1.
Kompleksitas persoalan di seputar dunia kritik sastra (Indonesia) tampaknya masih terbelit oleh jaring-jaring yang pelik dan problematik. Kepelikan dan problematikanya bukan hanya dalam konteks bentuk atau jenis tindak kritik di tingkat hasil–praktisnya. Lebih dari itu, hal-hal yang berkenaan dengan wilayah pemahaman di tingkat konseptual ihwal kritik sastra itu sendiri kiranya masih perlu untuk “dibereskan”. Hal ini perlu untuk dikemukakan, setidaknya, agar kemudian kita bisa senantiasa terus diingatkan pada pertanyaan: apa yang sebenarnya diharapkan dari sebuah dunia yang kemudian disebut kritik sastra sehingga keberadaannya dipandang sebagai sesuatu yang (begitu) penting?
Sejumlah tanggapan dan penyikapan terhadap persoalan kritik sastra (di) Indonesia, memang telah dilakukan oleh berbagai kalangan. Akan tetapi, sampai saat ini, semua upaya itu masih juga dirasa belum cukup mampu untuk melicinkan jalan agar bisa bersijingkat keluar dari peliknya persoalan. Bahkan, tidak jarang, yang justru muncul adalah genangan keri(c)uhan demi keri(c)uhan, polemik dan perdebatan di tataran retoris–semantis yang kerap berkepanjangan, dan tidak mengedepankan wilayah perbincangan baru yang lebih reflektif.[1]
Kondisi demikian terkadang begitu mencemaskan. Perbincangan ihwal kritik sastra pada akhirnya seringkali tidak melibatkan secara langsung konteks hasil tindak kritik maupun teks yang menjadi pokok bahasannya. Pembahasannya pun kerap hanya berkutat di tataran yang serba fragmentaris dengan tolakan a priori yang terlalu general; yang pada akhirnya kerap terjebak untuk cenderung “menunjuk” tanpa berusaha “menunjukkannya”, yang (mungkin) “merujuk” namun tidak sampai menyuruk untuk masuk “memeriksanya”.
Ini sungguh sangat celaka bagi studi sastra, terutama bagi pertumbuhan kritik sastra,[2] karena perbincangan yang demikian praktis kehilangan dasar referensialnya. Pada konteks tertentu, kondisi ini pun bisa menjadi sangat kontra-produktif, bahkan boleh jadi malah akan menyebabkan dunia kritik sastra (Indonesia) bertambah kalut kalang-kabut, semakin mengalami stagnasi, tidak kunjung berkembang, bahkan surut jauh terlempar ke belakang.
2.
Kritik sastra pada dasarnya adalah suatu wujud pelipatgandaan dalam bentuk lain dari eksistensi an sich karya sastra. Saya lebih cenderung menyebutnya demikian karena kritik sastra menyarankan akan adanya usaha-usaha, yang secara reflektif dan artikulatif, untuk “menggemakan suara-suara” yang muncul dari karya sastra. Pada konteks ini, kritik sastra akan menjadi ruang dialog, yang membuka berbagai kemungkinan, untuk memahami karya sastra. Kritik sastra akan dipandang menjadi lebih ajeg ketika kehadirannya sekaligus bisa memunculkan dialektika dan pengayaan wacana.[3]
Oleh karena karya sastra sangat kompleks, bahkan mungkin bisa dipandang sebagai “struktur organis” yang pada dasarnya hidup, menjadi sangat wajar dan relevan kalaupun kemudian ada yang berpandangan, di samping menggemakan suara-suara yang berada di balik jejaring struktur dan tekstur di wilayah otonominya, gema dari sebuah tindak kritik (sastra) akan bisa lebih reflektif dan artikulatif jika melibatkan pula jejaring eksternal yang membentuknya. Dengan praktik tindak kritik yang menyeluruh semacam itu, harapannya, segala bentuk suara yang muncul di dalam karya sastra akan bisa menggema secara lebih menyeluruh pula.
Harapan akan praktik tindak kritik semacam ini memang tidaklah terlalu berlebihan. Hanya saja, yang kemudian menjadi persoalan, bilakah praktik tindak kritik seperti itu akan bisa tuntas terselesaikan? Pada konteks ini, dalam hitungan teoritis–teknis, tindak kritik sastra demikian memang akan mungkin saja untuk dilakukan; meskipun—di tingkat metodologis–praktis—di dalam proses pengerjaannya, boleh dipastikan akan menghadapi cukup banyak kerumitan. Selain itu, pada praktik tindak kritik ini pun kiranya akan menuntut kompetensi yang luar biasa dan kecerdasan ekstra dari individu (kritikus) yang mengerjakannya.
Meskipun demikian, praktik tindak kritik yang menyeluruh semacam itu, idealnya, memang perlu untuk diupayakan. Pada tindak kritik yang semacam itu pulalah harapan akan adanya dialektika dan pengayaan wacana bisa lebih terbuka. Hanya saja, hal yang patut untuk disadari kemudian, adanya idealisasi tersebut jangan sampai merebakkan anggapan, hanya tindak kritik demikian yang pantas untuk disebut sebagai tindak kritik. Oleh karena tingkat kerumitannya, praktik tindak kritik pada akhirnya (akan) dipandang sebagai kerja yang terlalu sulit untuk dilakukan. Adanya anggapan demikian pun boleh dipandang akan cukup mengundang bahaya, terutama terkait dengan kondisi dunia kritik (sastra) kita yang tengah mandeg dan membutuhkan banyak asupan energi untuk bisa menggerakkannya kembali.
Pada konteks ini, pertanyaan mendasar yang mungkin laten namun kiranya perlu untuk tetap diajukan, gerangan apakah yang telah menyebabkan penulisan tindak kritik sastra kita itu harus mengalami kemandegan? Bukankah ada begitu banyak karya sastra yang lahir di negeri ini? Tidakkah ada dari sekian banyak karya sastra yang pantas untuk dikritisi? Atau, apakah kemandegan ini lebih disebabkan kemalasan kita untuk lebih “berintim-intim ria” dengan (kesu)sastra(an), yang sebagai akibatnya, tidak bisa pula terlahir kritikus-kritikus yang “pandai membaca”? Lantas, bagaimana dengan mereka yang masih menulis ulasan dan membahas buku-buku puisi, cerpen, ataupun novel di sejumlah media massa? Bukankah mereka itu pun sebenarnya bisa dipandang sebagai kritikus yang, paling tidak, harus tetap kita hargai usahanya?
Sebagai bahan refleksi, pendapat yang pernah dilontarkan Subagio Sastrowardoyo sekitar tahun 1983, tampaknya masih cukup relevan untuk kembali dikedepankan: “yang dibutuhkan adalah sikap ilmiah terhadap sastra.” Dalam pandangan Subagio, sikap ilmiah merupakan landasan yang akan mendorong keingintahuan yang kuat tentang sastra untuk mempertanyakan masalah pokok: apa itu sastra. Landasan ilmiah yang dimaksud, bukan dalam arti ketat-ketat intelektualistis, tapi ilmiah dalam pemikiran sastra, hakikat sastra. Subagio memang mengakui, untuk menumbuhkan sikap ilmiah dan mengembangkan studi tentang sastra akan diperlukan bukan saja bahan-bahan berupa karya-karya sastra serta ulasan-ulasan mengenainya, melainkan juga landasan pengetahuan yang cukup lebar untuk penelaahan.[4]
Adanya kesadaran untuk menumbuhkan sikap ilmiah inilah yang kiranya belum lagi bergetar pada diri mereka yang kemudian berperan sebagai kritikus ketika berhadapan dengan karya sastra. Kalaupun pandangan Subagio itu adalah buah kegelisahan dari hasil pengamatannya terhadap kondisi kritik sastra pada zamannya, maka menjadi sungguh sangat ironis karena hampir dua dekade kemudian,[5] kondisi demikian masih belum juga berubah, bahkan mungkin mundur beberapa langkah. Ulasan-ulasan yang membahas karya sastra memang masih ditulis, paling tidak yang dipublikasikan di sejumlah media massa (meskipun dari segi kuantitas masih sangat tidak seimbang dengan banjirnya karya sastra). Akan tetapi, yang kiranya patut untuk dipertanyakan, apakah dari hasil ulasan-ulasan itu sudah cukup menyiratkan kesadaran akan adanya sikap dan semangat ilmiah pada diri kritikusnya?
