Babu-Babu: Sandiwara dalam Sandiwara

Genet dikenal sebagai penulis naskah yang mengangkat tema eksistensialisme. Kekuatan naskah Genet adalah permainan antara realitas dan ilusi.

Deandra Syarizka
Oleh Deandra Syarizka 147 Dilihat
13 menit membaca

Layar panggung perlahan terbuka. Tampak kamar yang cukup megah, dengan sebuah kasur berukuran king size, sebuah sofa di tengah, meja rias, partisi, gantungan baju dengan gaun panjang menjuntai berwarna merah, putih, biru.

Sebuah jendela besar dengan tirai cokelat berada di tengah, membagi wilayah panggung menjadi dua bagian sama besar. Deretan layar yang didominasi putih dan juga sentuhan warna biru menjadi wallpaper dinding kamar tersebut.

Di atas, lampu kristal terpasang miring–sepertinya memang sengaja demikian. Di sekelilingnya terdapat beberapa buket bunga berwarna putih yang digantung secara terbalik. Beberapa kain merah panjang menjuntai membentuk lengkungan.

Adegan dibuka dengan seorang perempuan yang mengenakan gaun, mematut dirinya di cermin. Ia memegang payudaranya sambil mengatakan “Kutaang, kutang lagi”. Ia lalu berdialog, bertengkar dan berlaku kasar kepada seorang perempuan lainnya yang mengenakan seragam babu.

Dia adalah Kamsah, yang sedang berakting menjadi Nyonya. Sementara perempuan yang satunya kemudian diketahui bernama Salmah, kakak Kamsah. Mereka adalah babu yang bekerja pada seorang nyonya kaya raya.

Sandiwara Kamsah-Salmah rupanya menjadi rutinitas kakak-beradik itu setiap malam ketika Nyonya–yang baru menjanda– sedang ke luar rumah. Mereka memasang jam weker di atas meja rias Nyonya untuk menjadi penanda waktu kapan Nyonya akan tiba di rumah dan sandiwara mereka harus usai. Ketika Nyonya datang, mereka pun kembali menjadi babu.

Adegan awal itu menjadi pembuka pertunjukan Babu-Babu yang dibawakan oleh Salindia Teater dalam seleksi Festival Teater Jakarta Pusat di Gedung Pertunjukan Miss Tjitjih, Selasa (12/09). Sutradara Nadine Nadilla membawakan naskah Les Bonnes (The Maids) karya Jean Genet yang telah diadaptasi oleh Iswadi Pratama. Nadine sekaligus berperan menjadi Salmah, bersama dengan Desi Vicianna sebagai Kamsah dan Dani Husein Sebagai Nyonya.

Jean Genet menulis Les Bonnes (The Maids) pada 1933. Drama ini terinspirasi dari kisah nyata, Papin bersaudara (Christine dan Lea) yang membunuh majikan dan anak perempuannya. Kala itu, kasus tersebut menghebohkan publik Perancis hingga mengundang perhatian para filsuf dan cendekiawan seperti Jean Paul Sartre, Simone de Beauvoir, hingga Jean Genet yang menilai kasus tersebut merupakan simbol perjuangan kelas pekerja. Sastrawan Perancis itu kemudian mengangkat kisah itu ke panggung dengan menyertainya dengan konflik seputar eksistensialisme.

Bermain-main dengan ilusi

Genet dikenal sebagai penulis naskah yang mengangkat tema eksistensialisme. Ia mengaku sebagai gay pada masa ketika menjadi gay adalah hal yang sangat tabu. Baginya, gay bukanlah si liyan, ia justru adalah karakter utama dalam kehidupannya.

Kekuatan naskah Genet adalah permainan antara realitas dan ilusi. Terkadang ada momen ketika keduanya menjadi samar dan sulit untuk dibedakan. Everything is always a something else. Dalam naskah Les Bonnes, Genet mengindikasikan bila ia menulis naskah dengan karakter perempuan, maka ia akan meminta laki-laki untuk memainkannya.

