’a Untuk Indonesia”:

….
Jangan biarkan anak kita tak mengenal akan rindu pada saudara, tanah, sungai dan kampung halaman
Jangan biarkan anak kita tak memahami matahari

Jangan biarkan anak kita tak memahami matahari, burung, gunung, hutan, sawah, rindu, tanah, airmata, cinta
Jangan biarkan anak kita tak punya apa apa
Jangan biarkan anak kita.

Di tempat peristirahatannya terakhir, di Sumedang, berada di dekat pohonan bambu. Ini mengingatkan saya pada kelokan jalan kecil penuh bambu di Kanayakan. Dari tempat ini Mukti mencipta sebagian lagunya sambil memandangi persawahan, matahari, perkampungan, dan gunung.

Terlintas lagi lelaki muda yang menggamit kecapi dan malam malam begadangan di sanggar kampus, tiga puluhan tahun lalu.

Rasanya belum begitu jauh tapi sudah tak terjangkau.

Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.

* * *

Bagikan karya ini

Tentang Pengarya

Tinggalkan Komentar