Kesadaran akan sikap ilmiah pada sosok kritikus akan sangat dibutuhkan ketika ia dituntut untuk menawarkan cara pandang dan pemahaman pada setiap praktik tindak kritiknya. Kehadiran sikap ilmiah―yang menyarankan akan arti penting suatu observasi (pengamatan, pencermatan, dan pemeriksaan), penghormatan pada data dan fakta, serta menuntut pembahasan yang sistematis dan berlandaskan pada basis argumentasi yang logis dan koheren; dengan semangat untuk terus menyelidiki (bukan cenderung untuk menemukan)―akan semakin menegaskan bahwa praktik tindak kritik adalah kerja yang membutuhkan seperangkat pengetahuan tertentu. Meskipun praktik tindak kritik bukanlah sebuah proses kerja yang (harus) membebankan keruwetan, bisa dilakukan dengan cara yang sederhana, namun tetap mensyaratkan untuk tidak dilakukan dengan semena-mena.[6] Dengan kata lain, kebutuhan untuk menumbuhkan kesadaran akan sikap dan semangat ilmiah boleh dipandang menjadi mutlak, tanpa harus membedakan bentuk praktik tindak kritiknya, baik itu “kritik akademis”, “kritik non-akademis”,[7] bahkan “kritik sastra pers” (review) sekalipun.[8]
Mungkin benar bahwa pada akhirnya keberhasilan suatu tindak kritik akan sangat ditentukan oleh kapasitas dan kompetensi yang dimiliki oleh si kritikus itu sendiri. Akan tetapi, dengan adanya bekal kesadaran akan sikap dan semangat ilmiah pada diri seorang kritikus, yang secara langsung atau tidak hal itu akan bisa memperkuat dasar konseptual dan kapasitas dirinya, setidaknya ia pun akan relatif bisa terhindar dari ketergelinciran ketika ia memasuki wilayah kompleks karya sastra, sehingga suara-suara yang muncul kemudian tidak hanya akan menggema sebagai sesuatu yang common sense atau bahkan nonsense.
Cara pandang seperti itulah yang akan saya gunakan untuk mencermati hasil tindak kritik sastra yang dimuat di Khazanah, lembar khusus seni-budaya yang terbit sebagai suplemen H.U. Pikiran Rakyat.[9] Cara pandang ini memang membawa konsekuensi untuk tidak lagi memperhatikan jenis dan bentuk tindak kritik, serta soal “ruang” tempat tindak kritik itu berada. Hanya saja, dalam relevansinya dengan Khazanah sebagai bagian dari produk media massa, soal yang berkenaan dengan “ruang” pada konteks tertentu akan tetap diajukan dalam pembahasan; terutama untuk memeriksa kembali apakah media massa—yang bisa dipandang sebagai entitas yang tidak bersih dari “kepentingan dan ideologi”—telah melakukan “tindak represif dan kekerasan” terhadap ruang-ruang seni dan budaya, sebagaimana yang selama ini kerap ditudingkan.
3.
Dari hasil pembacaan terhadap Khazanah, dari edisi No.1, 14/10/1994 s.d. No.113, 1/3/2001*,[10] karya tulis yang berhasil teridentifikasi sebagai hasil tindak kritik sastra seluruhnya berjumlah 15 buah. Identifikasi itu sendiri pada dasarnya ditarik dari perspektif tindak kritik dalam kerangka pemahaman paling umum, yaitu tulisan yang dicirikan dengan adanya variabel karya sastra yang menjadi bahan pokok bahasannya.
Selengkapnya, secara berurut, tindak kritik sastra yang dimaksud adalah sebagai berikut:
- Cerpen-Cerpen dalam Improvisasi X, Bakdi Soemanto, No.14, 13/10/1995;
- Pengaruh Bahasa Sunda dalam Roman Salah Asuhan, Soehenda Iskar, No 15, 10/11/1995;
- Kasus Ngipri Kis WS: Transisi Perkembangan Sajak Sunda, Wahyu Wibisana, No.15, 10/11/1995;
- Seorang Humanis di Hadapan Peristiwa-Peristiwa: Catatan atas Rumah Cermin Saini KM, Agus R. Sarjono, No.28, 8/10/1996;
- Menikmati Fragmen Malam Wing Kardjo: Cahaya, Perempuan, dan Kegelapan, Soni Farid Maulana, No.41, 23/9/1997;
- Cerita-Cerita Nusantara Tentang Padi, Yus Rusyana, No.49, 24/3/1998;
- Di Atas Umbria Acep Zamzam Noor: Imajinasi dan Ekstase dari Puisi yang Berjalan, Ahda Imran, No.65, 18/12/1999*;
- Mencoba Memahami Manusia Lewat “The Best Collection of SFM”: Soni “Kangkung” Lahir sebagai Dongengan, Wawan S. Husin, No.81, 20/7/2000*;
- Tentang Dunia Global yang Mengatup (Resensi Buku), Yuliati Jatmiko, No.90, 21/9/2000*;
- Tentang Air Kaldera Joni Ariadinata (Resensi Buku), Edi Warsidi, No.98, 16/11/2000*;
- Nafas Puasa dalam Sajak-Sajak Tgk. H. Harun Rasyid, LK Ara, No.100, 30/11/2000*
- KLsD Soni Farid Maulana: Kejernihan Bahasa dan Kekristalan Renungan, Opi M Adiwijaya, No.106, 11/1/2001*;
- Perjalanan Puisi Iskandarsyah Berian, Ahda Imran, No.108, 25/1/2001*;
- Membaca Mata Mbeling Jeihan: Jeihan Merontgen Kata, Diro Aritonang, No.110, 8/2/2001*;
- Akhir Nasib Seorang Penari (Resensi Buku), H. Usep Romli HM, No.113, 1/3/2001*.
Secara keseluruhan, sebagian besar tindak kritik sastra yang dimuat Khazanah ini menunjukkan gelagat yang mengarah pada keseragaman, yaitu tindak kritik yang melakukan penyederhanaan, cenderung impresif, dengan pembahasannya yang jauh dari wilayah reflektif: hanya di tataran permukaan dan lebih bersifat informatif. Pola struktur pembahasannya pun, jika digeneralisasikan, nyaris menampakkan kesamaan. Dalam hal ini, jarang sekali ada yang mengandaikan, calon pembaca tindak kritiknya itu telah membaca karya yang menjadi bahan kajiannya: jika yang dibahasnya itu kumpulan puisi, akan ada sejumlah puisi yang dikutip, baik secara keseluruhan atau sebagian; dan jika yang menjadi objek pembahasannya itu prosa, akan ada uraian mengenai sinopsis cerita. Biasanya, dari sejumlah karya yang telah dikutip kemudian akan diulas dengan cara yang praktis serba sepintas. Kalaupun tindak kritik itu memang dimaksudkan sebagai sebuah review atau resensi buku, mungkin masih akan bisa “dimaklumi”. Akan tetapi, pola struktur pembahasan tindak kritik yang masih serba sepintas tadi, justru kerap ditemukan pada ruang yang bukan untuk review atau yang secara khusus biasanya ditandai untuk resensi.
Kecenderungan lain yang terbaca adalah munculnya praktik tindak kritik yang—jika merujuk M.H. Abrams—menggunakan pendekatan ekspresif; melibatkan keberadaan pribadi pengarang pada konteks karya yang dihasilkannya. Praktik tindak kritik seperti ini tampak pada hasil tindak kritik Soni Farid Maulana, Wawan S. Husin, Ahda Imran, dan LK Ara. Tindak kritik dengan menggunakan pendekatan ekspresif tentu masih akan sangat mungkin membuahkan “sesuatu yang berharga”, terutama jika dilakukan suatu pencermatan dan pemetaan yang komprehensif mengenai hal-ihwal yang berkenaan dengan pengarang yang bersangkutan. Hal yang membuat pendekatan ekspresif ini dipandang lemah―sebagaimana kritik Wimsatt dan Beardsley terhadap praktik tindak kritik kaum Romantik[11]―karena akan lebih menonjolkan maksud dan hasil yang diinginkan pengarang pada karya-karyanya.
Pada tindak kritiknya atas “Fragmen Malam” Wing Kardjo, misalnya, Soni tampak masih terjebak dengan kelemahan tersebut. Meskipun Soni menyatakan bahwa ia akan berusaha untuk tetap mengambil jarak estetik dan berusaha objektif ketika mengulas puisi-puisi Wing Kardjo, namun jarak estetik dan objektivitasnya itu menjadi seolah tidak lagi berjarak ketika Soni selalu berusaha untuk menarik puisi-puisi tersebut dalam relasi “aku-lirik” dalam teks sebagai Wing Kardjo: “Sekalipun pada kenyataannya Wing dibentur oleh kebisuan…”; atau, “Wing mengomunikasikan jiwanya yang sepi itu….” Hadirnya pernyataan-pernyataan semacam itulah yang menjadikan Soni dalam posisinya sebagai kritikus tidak mampu mengambil jarak lagi dengan karya yang tengah dikritiknya.
