In Memoriam Nawal el-Saadawi

Mengenangkan Nawal el-Saadawi adalah memastikan kehendak membongkar kultur patriarki yang selama berabad-abad meringkus perempuan.

Lea Pamungkas
Oleh Lea Pamungkas 366 Dilihat
7 menit membaca

Kata kunci dari sebuah revolusi adalah martabat, keadilan sosial dan kemerdekaan. Tapi hal itu tak akan dicapai tanpa mempersoalkan perempuan.

— Nawal el-Saadawi

Sebuah awal: di Titik Nol

Kutipan di atas adalah milik seorang yang menjadi salah satu pembuka jendela baru bagi saya, lewat karyanya Emra’a Enda Noktas el Sifr, atau Perempuan di Titik Nol. Nawal el-Saadawi meninggal dunia dalam usia 89 tahun. Setelah mengisi tahun-tahun hidupnya yang penuh dan mengilhami mereka yang percaya bahwa martabat, atau keadilan sosial atau kemerdekaan tak mungkin dicapai tanpa mempersoalkan perempuan.

Novelnya yang paling terkenal Perempuan di Titik Nol diawali ketika Nawal el-Saadawi yang juga seorang psikiater, meneliti kasus neurotisme pada perempuan Mesir. Ia ditugaskan di penjara Qanatir, Kairo pada tahun 1973. Di tempat ini Nawal bertemu dengan banyak tahanan perempuan, salah satunya adalah Firdaus. Seorang mantan pelacur yang tengah menunggu hukuman gantung.

Rupanya Firdaus mengguratkan kesan mendalam pada Nawal. Setelah menyelesaikan laporan penelitiannya, ia menyisihkan Firdaus secara khusus. Seminggu kemudian Nawal menyelesaikan novel Emra’a Enda Noktas el Sifr. Dalam monolog ini, dikisahkan Firdaus menolak grasi yang ditawarkan Presiden. Karena bagi perempuan yang hidup dalam budaya patriarkal, kematian mungkin adalah jalan satu-satunya menuju kebebasan sejati. Lebih lagi, “Hanya sedikit orang yang siap mati demi sebuah prinsip” jelasnya tentang Firdaus.

Tahun 1975 Perempuan di Titik Nol akhirnya terbit di Libanon, setelah para penerbit di Mesir menolaknya. Buku ini pun dilarang beredar, karena pemerintah dan ulama konservatif serta golongan fundamentalis keagamaan di Mesir, baik yang Kristen maupun Islam menganggap Perempuan di Titik Nol telah menodai wilayah agama yang suci.

Tahun 1983 Emra’a Enda Noktas el Sifr diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris. Beberapa tahun setelahnya, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Amir Sutaarga dan diterbitkan Yayasan Pendidikan Obor Indonesia. Dan sampai dekil berlipat-lipat, Perempuan di Titik Nol, saya bawa untuk diperkenalkan kepada banyak kawan, dan bermimpi bersama untuk membuatnya sebagai pertunjukan teater.

Jiwa pemberontak sejak orok

Nawal el-Saadawi lahir tahun 1931 di desa miskin Kafr Tahla. “Saya merasa keluarga saya tidak menginginkan saya. Mereka tidak tersenyum ketika saya dilahirkan. Ketika dimandikan, bidan membiarkan saya hampir tenggelam, untuk memberi kesan bahwa saya tenggelam oleh kehendak Tuhan,” demikian kisahnya dalam acara Vrijheidlezing (Kebebasan Membaca) di De Balie Amsterdam, 22 Maret 2015. Sejak orok sekalipun, tampaknya Nawal memang sudah penuh daya hidup dan jiwa pemberontak.

Tanpa pengaruh dari siapa pun. “Sejak kanak-kanak saya merasa Tuhan sudah berlaku tidak adil dan saya sempat menulis surat kepadaNya. Saya bertanya mengapa Dia memberikan prioritas kepada saudara lelaki saya. Sepenuhnya gara-gara dia laki-laki, tidak kurang dan tidak lebih”

Dibikin goblog

“Kita–kaum perempuan, lahir sebagai makhluk cerdas dan kreatif. Tetapi dibikin goblog oleh kedangkalan pendidikan dan religi.” Pada usia tujuh tahun, ia telah menyadari bahwa sebagai anak perempuan haknya lebih sedikit dari saudara lelakinya. “Tetapi surat protes saya kepada Tuhan, tidak pernah dijawab,” katanya sambil tertawa. “Saya juga tidak punya alamatnya, sih.”