Itulah yang menjadikan ensambel antara Nadine-Desi dan Dani sebagai aktor menjadi istimewa, setidaknya bagi saya. Kehadiran Dani sebagai aktor transpuan yang berperan sebagai Nyonya memberikan warna khas dan mempertegas ilusi yang dihadirkan pada pertunjukan ini.

Transpuan, yang dalam dunia nyata kerap memperoleh diskriminasi, perlakuan tak menyenangkan, dalam pertunjukan ini justru menunjukkan dominasinya melalui peran Nyonya yang anggun dan angkuh. Ia berlaku sewenang-wenang kepada para babunya.

Dani memerankan Nyonya dengan baik, lewat dialeknya yang bercampur antara Indonesia–Belanda, gesture-nya yang feminin meyakinkan karakternya sebagai warga kelas atas. Godaannya barangkali terletak pada keinginan Dani untuk selalu bergerak ketika berdialog. Alhasil, beberapa gerakannya terlihat tanpa motif yang jelas meskipun tak sampai mengganggu jalannya pertunjukan.

Naskah Babu-Babu adalah naskah yang menantang dan menuntut kematangan akting para pemainnya. Sang aktor, khususnya Nadine dan Desi dituntut untuk berakting dalam akting. Peran mereka sebagai Salmah dan Kamsah memiliki karakter yang berlapis.

Desi, tak hanya berperan sebagai Kamsah. Ia juga berperan sebagai Kamsah yang berakting sebagai Nyonya. Begitu pula Nadine. Tak hanya memerankan Salmah, tetapi juga Salmah yang tengah berakting menjadi Kamsah.

Adegan dalam pertunjukan Babu-Babu oleh Salindia Teater di Gedung Kesenian Miss Tjitjih, Selasa (12/9)

Dalam hal ini, upaya Desi untuk membedakan dialek Nyonya dan Kamsah menjadi hal yang tricky untuk dilakukan. Kamsah, menurut penafsiran Desi, adalah seorang babu yang berasal dari Jawa Barat. Sementara, ketika Kamsah menjadi Nyonya, ia mengucapkan dialognya dengan Bahasa Indonesia–padahal, dalam Nyonya yang diperankan Dani, ada sedikit dialek Belanda.

Di sisi lain, Nadine yang memerankan Salmah juga tidak menggunakan dialek Sunda, baik ketika Salmah berakting menjadi Kamsah, maupun ketika Salmah menjadi dirinya sendiri. Mungkinkah Salmah dan Kamsah yang kakak-beradik dibesarkan dalam dua kota yang berbeda?

Desi yang keluar- masuk karakter Kamsah dan Kamsah ketika berakting menjadi Nyonya kemudian bergantian mengucapkan dialog dalam dialek Sunda dan Bahasa Indonesia. Namun, ada beberapa momen ketika dialog Kamsah dibacakan dengan dialek Nyonya. Apakah ini inkonsistensi pemeranan? Ataukah memang sengaja untuk menimbulkan efek samar karakter Nyonya dan Kamsah? Mungkinkah Kamsah terlalu menjiwai “menjadi” Nyonya hingga ia lupa pada dialeknya sendiri?

Meskipun demikian, harus saya akui bahwa Nadine dan Desi berhasil membangun chemistry persaudaraan (sisterhood) antara Salmah dan Kamsah dengan kuat dan amat baik. Dinamika kakak-adik yang terkadang bertengkar, terkadang akur, mewarnai dialog-dialog mereka. Ensambel antara Nadine dan Desi menjadi sajian utama pertunjukan ini.

Absurditas realita dan ilusi dibawakan dengan baik oleh keduanya. Ada saatnya penonton diyakinkan oleh realita Salmah dan Kamsah. Namun ada pula momen-momen tertentu ketika penonton disadarkan bahwa yang mereka lihat adalah sandiwara di dalam sandiwara.