Selain itu, Soni pun terlalu taken for granted, menerima begitu saja pernyataan Wing Kardjo bahwa puisi-puisi terdahulu Wing Kardjo yang disertakan di dalam kumpulan ini telah direvisi bentuk penulisannya menjadi bentuk soneta. Dalam posisinya sebagai kreator (penyair), Soni memang masih mungkin untuk bisa menyebut sebatas, “hal itu menandakan kerja keras penyair yang selalu berusaha untuk menyempurnakan bentuk maupun isi medan ekspresinya.” Akan tetapi, dalam posisinya sebagai kritikus, semestinya Soni berusaha untuk memeriksa revisi bentuk penulisan itu secara lebih lanjut, baik dalam kaitannya dengan konsep estetik Wing Kardjo maupun dalam kontekstualisasinya dengan pengejawantahan bentuk soneta itu sendiri.
Dari sejumlah puisi yang dibahas Soni, jika dicermati, Wing Kardjo ternyata tidaklah mengambil bentuk soneta yang pada umumnya berpolakan 4–4–3–3 (sebagaimana yang digemari para penyair Pujangga Baru, dengan dua bait pertama diposisikan sebagai sampiran, dua bait sesudahnya baru menguraikan isi) dan sangat memperhatikan pola persajakan/rima akhirnya. Jika dikaji lebih mendalam, boleh jadi ketidaktaatan bentuk penulisan soneta Wing itu memiliki ikatan khusus dengan puisinya―seperti pada puisi yang dikutip pada tindak kritik itu―Lampiran, Merampok Kata, Memperkosa Soneta. Pada puisi ini, yang tampaknya lebih ingin ditonjolkan adalah soneta dalam konteks sebagai sebuah “bentuk”. Dengan kata lain, pembahasan yang menyoal “bentuk” akan jauh lebih artikulatif untuk konteks puisi tersebut, daripada hanya menafsirkannya―seperti tafsiran Soni dalam tindak kritiknya itu― sebatas “penggambaran tata-perilaku manusia saat ini yang abai terhadap nilai-nilai moral, hukum, dan agama.”
Kurangnya pemeriksaan dan pencermatan terhadap karya yang dibahas, tampak pula pada hasil kritik Ahda Imran ketika membahas kumpulan puisi Di Atas Umbria karya Acep Zamzam Noor. Imajinasi dan ekstase dari puisi yang berjalan, sebagaimana yang tertulis sebagai judul dari tindak kritiknya itu, dalam pembahasan Ahda tampak tidak ditarik dalam kerangka pemahaman yang utuh: lebih hanya merupakan ungkapan metaforis yang abstrak ketika hal itu tidak diturunkan lebih lanjut dengan penjelasan.
Dalam hal ini, pertanyaan mendasar yang semestinya terjabarkan, apa yang dimaksud dengan ekstase pada konteks puisi-puisi Acep? Jika ekstase yang kemudian dimaksudkan adalah situasi penyair yang, dalam bahasa Ahda, mengalami stimung (suasana hati yang menggejala), apakah itu adalah bentuk pernyataan lain untuk menyebut puisi-puisi Acep cenderung ekspresif sebagai hasil dari katarsis? Jika demikian, maka ada satu hal penting yang kemudian sungguh harus diperiksa: bilamana gaya personifikasi (Lalu cahaya tiarap sepanjang perbukitan/Matahari meletakkan sumbunya di atas batu yang tersimpan dalam puisi “Di Atas Umbria”, misalnya), sebagaimana yang diakui Ahda banyak dipakai oleh Acep, bisa muncul dari hasil ekstase semacam itu? Pada konteks ini, sebagai seorang kritikus, Ahda baru hanya mampu menyatakan, belum sanggup memberi penjelasan dan argumentasi untuk menunjukkan apa yang dinyatakannya itu.
Tidak terbacanya kerangka pemahaman yang utuh pada tindak kritik Ahda ini sangat mungkin disebabkan karena Ahda cenderung sophisticated, merumit-rumitkan pembahasan lewat penyajian sejumlah frasa, bahkan klausa, idiomatikal yang abstrak (“…ekstase untuk berada dalam seluruhnya; kesunyian dari segala sesuatu yang tak bisa digenggam—metabolisme sejarah dalam ruangan waktu yang tak pernah menjadi kekal. Semacam siklus yang bertumpuk, menjadi keremang-remangan.”). Bahasa ungkap yang abstrak ini semakin “menggemparkan” ketika struktur kalimat yang dipakai Ahda adalah kalimat bertingkat. Struktur gramatiknya pun kerap mengalami kekacauan:“Puisi di atas (Di Atas Umbria) membuka dirinya dengan kesatuan suasana dan komposisi puitik yang utuh. Watak, pemikiran, cara-cara menghadirkan imajinasi, penekanan irama, pemilihan dan penempatan kata-kata, juga idiom. Alam benda dan tata ruang di sekelilingnya….” Pernyataan pada kalimat kedua (yang digarisbawahi) menjadi balau, begitu membingungkan karena, baik secara regresif maupun progresif, tidak jelas yang diacunya. Dari segi sintaksis, pernyataan itu jelas tidak bersubjek: bukan kalimat, baru sekumpulan frasa.
Persoalan bahasa Ahda ini tentu saja menuntut adanya “pemberesan”. Bagaimanapun, persoalan bahasa berkaitan erat dengan (soal) logika. Terlebih lagi, pada konteks ini Ahda berdiri dalam posisinya sebagai kritikus: bagaimana tindak kritiknya akan bisa membuka ruang dialog dan kemungkinan untuk bisa lebih memahami karya sastra yang ditelaah, jika bahasa kritikus yang menjembataninya pun masih begitu sukar untuk diterka kemana arah perginya?[12]
Tindak kritik Agus R. Sarjono atas kumpulan puisi Rumah Cermin Saini KM, boleh juga disebut sebagai sebuah tindak kritik yang agak membingungkan. Kebingungan yang muncul lebih pada struktur sistematika pembahasannya yang terasa begitu tiba-tiba. Jika merujuk pada kerangka sistematika penulisan konvensional, pada tindak kritik Agus ini seakan-akan tidak ada “paparan pembuka” yang biasanya diposisikan untuk menggiring pembaca pada wilayah bahasan sebagaimana yang diinginkan. Pada tindak kritik Agus ini, yang ditempatkan sebagai lead adalah paparan yang sudah masuk wilayah pembahasan.
Tentu, cara penulisan demikian tidak akan dipandang menjadi soal seandainya pembahasan Agus tetap relevan dengan konteks permasalahan pokok yang ingin dihadirkan. Hal inilah yang justru muncul sebagai masalah: pembahasan ihwal “seorang humanis di hadapan peristiwa-peristiwa” sebagaimana yang tercantum sebagai titel tindak kritiknya itu, nyaris tidak teruraikan sama sekali. Hal yang kemudian justru lebih banyak dibahas malah puisi yang berjudul Imam Besar; yang dalam pembahasannya pun Agus boleh dipandang telah meninggalkan teks.
Sebagai karya yang kemudian diinterpretasikan, puisi “Imam Besar” yang dikutip seutuhnya itu justru ditinggalkan sendirian, dibungkam untuk tidak sempat bersuara; sementara sebagai sang penafsir, Agus lebih asyik berjalan-jalan sendiri dengan pikirannya, menggerus teks dengan sesekali berfilsafat: “Sajak Imam Besar sendiri merupakan salah sebuah sajak yang kuat dan indah dalam kumpulan ini. Sajak ini menunjukkan konsistensi pilihan dan penghargaan Saini KM pada kegiatan bermimpi (the adventure of idea) hingga konsekuensi yang paling akhir….”
Pernyataan-pernyataan yang menjadi pendapat Agus itu tentu boleh dikedepankan. Akan tetapi, sebagai konsekuensinya, Agus harus mampu pula menunjukkan, tidak hanya sekadar menunjuk teks tanpa memeriksa dan mencermatinya: aspek apa yang kuat dalam sajak itu? Di mana letak keindahannya? Dari konteks macam apa maka Saini kemudian bisa diidentifikasi menghargai pada kegiatan bermimpi (the adventure of idea)? Apa pula itu yang dimaksud dengan the adventure of idea? Wallahualam. Sampai titik penghabisan, pembahasan yang dilandaskan atas dasar teks secara langsung, tak kunjung berhasil untuk ditemukan pada tindak kritik Agus ini.[13]
Jika harus diperbandingkan dengan hasil tindak kritik sastra yang telah disinggung di muka, tindak kritik yang masing-masing ditulis Bakdi Soemanto, Wahyu Wibisana, dan Yuliati Jatmiko, boleh dipandang sebagai hasil tindak kritik yang menampakkan sejumlah kelebihan. Hasil tindak kritik mereka itu pun memang tidak luput dari kelemahan. Namun, yang boleh menjadi catatan, ketiga kritikus tersebut setidaknya mempunyai cukup kemampuan dalam memformulasikan dan sekaligus membahasakan gagasan yang ingin dituangkan lewat praktik tindak kritiknya.