Kendati tak pernah dibicarakan secara terbuka, tetapi seperti banyak anak perempuan Mesir lain, Nawal pun disunat. Dalam otobiografinya, Anak Perempuan Isis, ia menggambarkan kejahatan yang dilakukan seorang bidan dengan mengatasnamakan Tuhan. “Semua dilakukan atas nama ketakutan, dan setiap tindakan atas nama Tuhan disebut saleh. Tapi bagaimana bisa Tuhan menakuti dan mencintai pada saat bersamaan? Inilah kontradiksi iman.”

Pada tahun 1966, Nawal menjadi Kepala Departemen Pendidikan Kedokteran dalam Kementerian Kesehatan Mesir. Beberapa tahun setelahnya ia dipecat gara-gara mengkritik praktik sunat perempuan dalam bukunya Perempuan dan Seks.

Keterlibatannya dalam aktivitas politik, terutama karena protesnya tentang demokrasi pada tahun 1981, membawanya ke penjara. Nawal didakwa melakukan kejahatan terhadap negara. “Periode tersebut adalah saat yang paling berharga dalam hidup saya,” ungkapnya. Dia dikerangkeng selama tiga bulan di penjara wanita. “Saya merekomendasikan hal ini ke semua orang, dan betul– ini adalah bulan-bulan yang gelap. Tetapi penjara adalah mikrokosmos masyarakat”.

Dia hidup bersama tahanan politik, para pelacur, dan pembunuh. “Dari semua penghuni penjara, hormat saya yang tertinggi kepada para perempuan pembunuh,” katanya dengan provokatif. “Mereka dipenjara karena membela anak-anak mereka”.

Salah seorang tahanan yang ditemui Nawal di balik terali besi, menyaksikan bagaimana anak perempuannya yang berusia 9 tahun diperkosa oleh suaminya. “Dia mengambil belati, menyembelihnya menjadi irisan kecil, membungkusnya lalu melemparkannya ke Sungai Nil”.

Saat berada di penjara, Nawal tidak diijinkan memiliki alat tulis. “Penjaga penjara mengatakan –saya, pen dan kertas; lebih berbahaya dari senjata. Tetapi setiap malam saya mendapatkannya” Para penghuni penjara yang lain, berupaya menyediakan mata potlot dan kertas toilet buatnya. “Mereka menyelamatkan hidup saya. Jika lebih dari 3 bulan saya tidak menulis, saya bisa gila. Menulis bagi saya seperti nafas, jika saya tidak menulis saya merasa tercekik dan mati”.

Keberadaan perlawanan

Nawal el-Saadawi membayar mahal perlawanannya. Setelah diancam dibunuh oleh kaum fundamentalis, pada tahun 90-an ia lari dari Mesir dan tinggal cukup lama di Amerika. Untuk jutaan pembacanya, dia adalah idola, juga ketika karya-karyanya dilarang di Mesir. “Tetapi musuh-musuh saya berusaha merusak reputasi saya dengan mengatakan bahwa saya bukan wanita yang baik. Ayolah, “katanya sambil bercanda. “Memang benar saya bukan istri yang baik, karena saya sudah tiga kali bercerai. Tapi, bagaimanapun, saya adalah ibu yang sangat baik.”

Selain 56 buku-bukunya, yang terdiri dari kumpulan cerpen, esai dan naskah sandiwara, Nawal el-Saadawi meninggalkan dua anak. Dan sampai akhir hidupnya, keberadaan Nawal el-Saadawi adalah keberadaan tentang perlawanan terhadap penindasan oleh keluarga, agama, budaya, masyarakat, kolonialisme dan imperialisme.

Tahun 2011, ia tampak berada di antara ribuan demonstran di Lapangan Tahrir Kairo menuntut turunnya Presiden Husni Mubarak. Ketika Mubarak diganti oleh presiden Islamis Mohamad Morsi, tahun 2013 Nawal el-Saadawi mengajukan keberatannya dengan mengatakan Mesir akan lebih baik tanpa pemimpin yang fundamentalis-relijius.

Dokter, psikiater dan penulis Nawal el-Saadawi menerima penghargaan Great Minds of the Twentieth Century dari American Biographical Institute (2003), North-South Prize dari Council of Europe (2014), Premi Internacional Catalunya (2014) dan Sastra Afrika pada tahun 2007 di AS. Penghargaan Asosiasi Fonlon-Nichols.

* * *

(Dari berbagai sumber)

Bagikan karya ini

Tentang Pengarya

Tinggalkan Komentar