Transisi ketika Salmah dan Kamsah bermain peran juga menjadi hiburan tersendiri untuk disaksikan. Penonton di sekeliling saya nampaknya menikmati adegan sandiwara antara Salmah dan Kamsah.

Nadine sebagai sutradara sekaligus aktor tampak berupaya keras untuk mengapungkan isu-isu mengenai penindasan kelas atas dan kekerasan seksual. Bagi saya, upayanya cukup berhasil. Hal itu terlihat dari pilihan pengadeganannya di ruang kamar. Adegan eksplisit, pergulatan Kamsah dan Salmah di atas kasur, sofa, dilakukan dengan baik dan sangat menjiwai.

Saking menjiwainya, dalam sebuah adegan Nadine tak sengaja melempar sepatu hak Nyonya hingga mengenai kepala Desi. Gagang sapu pun patah karena menjadi sasaran amuk Salmah. Untungnya, seluruh ketidaksengajaan itu malah memperkuat adegan dan tidak merusak alur cerita.

Nadine juga terlihat memberikan beberapa tawaran baru dalam pertunjukan Babu-Babu. Salah satunya adalah adegan musikal ketika Kamsah-Salmah bernyanyi “Ratu Sejagad” ketika Nyonya pergi. Tim Salindia Teater memang memiliki tim pemusik yang amat baik, terdiri dari Refo Trixy, Rico Alexander, Wigar Rabani, Antonia Calvin dan Yuna Yunaldi. Musik turut menjadi aktor tersendiri dalam pertunjukan ini. Perpaduan alunan biola dan piano turut mengisi adegan-adegan yang mengalir, menjadi tempo untuk menuntun dinamika permainan para aktor. Musik bernuansa klasik ini juga menegaskan nuansa mewah dalam pertunjukan ini, selaras dengan latar kamar bak istana.

Sayangnya, dalam hemat saya, adegan musikal Ratu Sejagad itu tidak menunjukkan apa pun selain bahwa Salindia Teater memiliki tim pemusik yang kuat dan aktor yang piawai bernyanyi dan menari. Sebagai penonton, pada adegan itu saya lebih melihat keakuan Nadine dan Desi ketimbang karakter Salmah dan Kamsah yang dibawakan.

Dalam pandangan saya, dinamika kakak-adik Salmah dan Kamsah telah tergambarkan dengan amat baik tanpa perlu menambahkan adegan musikal tersebut. Pun, bila dimaksudkan sebagai tawaran penyutradaraan, Nadine telah memberikan banyak tawaran lain yang lebih esensial dalam pertunjukannya tanpa adegan musikal tersebut.

Pemilihan lagu, tempo, hingga adegan musikal itu tidak memperkuat alur cerita maupun mempertegas absurditas naskah tersebut. Bagaimanapun, Salmah dan Kamsah sedang merencanakan pembunuhan kepada Nyonya–yang gagal dilakukan.

Eksperimen Nadine lainnya selaku sutradara juga terlihat pada adegan akhir ketika Salmah memainkan monolog usai Kamsah meminum teh beracun yang seharusnya diminum oleh Nyonya. Alih-alih sedih dan pentas usai seperti dalam naskah, Salmah lantas menarik begitu saja jenazah Kamsah lalu melanjutkan sandiwara rutin mereka seolah tidak terjadi apa-apa.

Menambahkan adegan yang tak ada dalam naskah tentu sah-sah saja dilakukan untuk menawarkan kebaruan. Barangkali, dalam penafsiran Nadine, monolog itu adalah representasi dari upaya Salmah meneruskan perjuangan Kamsah yang telah “bebas” dari penindasan Nyonya.

Namun, dalam penafsiran saya, adegan monolog Salmah malah mengaburkan ikatan persaudaraan (sisterhood) antara Salmah dan Kamsah yang telah dibangun sepanjang pertunjukan. Padahal, sisterhood inilah yang membuat Kamsah dan Salmah dapat bertahan menjadi babu yang selalu ditindas, menjadi bekal dan modal mereka dalam merencanakan pembunuhan Nyonya.