Yuliati Jatmiko, meskipun ia memaksudkan tindak kritiknya sebagai resensi, namun ia tidak terjebak untuk hanya memberikan ulasan yang bersifat permukaan sebagaimana yang menjadi kelemahan dasar pada tindak kritik Edi Warsidi, H. Usep Romli H.M., dan bahkan dengan Wawan S. Husin ataupun Diro Aritonang yang tindak kritiknya tidak ditempatkan pada ruang resensi buku. Adanya generalisasi dan kesan “memistifikasi” kiranya memang (masih) sulit untuk bisa dihindari pada tindak kritik Yuliati ini. Namun, yang patut dihargai adalah usahanya untuk selalu melakukan sejumlah pencermatan terhadap teks (bahkan, meski selintas, melakukan komparasi) dengan pembubuhan argumentasi yang tampak diusahakan pula untuk selalu ditarik dari fenomena yang ia temukan pada teks puisi Juniarso yang dibahasnya, meskipun puisi-puisinya itu sendiri tidak secara langsung dihadirkan. Argumentasi-argumentasinya itu pun tetap dihidupkan untuk bisa membangun koherensi dengan pencermatan yang ia kemukakan selanjutnya. Penafsiran Yuliati ihwal “dunia global yang mengatup” sebagaimana yang kemudian ia temukan pada puisi-puisi Juniarso Ridwan dalam Air Mengukir Ikan, dengan caranya tersebut menjadi tidak hanya ditarik sebatas penafsiran “tematis–maknawiah” dari hasil memarafrasekan puisi seperti kecenderungan umum kritikus lain yang tindak kritiknya dimuat dalam Khazanah; namun hadir dari hasil rancang bangun pemahamannya atas potensi dari sejumlah elemen yang muncul dan dimiliki oleh puisi-puisi Juniarso.
Pada tindak kritik Wahyu Wibisana, yang membahas puisi “Ngipri” karya Kis Ws., kesadaran untuk membahas fenomena yang ditemukan di dalam teks cukup bisa ditunjukkan pula. Pada konteks tindak kritik Wahyu ini, pembahasan yang mengacu pada teks secara “ketat” memang menjadi satu syarat mutlak yang tidak bisa ditawar-tawar. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari telaah Wahyu yang berusaha untuk mencermati puisi “Ngipri” dalam relevansinya dengan pertumbuhan sastra Sunda modern. Tentu saja, karena dalam tindak kritik seperti ini, karya menjadi tidak bisa untuk dipandang hanya pada sisi tertentu: menuntut pembahasan yang cukup komprehensif, baik dalam tatanan “bentuk”, “isi”, maupun relasinya dengan konteks zaman, serta studi komparatif dengan puisi-puisi Sunda lainnya.
Pada konteks tertentu, memang sudah tampak ada usaha dari Wahyu untuk menuju ke arah itu. Lewat analisisnya terhadap kode bahasa, Wahyu menyimpulkan jika puisi Kis Ws. itu masih banyak menggunakan idiom-idiom lama, yang menurutnya, diakibatkan karena daya kelola bahasanya masih dalam taraf percobaan, masa transisi; sedangkan dari analisisnya terhadap kode budaya, Wahyu menyebut bahwa Kis Ws. telah mengingkari konvensi dalam bentuk sastra serta nada yang lazim tersurat dan tersirat pada karya sastra Sunda sebelumnya. Hanya saja, dalam hal ini Wahyu tidak menunjukkan bagaimana karya sastra Sunda sebelumnya, untuk bisa menguatkan pendapat bahwa Kis Ws. telah melakukan pengingkaran konvensi sastra dan nada.
Dalam bahasannya ihwal kode sastra dan kode budaya itu, Wahyu memang mencoba untuk memperbandingkan puisi Kis Ws. secara sinkronis (dengan karya-karya sezaman), baik menunjuk puisi-puisi Kis Ws. yang lainnya maupun menunjukkannya lewat perbandingan dengan puisi karya K.T.S dan M.A. Salmun. Sayangnya, Wahyu tidak berusaha untuk lebih lanjut membandingkannya secara diakronis (dengan karya-karya sebelum dan sesudahnya). Ini menjadi satu titik lemah pada tindak kritik Wahyu tersebut. Soal yang berkaitan dengan “transisi”—sebagaimana yang menjadi pokok bahasan Wahyu ini—bagaimanapun mensyaratkan untuk ditinjau dari sudut historis. Pembahasannya membutuhkan perbandingan secara sinkronis maupun diakronis agar masalah “transisi” itu bisa lebih ditampakkan dalam konteks alur suatu perkembangan.
Di luar sisi kelemahan tadi, tindak kritik Wahyu ini justru menjadi cukup artikulatif ketika ia mencoba untuk memasuki wilayah puisi “Ngipri” lewat penganalogiannya dengan konvensi karawitan Sunda. Terlepas dari penafsiran “tematis–maknawiah”-nya atas puisi tersebut yang dikaitkan dengan pelukisan perjuangan Bangsa Indonesia (mungkin penafsirannya ini ditarik dari konteks zaman; puisi tersebut dimuat di majalah Panghegar edisi 10/12/1954), pembahasan Wahyu terhadap puisi “Ngipri” yang dicermatinya beralurkan komposisi lagu dengan beberapa tengger kenong dan berakhir dengan satu bunyi gong, merupakan sebuah analisis yang boleh disebut inspiratif: jika dari pola bait hanya tengger kenong dan gong saja yang bermain, bukan suatu hal yang mustahil jika dari tinjauan atas pola diksi, rima, atau persanjakan yang muncul pada puisi tersebut sebenarnya masih cukup menyediakan peluang bagi instrumen-instrumen karawitan lainnya untuk turut dimainkan.
Sedangkan pada tindak kritik Bakdi Soemanto yang membahas kumpulan cerpen Improvisasi X, formulasi gagasan yang ingin dikedepankannya dirangkum lewat paparan mengenai literary scene (situasi sastra) dalam kaitannya dengan perkembangan cerpen Indonesia, yang kemudian lebih difokuskan lagi dalam konteks gaya (style) penulisan. Pada tindak kritiknya ini, Bakdi mencoba untuk memperbandingkan bagaimana gaya penulisan cerpen-cerpen yang tersimpan dalam antologi Improvisasi X itu dengan kecenderungan gaya penulisan cerpen secara umum, terutama dengan cerpen-cerpen sezamannya. Dasar asumsi, “cerita pendek Indonesia (saat ini) mulai menunjukkan gejala-gejala kecenderungan baru yang perlu diwaspadai”, dijadikan titik tolak oleh Bakdi untuk pembahasannya tersebut.[14]
Titik tolak yang diajukan Bakdi itu memang lebih merupakan asumsi umum, yang sudah kerap dikemukakan oleh sejumlah pengamat sastra. Namun, asumsi umum ini bisa diaktualisasikan oleh Bakdi dengan mengajukan sejumlah data yang lebih dari cukup, serta sekaligus memberikan sekelumit penjabaran ihwal peta perkembangan cerpen Indonesia. Dalam relevansinya dengan tindak kritik Bakdi, paparan tersebut memang menjadi suatu hal yang dipentingkan. Dengan titik tolaknya untuk mencoba mengomparasikan karya—yang secara metodis pada prinsipnya sama dengan tindak kritik Wahyu Wibisana—tentu akan menuntut pemeriksaan di tingkat historis, baik secara sinkronis maupun diakronis.
Sayangnya, dalam konteks pembahasannya mengenai gaya penulisan cerpen ini—yang dalam pencermatan Bakdi telah mengalami semacam pergeseran “konsep estetika” (dari gaya bercerita mendongeng, dengan irama kalimat yang merdu indah, ke arah gaya hentakan-hentakan, dengan kalimat-kalimat yang sengaja dibuat jerky (pendek-pendek atau patah-patah), yang bukan sekadar penanda “gaya percakapan” tapi sudah menandai jalannya irama cerita)—belum sampai dianalisis secara lebih mendetail pada karya-karya cerpen yang dibahasnya. Paling tidak, kalaupun memakai pendekatan stilistika,[15] yang masih perlu untuk diperiksa lebih lanjut oleh Bakdi adalah bagaimana fenomena kalimat-kalimat jerky yang ditemukannya itu berintegrasi di dalam konteks keseluruhan teks cerpen yang bersangkutan.
Meskipun demikian, pembahasan Bakdi di wilayah tekstual, terutama ketika membahas cerpen “Rukiah” karya Hikmat Gumelar, memang menawarkan satu paparan yang reflektif dan artikulatif. Penafsiran Bakdi yang dibuka ke arah sejumlah perspektif pun, dengan argumen yang tetap terjaga, tidak lantas membuahkan proses pembahasannya menjadi goyah. Sebaliknya, pembahasan Bakdi tidak memberi kesempatan kepada cerpen yang tengah ditelisiknya itu untuk diam: “Rukiah”, terus diajaknya bicara.
