Eksplorasi Kembang Telang

Setelah puluhan tahun, saya menjumpai lagi kembang yang dulu ada di rerumputan tegalan kampung. Kembang itu kini populer dengan nama Kembang Telang.

Amar Faishal
Oleh Amar Faishal 209 Dilihat
5 menit membaca

Setelah puluhan tahun, saya menjumpai lagi kembang yang dulu ada di rerumputan tegalan kampung. Liar. Entah dulu namanya apa. Ingat bentuk dan warna kembangnya yang ungu. Kini populer dengan nama Kembang Telang.

Saya melihatnya di halaman rumah kawan kami yang akrab dipanggil Yufik. Namanya aslinya Yuslam Fikri Anshari. Ia seorang pegiat gerakan ekologi dan pembuat film dokumenter. Filmya, “Laut yang Tenggelam” mendapat penghargaan Award of Excellence di Yamagata International Documentary Film Festival, di Jepang 2007.

Siang itu Yufik menjadi tuan rumah botram teman teman Gelanggang Seni Sastra Teater dan Film (GSSTF) Unpad. Botram adalah makan bersama santai untuk menjaga kekariban. Istilah itu popular di masyarakat Parahiyangan. Bagi kami, botram adalah juga semacam kode ajakan untuk ketemuan, ngobrol, ngopi-ngopi dan ngudap ala kadarnya.

Kebetulan ada senior kami, Sri Hartati ulang tahun. Kebetulan ada senior lagi, “Anto” Mukti Wibowo hendak pulang ke Baturaja setelah sebulan tinggal di Bandung. Semacam farewell party buat Anto yang pernah sekolah urusan makanan sampai tingkat Master di Australia. Kebetulan juga sudah pada dihinggapi kangen kumpul lagi setelah reuni di Teras Sunda Cibiru, Bandung, sebulan lewat.

Kang Ridwan, generasi pertama GSSTF Unpad, 1982 dengan Nayli, angkatan terkini, GSSTF 2023.

Jadilah siang itu kami berkumpul di rumah yang sejuk di ketinggian 1.000 meter dpl lebih. Tidak jauh dari Gunung Manglayang. Halamannya penuh tanaman: tomat, Kopi Arabika, Kopi Liberika, Kembang Telang dan lain-lain. Juga ada green house untuk mengeringkan kopi.

Yufik mempunyai tim yang asyik yang merawat rumah, tanaman dan menjalin kekariban komunitas kewargaan di kampung Manjah Beureum, nama lokasi mereka bermarkas. Inilah tim yang terampil mulai dari menumbuhkan tanaman pun mengolah aneka minuman dan masakan: Siti, Yogi atau sering dipanggil Kamseng, Aby dan Syarif yang pada waktu kami berkumpul sedang pulang ke kampungnya.Tentunya, kepala suku selain Yufik adalah Bunda Indra, istri Yufik.

Warga GSSTF yang hadir ternyata dari ujung ke ujung. Maksudnya ada anggota GSSTF angkatan pertama (Unpad 1982) dan angkatan angkatan terkini (Unpad 2022). Rentang angkatan 40 tahun.

Sajian awal adalah kudapan agak berat, kopi, dan seduhan Kembang Telang. Sebagian menyebut “Teh Kembang Telang”. Yang juga belakangan dikenal orang adalah “teh” Rosella, Kelor, Lavender, Chamomile dan lain-lain. Siang sudah jauh melangkah ketika makanan di meja besar telah siap. Nasi liwet. Aromanya kuat meruap: gurih dan wangi sereh. Warnanya ungu terang dalam kastrol besar. Terlihat necis, eksotik, dan “seksi”: Nasi Liwet Kembang Telang. Pertama kali saya melihatnya.

Dengan rasa lapar yang mulai mengetuk-ngetuk, paduan Nasi Liwet Kembang Telang, ayam goreng, sambal kecombrang, jengkol, perkedel, lalap… terasa begitu aduhai. Sampai lupa bahwa lambung saya kurang bersahabat dengan sambal dengan tingkat kepedasan yang menyengat.

Setelahnya kami bersantai. Menurunkan makanan, kata orang. Ridwan Wardayanto, seorang LKers, sebutan untuk fans Leo Kristi, menyanyikan beberapa lagu Leo Kristi yang dulu kerap kami putar di sanggar menemani persiapan pementasan. Dewi Noviami sebelumnya sudah datang membawa beberapa botol kunyit asam. Kami mencicipinya. Segar. Anto yang pernah bergelut selama 20 tahun di industri makanan dari Amerika dan Korea mencampur kunyit asam dengan seduhan Kembang Telang. “Wah, enak. Enak!” katanya. Saya mencobanya. Rasanya seperti yang dikatakannya: enak. Asyik.

Setelah itu nonton bareng rekaman monolog yang disiapkan untuk diikutkan dalam festival monolog tingkat nasional, yang GSSTF Unpad akan menjadi tuan rumahnya. Selepas Maghrib Mbak Sri baca puisi. Seduhan wedang Jahe-Kembang Telang menghangatkan badan ditengah terpaan udara malam Gunung Manglayang.

Nasi liwet kembang telang, salah satu eksplorasi yang diolah dari kembang telang.

Hari itu, Yufik, sang tuan rumah telah memberikan suguhan istimewa dengan ketrampilan seorang seniman. Mengolah Kembang Telang, yang sering dianggap sebagai tanaman liar, menjadi menu istimewa. Ia telah melakukan eksplorasi. Kembang Telang menjadi kreasi yang memberi impresi dan menggugah kesadaran. Tanaman “liar” yang ada di sekitar diolah menjadi menu yang nikmat dan berkhasiat.

Kreasi “seninya” kali ini bukan berupa garis, nada, bentuk, warna, suara, kata, atau gambar bergerak tapi dalam wujud rasa di lidah.

Hari itu Kembang Telang berhasil diolah menjadi bintang.

* * *

Bagikan karya ini

Tentang Pengarya

Tinggalkan Komentar