Derita Kelas Pekerja yang Luput Jadi Sorotan

Tak hanya sisterhood, perjuangan kelas pekerja ini juga luput menjadi highlight dalam pertunjukan Babu-Babu. Padahal, sebagaimana kasus Papin bersaudara, Salmah-dan Kamsah juga adalah simbol penderitaan kelas pekerja rendahan (blue-collar worker) yang kerap dipandang sebelah mata.

Sandiwara yang rutin dilakukan kakak beradik itu setiap malam lahir dari kecemburuan sosial terhadap kehidupan Nyonya yang serba sempurna. Ia juga merupakan eskapisme dari kehidupan nyata mereka yang penuh penindasan dan kekerasan seksual dari suami Nyonya. Salmah dan Kamsah, lebih bahagia menjadi orang lain ketimbang dirinya sendiri.

Akting Desi dan Nadine sebagai Salmah dan Kamsah yang babu terlihat kurang meyakinkan dibandingkan ketika Desi menjadi Nyonya, misalnya. Tak hanya soal dialek yang tidak konsisten, tetapi juga gesture, dan cara para aktor mengucapkan dialog para babu kurang tepat pada sasaran untuk menyampaikan ironi perbedaan kelas.

“Kita cuma babu, yang bau bacin…” dialog-dialog curahan hati para babu diucapkan dengan datar dan tempo yang cepat hingga tak meninggalkan kesan.

Barangkali, akan lebih baik bila tak semua dialog diucapkan dengan tempo yang cepat dan meledak-ledak. Jeda pada momen tertentu juga diperlukan untuk transisi, untuk menyampaikan kedalaman dari kalimat-kalimat yang ironi. Dalam teater, jeda juga adalah musik.

Secara keseluruhan, pertunjukan Babu-Babu oleh Salindia Teater layak untuk dinikmati. Bagaimanapun, kelompok teater yang baru berdiri ini berani untuk memainkan naskah yang cukup menantang dalam segi keaktoran. Dan mereka memainkannya dengan cukup baik.

Salindia Teater pun berhasil melaju ke final Festival Teater Jakarta (FTJ) pada Jumat (27/10) mendatang. Susunan pemain berubah, Nyonya tak lagi diperankan oleh Dani. Mereka memiliki waktu sebulan sejak lolos penyisihan untuk membangun chemistry.

Di samping keaktoran, saya harap mereka lebih berani memainkan tata cahaya, seperti halnya para aktornya yang berani melakukan adegan eksplisit. Pada pertunjukannya di babak penyisihan, Salindia tampak tak banyak mengeksplorasi tata cahaya. Padahal, banyak peluang untuk menghidupkan adegan lebih baik lagi lewat permainan warna dan intensitas cahaya.

Lalu, persoalan teknis seperti lampu kristal yang miring, dan buket bunga terbalik di atap kamar juga masih dapat diolah lebih jauh lagi untuk mempertegas relasi antara Nyonya dan Kamsah-Salmah. Bagaimanapun, absurditas naskah Babu-Babu telah hadir secara tegas lewat permainan para aktornya. Sementara itu, set properti dan latar dibangun dalam nuansa realisme, maka bila penata artistik ingin “bermain-main” dengan semiotika, seyogyanya tetaplah dalam koridor realisme.

Dan tentu saja, penderitaan Salmah dan Kamsah sebagai kelas pekerja juga penting untuk mendapatkan penekanan yang sama sebagaimana adegan kekerasan dan penindasan kelas atas. Isu itulah yang seharusnya menjadi jiwa pertunjukan ini. Bagaimanapun, naskah Babu-Babu tak akan lahir tanpanya.*

 

 

Bagikan karya ini

Tentang Pengarya

2 Komentar