Berbeda halnya dengan hasil tindak kritik yang telah diulas di muka, tindak kritik yang masing-masing ditulis Soehenda Iskar, Yus Rusyana, dan Opi M. Adiwijaya merupakan tindak kritik yang mencoba untuk menyuguhkan landasan konseptual secara tegas. Soehenda Iskar, yang berusaha untuk melihat pengaruh bahasa Sunda dalam roman Salah Asuhan karya Abdul Muis, mengajukan analisis morfo-sintaksis. Hanya saja, sebagaimana yang ditegaskan oleh Soehanda, meskipun ia mengedepankan sejumlah data yang berkaitan dengan dua variabel penting dalam kajiannya—latar belakang Abdul Muis sebagai pengarang dan konteks kehidupan bahasa Sunda pada saat itu dalam relevansinya dengan bahasa Melayu tinggi yang dipakai Abdul Muis dalam karyanya—lewat deskripsi yang lebih dari cukup, namun pembahasan Soehanda seperti tidak dimaksudkan sebagai sebuah tindak kritik sastra dalam pengertian secara langsung. Dalam hal ini, analisis morfo- sintaksis yang menjadi titik tolak pembahasannya lebih merupakan analisis bahasa yang masih mengharapkan untuk bisa ditindaklanjuti dengan pengkajian stilistika.
Sedangkan pada tindak kritik Yus Rusyana yang membahas cerita-cerita Nusantara tentang padi, secara sepintas, boleh jadi mengingatkan pada model kajian Vladimir Propp untuk menjelaskan bagaimana motif-motif dasar tertentu pada dongeng-dongeng Rusia (Eropa) ditransformasikan secara berulang-ulang.[16] Kajian Yus memang belum sedetail Propp. Di sini, Yus baru mengungkap sebatas bagaimana pola-pola cerita rakyat tentang padi dan beberapa tumbuhan lain yang menjadi bahan makanan yang tersebar di seluruh Nusantara; tidak sampai pada pembahasan mengenai bagaimana struktur transformasi yang dihasilkan dari pola cerita awal secara lebih spesifik.
Disebut belum begitu spesifik karena dalam konteks pengkajian mengenai transformasi ini (yang dalam istilah Yus, pola asal diberi aksesoris), Yus baru mencermatinya sebatas relasi antara pola cerita asal dengan transformasinya; belum mencoba untuk beranjak membahas bagaimana relasi antara satu hasil transformasi dengan hasil transformasi lainnya, paling tidak dalam relasinya dengan hasil transformasi yang dipandang satu kategori: antara Mitos Pola I dengan Aksesori Kehinduan dengan Mitos Pola I dengan Aksesori Keislaman, misalnya. Jika yang diharapkan dari pengkajian Yus adalah untuk bisa menemukan tipologi dari cerita-cerita itu dengan variasinya, agaknya belumlah akan dipandang cukup jika Yus hanya menarik kesimpulan dari sudut pandang, bahwa adanya aksesori kehinduan dan aksesori keislaman pada Mitos Pola I itu disebabkan karena ada pengaruh Hindu dan Islam yang masuk pada masyarakat pendukung cerita asalnya.
Halnya dengan tindak kritik Opi M. Adiwijaya yang membahas Kita Lahir sebagai Dongengan, kumpulan puisi Soni Farid Maulana. Jika mencermati paparan pembuka dari tindak kritiknya, sebagai akademikus, Opi memang seakan-akan sudah bersiap untuk menyandarkan diri pada landasan konseptual yang telah secara tegas dirumuskannya. Untuk membahas kumpulan puisi Soni itu, Opi mencoba untuk bertolak dari fenomena kebahasaan, dengan titik fokus pada teori Halliday tentang heterogenitas bahasa yang ditinjau dari sudut pemakai dan pemakaiannya (yang kemudian menghasilkan dialek, register, idiolek); yang seterusnya dikaitkan pula dengan aspek licentia poetica.
Landasan konseptual yang ditawarkan Opi ini, sebenarnya memberi peluang ke arah suatu pembahasan yang cukup menjanjikan. Paling tidak, persoalan bahasa adalah persoalan yang paling fundamental, terutama untuk genre puisi. Terlebih ketika Opi memberi identitas “register” untuk “licentia poetica”: pada konteks ini ada semacam janji tersirat untuk kemudian membahas pemetaan ihwal posisi “dialek” dan “idiolek” dalam kaitannya dengan produk bahasa pada puisi-puisi karya Soni dalam kumpulan puisi itu. Jika saja pembahasannya difokuskan pada konteks ini, memang bukan suatu hal yang mustahil, puisi-puisi Soni akan bisa terdengar gaung suaranya.
Akan tetapi, sayang beribu kali sayang. Janji pun hanya tinggal janji. Mungkin seperti apa kata pepatah, maksud hati memeluk gunung, apa daya kalau tak cinta. Begitu pula halnya dengan Opi: landasan konseptual yang dibeberkannya itu praktis menjadi mubazir, hanya menjadi aksesoris, ketika Opi lupa dengan kewajiban untuk mengoperasikannya pada tataran praktik. Akibatnya, Opi pun menjadi kehilangan sistematika pembahasan, bahkan menyimpang dari kerangka acuan yang telah dirumuskannya. Hal ini tampak cukup jelas, karena pada tindak kritiknya itu yang justru muncul adalah ulasan terhadap sejumlah puisi Soni lewat pembahasan yang cenderung impresif dan terlalu intuitif (“Pengamatannya begitu jeli”; “Sebuah ungkapan metaforis yang sarat makna. Begitu dalam.”; “Paparan pengalaman batin penyair yang paling sublim.” ), terjebak menjadi biografis (“Tentu saja puisi di atas bukan semata-mata untuk menggambarkan situasi di depan ‘Novotel Den Haag Centrum’, tetapi lebih merupakan gambaran situasi hati Soni saat itu yang jauh dari kampung halamannya.”), dengan menyodorkan argumentasi yang terkadang penuh mistifikasi (“Bagi penulis, kekonsistenan dalam menggunakan huruf kapital di awal baris, selain menandakan ‘keajegan’ Soni, juga menyiratkan ‘keakuan’ dalam ‘prinsip’ Soni bahwa sesuatu pekerjaan harus diawali oleh niat dan keyakinan yang ‘besar’ agar menghasilkan sesuatu yang juga ‘besar’.”).
Pembahasan Opi itu menjadi menyimpang karena Opi tampaknya tidak memahami dan tergagap-gagap dengan landasan konseptual yang telah dirumuskannya sendiri. Titik fokus pada persoalan heterogenitas bahasa—terlebih ketika dikaitkan dengan aspek licentia poetica—yang sebenarnya menyiratkan untuk dikaji dalam relasi komparatif pada konteks heterogenitas bahasa puisi secara umum (karena penyair bukan hanya Soni), atau paling tidak dikomparasikan dengan puisi-puisi karya Soni (pada kumpulan) yang lain, justru pengkajian yang dipilihnya malah semi-biografis, ergosentris, dengan wilayah tematis yang menjadi pokok acuannya. “Kejernihan bahasa” dan “kekristalan renungan” sebagaimana yang menjadi titel bagi tindak kritiknya ini, pada akhirnya masih menjadi frasa idiomatikal yang abstrak ketika tidak didedahkan hingga batas-batas pemahaman yang bisa “menerangkan”: sejernih apakah bahasa Soni itu? Sejernih Aqua, Sprite, atau cairan infus? Kekristalan macam apa pula renungan Soni itu? Kekristalan permata, gula tebu, atau malah justru memabukkan seperti shabu-shabu?
Akibat dari tidak adanya komparasi itu pula, simpulan Opi ihwal Soni yang disebutnya telah menemukan “jati diri” karena Soni secara konsisten menggunakan huruf kapital pada awal setiap baris puisinya, menjadi kesimpulan yang bukan saja mistifikatif, namun juga terlalu mentah dan, lebih dari itu, semena-mena. Identifikasi yang menyangkut soal “jati diri” bagaimana pun akan membutuhkan suatu penanda yang sangat spesifik.
Dalam hal ini, sebagai kritikus, Opi tampaknya “kurang gaul”: jika Opi sedikit saja meluangkan waktu untuk berkenan membaca dan memeriksa sejumlah puisi karya para penyair lain, soal konsistensi penggunaan huruf kapital pada setiap awal baris puisi itu akan dengan cukup mudah bisa ditemukan: pada Sitor Situmorang dalam kumpulan Surat Kertas Hijau (1953) atau pada Acep Zamzam Noor dalam kumpulan Di Luar Kata (1996), misalnya. Bahkan, Opi pun mungkin akan bisa segera menemukan pula perbandingan dengan para penyair yang secara konsisten justru lebih memilih untuk menggunakan huruf kecil pada setiap karya puisinya, seperti pada Radhar Panca Dahana (Lalu Waktu, 1994) atau Dorothea Rosa Herliany (Mimpi Gugur Daun Zaitun, 1999). Dalam kaitannya dengan simpulan Opi, apakah Radhar dan Dorothea lantas bisa disebut sebagai penyair yang tidak mempunyai “jati diri”, “keakuan” dalam “prinsip”, serta niat dan keyakinan yang “besar” untuk menghasilkan sesuatu yang “besar”?
Pada konteks ini, kalaupun simpulan Opi untuk puisi Soni itu kemudian diuji dengan komparasi semacam tadi, logika yang kemudian akan muncul kira-kira adalah demikian: karena penanda “jati diri” Soni ternyata bisa ditemukan juga pada sejumlah penyair lain, maka “jati diri” Soni adalah juga “jati diri” sejumlah penyair lain; sementara itu, karena “jati diri” akan menuntut penanda yang spesifik, sedangkan pemakaian huruf kapital di setiap awal baris puisi bukanlah penanda yang spesifik, maka simpulannya, Soni (justru) tidak mempunyai spesifikasi “jati diri!”
Ini sungguh mengharukan: maksud hati madu yang terjanji, apa daya malah racun yang terberi. Bukan saja Opi—yang berpredikat Master Pendidikan dan dosen Sastra Indonesia dan Daerah—yang tijalikeuh. Lebih dari itu, imbas dari simpulannya itu pun pada akhirnya harus dibayar “secara psikologis” oleh karya yang ditelaahnya. Dengan logika dari uji komparatif tadi, praktik tindak kritik yang dilakukan Opi justru malah semakin membungkam dan menenggelamkan puisi-puisi Soni, selain—sebagai sosok penyair—Soni pun seakan menjadi kehilangan pula individualitas pada karya-karyanya.
4.
Jika melihat bagaimana praktik tindak kritik yang dimuat di Khazanah, agaknya akan cukup bisa dipahami, mengapa masih ada begitu banyak orang yang tetap saja cerewet ketika menyikapi dunia kritik sastra di Indonesia: diteriaki dan sekaligus dikeluhkesahi. Ditinjau dari segi kualitas, merujuk pada kasus hasil tindak kritik sastra di Khazanah, sedikit banyak bisa memperlihatkan, sebagian besar hasil tindak kritik sastra itu masih belum bisa sampai pada perannya sebagai ruang dialog yang membuka sejumlah kemungkinan untuk (semakin) memahami karya sastra; terlebih untuk sampai pada harapan bisa memunculkan dialektika dan pengayaan wacana.
Kondisi demikian memang bisa dimungkinkan oleh beberapa faktor: “keterbatasan ruang”, untuk semantara ini mungkin boleh ditunjuk sebagai salah satunya. Namun, faktor yang paling mendasar dari itu semua adalah kompetensi dan kapasitas yang dimiliki oleh para kritikusnya itu sendiri. Pada konteks kasus hasil tindak kritik sastra yang dimuat di Khazanah, kiranya cukup bisa ditampakkan jika sebagian besar kritikus masih membutuhkan sejumlah pendalaman pada dirinya. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang masih tampak mengalami kegagapan ketika harus berhadapan dengan karya yang menjadi bahan kritiknya. Padahal, jalan untuk mengatasi masalah itu sebenarnya bisa cukup sederhana, seperti apa kata Subagio, tinggal menumbuhkan kesadaran untuk bersikap ilmiah terhadap sastra.
Dari segi kuantitas, hasil tindak kritik sastra di Khazanah yang berjumlah (hanya) 15 buah itu kiranya masih boleh dipandang sangat sedikit. Padahal, jika kemudian dikaitkan dengan karya sastra yang menjadi bahan utama bagi tindak kritik sastra, di Khazanah sendiri sebenarnya tidak kurang melimpahnya. Dari data sampai edisi No.53, 29/6/1998, untuk karya sastra, Khazanah telah memuat 524 puisi (453 puisi Indonesia, 60 puisi Sunda, dan 11 puisi terjemahan) dan 96 cerpen (48 cerpen Indonesia, 4 cerpen Sunda, dan 34 cerpen terjemahan (1 cerpen di antaranya adalah terjemahan dalam bahasa Sunda)).
Melimpahnya karya sastra di Khazanah ini kiranya belum cukup menarik perhatian para peminat dan pemerhati sastra, khususnya para kritikus, untuk menulis kritik atas karya-karya tersebut (kecuali Korrie Layun Rampan yang pernah memberi tinjauan atas lima cerpen Khazanah; meskipun dimuat di Pikiran Rakyat (12/2/96), kritik Korrie itu tidak terbit di Khazanah).[17] Para peminat dan pemerhati sastra Khazanah cenderung lebih memilih untuk menulis esai/artikel yang membahas fenomena-fenomena kesusastraan. Secara kuantitatif, hal ini bisa dibuktikan dengan kehadiran 47 buah esai/artikel sastra yang telah dimuat sampai Khazanah edisi No.53 itu. Entah, apakah hal ini dikarenakan tindak kritik sastra memang jarang ada yang mengirim ke redaksi Khazanah, atau lebih disebabkan oleh kebijakan di tingkat redakturnya yang lebih menginginkan pembahasan di seputar fenomena dan permasalahan kesusastraan daripada memuat kritik sastra.
Sedangkan jika dibandingkan dengan hasil tindak kritik pada genre kesenian lain, tindak kritik sastra pun terhitung masih lebih sedikit dibandingkan dengan kritik teater dan kritik seni rupa (yang sampai Khazanah edisi No.53, masing-masing berjumlah 13 dan 10 buah); meskipun masih lebih banyak dari kritik musik (2 buah), kritik tari (1 buah), kritik fotografi (1 buah), atau kritik film yang bahkan tidak ada sama sekali.[18]
Dalam relevansinya dengan masalah “ruang”, pada konteks Khazanah ini, kecuali hanya ada 15 buah hasil tindak kritik dari 113 edisi yang telah terbit, tampaknya belum ada cukup alasan untuk menyebut, lembar khusus seni-budaya ini tidak membuka “ruang” yang relatif cukup lebar bagi hasil tindak kritik sastra. Jika melihat data yang ada, dari 15 hasil tindak kritik itu, tujuh di antaranya (Bakdi Soemanto, Soehenda Iskar, Soni Farid Maulana, Yus Rusyana, Wawan S. Husin, Opi M. Adiwijaya, Diro Aritonang) menempati ruang yang relatif cukup lebar; empat di antaranya bahkan menempati 2/3 halaman koran.[19]
Sementara itu, “keterbatasan ruang” ini kiranya masih akan bisa disiasati pula di tingkat layout. Pada hasil tindak kritik yang agak panjang, namun ruangnya dipandang tidak terlalu mencukupi, kiranya masih mungkin ada pilihan untuk mengecilkan font, seperti yang tampak pada kasus pemuatan kritik Wahyu Wibisana. Jika masalah yang berkaitan dengan ruang itu diandaikan ada, masalah ini harus diandaikan terjadi pada hasil tindak kritik Agus R. Sarjono—itu pun dengan catatan, kritik Agus memang dipenggal dari pengantar yang ditulisnya untuk kumpulan puisi Rumah Cermin Saini KM.
Dengan melihat kenyataan itu, dalam relevansinya dengan Khazanah sebagai lembar khusus seni–budaya, soal “keterbatasan ruang” yang kerap dikeluhkan oleh para penulis, untuk sementara ini tampaknya perlu untuk direevaluasi; meskipun tentu saja hal ini pun masih membutuhkan juga pemeriksaan lebih lanjut, terutama dalam kontekstualisasinya dengan manajemen dan kebijakan dari (ke)redaksi(an)nya itu sendiri. Hal ini kiranya penting untuk diperhatikan, karena boleh jadi dari adanya asumsi “keterbatasan ruang” itu pada akhirnya justru harus (bahkan mungkin telah) menumbuhkan gejala “psikologi ruang”: para penulis, dalam hal ini khususnya para kritikus sastra, menjadi enggan untuk menulis “berpanjang-panjang”, yang relatif komprehensif dan argumentatif. Implikasi dari gejala tumbuhnya “psikologi ruang” ini pun agaknya perlu juga untuk diwaspadai: bukannya tidak mungkin, pertumbuhannya malah akan bisa mencederai atau bahkan membunuh kreativitas menulis itu sendiri.
Di sisi lain, seandainya persoalan “ruang” ini pun kemudian dikaitkan dengan klaim adanya “tindak represif dan kekerasan” yang telah dilakukan media massa terhadap ruang-ruang seni–budaya, yang kiranya patut untuk lebih dicermati justru ada pada soal proses pengeditan tulisan yang dilakukan redaksi. Proses pengeditan ini tampaknya masih akan sangat mungkin dilakukan, bahkan pada tulisan yang ruangnya dialokasikan relatif leluasa sekalipun; baik di tingkat “isi” maupun dalam soal “cara berbahasa”. Hal ini pun kiranya tidak bisa dipandang remeh. Dalam soal “cara berbahasa”, misalnya, ruang bagi “tindak kekerasan” menjadi cukup terbuka ketika tulisan-tulisan seni–budaya yang kerap membuka peluang pada adanya eksplorasi (ber)bahasa, dibenturkan dengan tipikal bahasa media massa yang lebih cenderung ingin komunikatif dalam pengertian umum.
Pada kasus “kekalutan berbahasa” dalam tindak kritik Ahda Imran, misalnya, pada akhirnya hal itu boleh dipandang bukanlah sepenuhnya menjadi kesalahan Ahda. Boleh diandaikan, pada tindak kritiknya itu Ahda mencoba pula untuk melakukan eksplorasi dalam “cara berbahasa”. Selebihnya, kalaupun kemudian ditemukan ada “ketidakberesan” sebagai akibat dari Ahda sendiri yang gagal dalam eksplorasi tersebut, maka adalah kewajiban editor untuk bisa “membereskannya” (kalaupun tidak, maka tulisan itu harus rela untuk diapkirkan). Namun, yang sungguh celaka adalah jika yang terjadi malah sebaliknya: dari bahasa atau dari “cara berbahasa” yang tadinya “beres”, justru menjadi “tidak beres” setelah editor campur tangan mengeditnya. Fenomena “tindak kekerasan” pada konteks semacam ini pun kiranya harus dipandang dan disikapi sebagai sebuah gejala yang mencemaskan; sebab, secara langsung atau tidak, “kreativitas menulis” dan kredibilitas (para) penulis lah yang pada akhirnya akan dipertaruhkan.
Dengan kata lain, dalam proses pengeditan pun akan sangat dibutuhkan para editor yang kompeten. Para editor tersebut dituntut untuk sedikitnya memiliki wawasan dan pemahaman terhadap dunia seni–budaya, selain menguasai kaidah-kaidah kebahasaan, dan—yang tidak kalah pentingnya—perihal gaya penulisan, stilistika.
* * *
—————————–
[1] Tengok, misalnya, polemik ihwal kritik sastra yang diangkat oleh Republika di awal tahun 1997. Polemik tersebut meletus ketika Tommy F. Awuy menyatakan bahwa kritik sastra itu tidak penting. Mereka yang terlibat polemik antara lain adalah Remy Novaris D.M., Cecep Syamsul Hari, dan Agus R. Sarjono. Tanggapan Agus Sarjono yang reaksioner, kemudian ditanggapi balik secara reaksioner pula oleh Tommy F. Awuy. Menyimak kesengitan mereka, Edy A. Effendi lantas mengomentarinya sebagai “pertikaian kecil” masa anak-anak: “Mereka tidak ‘bermain’ dalam wilayah bahasan sebagai representasi dari kerja intelektual, tapi lebih didominasi oleh cara bermain anak -anak; cakar-cakaran dan perbincangan psikologisme orang per orang.”
[2] Jika bersepakat dengan pandangan seperti yang dirujuk Budi Darma (1995:145), sastra hanya terdiri dari dua komponen, yaitu karya sastra dan kritik sastra; maka, teori sastra, sejarah sastra, dan sastra bandingan, sebagaimana yang dijabarkan dalam taksonomi sastra tradisional, sebenarnya adalah kritik sastra juga.
[3] Dalam hal ini, saya bukannya tidak sepakat dengan pendapat Andre Hardjana (1991:24) yang menyebut bahwa fungsi utama kritik sastra adalah memelihara dan menyelamatkan pengalaman manusiawi serta menjalinkan menjadi suatu proses perkembangan susunan-susunan atau struktur yang bermakna; untuk mengangkat manusia kepada martabat yang sebenarnya. Bagi saya, pandangan ini terlalu melambung, positivis, dan abstrak; seakan-akan mengisyaratkan, kritik sastra merupakan “juru selamat yang suci” seperti wahyu Ilahi, yang tidak membuka peluang pada adanya kemungkinan jika tindak kritik sastra, sebagai sebuah upaya manusia, seideal apa pun, justru sebenarnya bisa (berusaha untuk) “menjebak” dan “menggelincirkan”.
[4] Lihat esainya, Sikap Ilmiah Terhadap Sastra, Horison No.3/1983, h.131-135; lih., juga hasil wawancara Hardi, Subagio Sastrowardoyo Menjawab, Horison, No.11-12/1983, h. 536-541. Secara terpisah, kiranya ini perlu saya tambahkan, pada konteks esainya itu Subagio menulis demikian: “Yang menjadi persoalan pokok di sini bukanlah kurangnya kritik sastra ditulis, melainkan betapa cukup kita punya sikap ilmiah dalam menghadapi gejala kesusastraan.” Pernyataan pada kalimat pertama Soebagyo itu, terkesan berseberangan dengan pernyataan saya yang, untuk konteks saat ini, masih memandang penting untuk menggerakkan (kembali) penulisan tindak kritik sastra. Ketika saya mengutip pernyataan Subagio itu, saya berharap untuk dibaca pula konteks ruang dan waktunya. Seperti yang dikemukakan pula dalam esainya itu, pada konteks saat itu Subagio masih melihat ada tradisi penulisan kritik yang relatif cukup berkembang, tinggal menumbuhkan sikap ilmiah itu saja. Celakanya, jika pada konteks saat itu Subagio masih bisa melihat ada sejumlah sosok kritikus yang dinilai baik, sosok kritikus semacam itu, setidaknya ini dalam pengamatan saya, kiranya belum lagi tampak pada generasi sekarang. Sementara, sejumlah nama yang dinilai Subagio sebagai kritikus yang baik, pada saat ini, mereka sudah lebih memilih untuk menjadi “rahib” yang khusyuk bersemedi, bahkan sebagian darinya sudah ada yang “moksa”, termasuk Subagio sendiri tentunya.
[5] Sebagai informasi, esai ini ditulis sekitar pertengahan 2001.
[6] Hanya untuk bahan pertimbangan referensial, mengenai beberapa syarat (teknis) yang harus dipenuhi oleh sebuah tindak kritik, bisa dibaca pada Luxemburg et.al. (1989:73).
[7] Bagi saya, sebenarnya akan tetap problematis ketika kita terus bersikukuh untuk membongkar konstelasi kritik sastra Indonesia jika wacana yang satu ini masih dipetakan dan dikonfrontasikan dalam dua kutub: antara “yang akademis” dengan “yang non-akademis”. Terlebih, persoalan yang telah memicukan konfrontasi di antara kedua bentuk kritik itu, agaknya, tidak/belum tersentuh sama sekali. Bahwa, pertanyaan sederhana yang setidaknya mesti mengemuka adalah, mengapa keduanya mesti didikotomikan, bahkan sampai harus dikonfrontasikan?
Jika dicermati, sebenarnya tidak ada perbedaan yang boleh dibilang istimewa. Kedua bentuk kritik itu pada dasarnya mengupayakan suatu dasar sistematika tertentu. Untuk sekadar menyebut, perbedaannya (hanya) terletak pada turunan teknis dan praktisnya. Tindak “kritik akademis” dicirikan lewat keberangkatannya yang bertolak dari suatu metode teori tertentu (metodologis-teoritis); sementara “kritik non-akademis”, sistematika cenderung berjalan tanpa metode (dari suatu teori) yang membimbingnya secara ketat. Disebut “tidak ketat” karena pada tindak “kritik non-akademis” pun, jika ditelusuri lebih lanjut, sadar atau tidak, pada dasarnya mengoperasikan suatu teori dan metode pula, hanya saja, biasanya, tidak diartikulasikan secara tegas.
Kecuali dari ciri tersebut, tampaknya tidak tersimpan lagi pembeda pokok di antara keduanya. Meskipun cukup mendasar, namun perbedaan tadi kiranya bukanlah suatu hal yang signifikan untuk diperdebatkan. Sementara, akan menjadi kurang relevan pula jika perbincangan mengenai hal ini ditarik dari konteks “media pengkabar”-nya, terlebih jika kemudian dikaitkan dengan soal klaim “mana yang paling ilmiah”. Tentu saja, karena kalaupun harus berhitung masalah kualitas, pada titik ini kedua jenis kritik itu mesti dipandang dan disikapi dalam posisi yang sama. Sebuah “kritik akademis”, yang (secara “jumawa” telanjur) dicap membawa misi “ilmiah”, misalnya, dalam ruang disertasi sekalipun, boleh jadi hasilnya itu sebenarnya sama sekali “tidak ilmiah”. Namun, sebaliknya, sebuah “kritik non-akademis” yang hanya tersimpan di satu pojok sempit halaman koran, akan sangat mungkin bisa terbaca sebagai sebuah kritik yang “ilmiah”.
[8] Setidaknya bagi Budi Darma (1995:157), meski fungsi utamanya adalah untuk memberi informasi, “kritik sastra pers” pun harus bisa menggugah kesadaran, melontarkan pikiran, dan memberi tambahan wawasan.
[9] Edisi perdana Khazanah sebagai lembaran khusus seni-budaya H.U. Pikiran Rakyat terbit pada 14/10/1994. Pada mulanya Khazanah terbit empat halaman satu bulan sekali pada hari Jumat minggu pertama (dalam beberapa kali sempat pula terbit dalam 2 atau 3 minggu sekali). Sempat berganti hari terbit menjadi Selasa dan Sabtu, sebelum kemudian, mulai edisi No.79, 29/6/2000*, Khazanah terbit secara rutin pada hari Kamis di setiap minggu, dimergerkan dengan rubrik Pertemuan Kecil yang biasanya mangkal di PR Minggu. Khazanah sempat terhenti (atau mungkin lebih tepatnya, “dihentikan terbitnya”) selama ± 8 bulan: setelah edisi No.53, 29/6/1998 hingga kemudian terbit kembali pada 1/3/1999, dengan pencantuman nomor (kembali ke) edisi 51. Khazanah kini terbit setiap hari Sabtu, tanpa mencantumkan lagi nomor edisi penerbitan.
[10] Khazanah acapkali terbit dengan penomoran edisi yang salah. Tanda (*) menandai edisi nomor terbit yang terkoreksi.
[11] Selengkapnya, bisa dibaca esai W.K. Wimsatt dan Monroe C. Beardsley, The Intentional Fallacy dan The Affective Fallacy (1954); dalam Critical Theory Since Plato, Adams (Ed.), 1992, h.945―59.
[12] Pada konteks “kekalutan berbahasa” Ahda tersebut kiranya boleh dicurigai: Ahda memang sengaja melakukan hal itu sebagai salah satu upaya “mekanisme defensif”-nya ketika ia dituntut untuk bisa memberikan kebernasan sejumlah argumentasi dalam pembahasannya. Strategi demikian memang akan sangat bisa dimengerti: dengan “bahasa abstrak”, kekurangpahaman akan relatif cukup mudah untuk bisa disembunyikan.
[13] Sebagai bahan perbandingan, periksa tulisan Agus R. Sarjono, Catatan Seorang Humanis di Hadapan Peristiwa-Peristiwa, dalam kumpulan puisi Rumah Cermin, Saini KM (1996:39–50). Tindak kritik Agus di Khazanah ini, tampaknya merupakan penggalan dari tulisan di kumpulan Rumah Cermin tersebut. Jika mencermati kritik Agus dalam kumpulan puisi itu, tanggapan atas tindak kritiknya sebagaimana yang telah saya uraikan, tentu akan berbeda. Paling tidak, saya tidak perlu meminta penjelasan Agus ihwal apa yang dimaksud dengan the adventure of idea, meskipun untuk tanggapan saya mengenai pembahasan Agus terhadap puisi Imam Besar tampaknya tidak akan berubah: Agus telah meninggalkan teks itu sendirian dengan membungkamnya.
[14] Sebagai perbandingan, lihat tulisan Bakdi Soemanto dalam antologi cerpen Improvisasi X (1995:133–154), “Wasana Kata: Antologi Improvisasi “X” & Dinamika Cerita Pendek”. Jika dicermati, akan ditemukan sejumlah perbedaan di tingkat pembahasan antara tindak kritiknya yang dimuat Khazanah dengan tulisannya dalam antologi tersebut. Pembahasan yang dilakukan Bakdi dalam tulisannya untuk antologi, tampak lebih mendetail. Dari sisi sistematika penulisan, dalam tindak kritik yang dimuat Khazanah, Bakdi memilih jalan deduktif, berangkat dari suatu asumsi general (ada gejala kecenderungan baru dalam penulisan cerpen); pada tulisannya dalam antologi Improvisasi X, pilihan deduksi semacam itu tampak dihindari. Perihal gaya penulisan cerpen yang dipandang Bakdi telah mengalami semacam “pergeseran estetika”, yang pada konteks tindak kritiknya di Khazanah diajukan untuk memperkukuh asumsi generalnya, pada tulisannya dalam antologi, justru disimpan pada pembahasan penutup yang sekaligus menjadi simpulan.
[15] Jika merujuk A.L. Becker (1978:1–2), stilistika adalah deskripsi pilihan khusus seorang pengarang, mulai dari pilihan linguistik yang paling luas tentang alur, yaitu kesatuan keseluruhan (overall coherence) sampai pada pilihan yang paling sempit, yang meliputi pembentukan kalimat dan alinea, termasuk pilihan tentang hubungan linear (hubungan sintagmatis) maupun hubungan non-linear, rangka metaforis (hubungan paradigmatis). Sementara dalam konteks analisis, stilistika menyelidiki wacana sastra atau cara ungkap dalam sastra yang potensinya terdapat dalam setiap bahasa itu sendiri, dalam kemungkinan untuk koherensi yang diberikan oleh setiap bahasa untuk ungkapan sehari hari: pembentukan rumus bahasa supaya rumus itu cocok dengan konteksnya yang baru.
[16] Kajian Vladimir Propp yang tertuang dalam esainya, Transformations in Fairy Tales, memang masih dianggap sebagai model utama untuk analisis dongeng seluruh dunia; lih., Linguistik dan Analisis Sastra: Antologi Stilistika, A.L. Becker (Ed.), 1978, h.95–106.
[17] Jika menengok ke belakang, penulisan kritik atas karya-karya sastra yang dimuat di Pikiran Rakyat ini pernah beberapa kali dilakukan. Hermawan Aksan, misalnya, sempat menulis kritik atas cerpen-cerpen PR Minggu yang dimuat di sepanjang tahun 1992 (Sosok Ibu dalam Cerpen: Sebuah Tatapan Sekilas (tanggal pemuatan tak tercatat)) dan beberapa cerpen yang dimuat tahun 1993 (Peristiwa Kematian dalam Cerpen: Topik yang Masih Tetap Digali (tanggal pemuatan tak tercatat)). Selain itu, kendati tidak bisa disebut selalu, pengantar Saini KM untuk rubrik Pertemuan Kecil di PR Minggu (kini rubrik itu sudah tidak ada), mengindikasikan pula jika Saini telah melakukan tindak kritik atas karya-karya puisi yang dikirimkan ke rubrik Pertemuan Kecil-nya itu.
[18] Wacana kritik yang saya maksud di sini tidak hanya menunjuk pada tulisan-tulisan yang memang diajukan sebagai tindak kritik, namun juga menunjuk pada sejumlah review, sepanjang review itu saya pandang memuat semacam “ulasan penilaian” terhadap karya seni tertentu yang berlangsung di suatu peristiwa kesenian.
[19] Soal ini barangkali menarik juga untuk dicermati. Dari sejumlah nama yang menulis tindak kritik dan menempati ruang cukup lebar itu agaknya memiliki kaitan khusus dengan para redaksi pengelola Khazanah. Diro Aritonang dan Soni Farid Maulana, kala itu adalah staf redaksi Khazanah; sedangkan tindak kritik Wawan S. Husin dan Opi M. Adiwijaya ditujukan untuk membahas kumpulan puisi Kita Lahir sebagai Dongengan karya Soni Farid Maulana.
———————————
Daftar Pustaka
- Adams, Hazard (Ed.). 1992. Critical Theory Since Plato (Revised Edition). Harcourt Brace Jovanovich College Publishers.
- Becker, A.L.. 1978. Linguistik dan Analisis Sastra: Antologi Stilistika. Jakarta: Panitia Pelaksana Penataran Sastra Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
- Darma, Budi. 1995. Harmonium. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Firdaus, Moh. Syafari, Mona Sylviana, Hikmat Gumelar. 1995. Improvisasi X. Yogyakarta: Bentang.
- Wawancara dengan Subagio Sastrowardoyo: Subagio Sastrowardoyo Menjawab, dalam Horison No.11–12, November–Desember 1983, h.536–541.
- Hardjana, Andre. 1991. Cet.ke-3. Kritik Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.
- Khazanah, Lembar Khusus Seni-Budaya H.U. Pikiran Rakyat Bandung, dari edisi No.1, 14/10/1994 s.d. edisi No.113, 1/3/2001.
- KM, Saini. 1996. Rumah Cermin. Bandung: Forum Sastra Bandung dan Sargani & Co..
- Luxemburg, Jan van, et.al. 1989. Cet.ke-3. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.
- Sastrowardoyo, Subagio. Yang Dibutuhkan Adalah Sikap Ilmiah Terhadap Sastra, dalam Horison 3, Maret 1983, h.131–135.