Sebuah Puisi, Sebuah Pigura Hati

Sepanjang hidup, barangkali selalu ada kenangan yang bening tersimpan pada laci kehidupan kita. Sebagian bisa terbit lagi ketika selarik tulisan atau sesobek kertas hadir dihadapan kita.

Kartawijaya
Oleh Kartawijaya 520 Dilihat
3 menit membaca

Sepanjang hidup, barangkali selalu ada kenangan yang bening tersimpan pada laci kehidupan kita. Sebagian bisa terbit lagi ketika selarik tulisan atau sesobek kertas hadir dihadapan kita. Seperti pagi ini, secara tak terduga, Budi Hananto mengirimkan berkas-berkas dokumen peninggalan Almarhum Taufik J. Wibowo. Bagi saya, dari semua dokumen itu, ada satu puisi yang sangat berkesan karena menandai proses perubahan kehidupan almarhum melalui peristiwa yang cukup dramatis.

Sejujurnya, dalam hal ini saya sedang tidak membicarakan kualitas puisi. Lebih pada latar belakang lahirnya puisi tersebut karena kebetulan saya memiliki hubungan yang cukup dekat dengan penyairnya juga terlibat dalam peristiwa yang di abstraksinya. Terutama penanda melalui tanda baca titik dua (:) setelah judul, yaitu “: aksi mahasiswa bandung di jl. merdeka, 12 april 89”.

Lagu Cinta 08, puisi T.J. Wibowo

 

Pada saat aksi itu berlangsung, sebenarnya kami sedang dalam proses latihan Perempuan di Tiang Gantungan, sebuah pertunjukan yang naskahnya ditulis dan disutradarai Hikmat Gumelar Anyar. Almarhum T.J. Wibowo kemudian cukup kreatif ketika proses aksi sedang berlangsung, dia berdiri dan berteriak: “Kopral Sigiiiitttt!!!” Otomatis saya dan Hery Musbiawan dengan sigap berdiri dan bersikap sebagaimana dalam latihan teater yang sedang kami jalani. T.J. Wibowo kemudian melanjutkan: Tertibkan semua yang berdiriiii!! Semua suruh duduk, yang tidak duduk adalah Pe-Ka-Iiii. Tanpa kami bergerak pun semua peserta aksi otomatis duduk. Saya dan Hery Musbiawan hanya pura-pura berkeliling saja untuk memastikan semua duduk. Hanya saja, saya dan Hery, tidak berani mendatangi barisan tentara yang ada di seberang menutupi jalan yang melindungi Balaikota. Mereka tetap berdiri. Seingat saya, aksi itu kemudian berakhir dengan ricuh, masing-masing berlarian mencari selamat.

Tiga hari kemudian, baru saya bertemu lagi dengan T.J. Wibowo di sekretariat GSSTF Unpad. Almarhum bercerita bahwa dirinya sekarang lebih banyak mencari tempat bersembunyi karena dicari oleh pihak keamanan gara-gara membuat pertunjukan dan mengucapkan kata PeKaI yang sangat sensitif pada jaman itu. Katanya lagi bahwa kakak iparnya yang berdinas di TNI AU juga cukup mendapat tekanan. Sejak itu, jarang sekali saya mendapat kabar dari almarhum sampai suatu hari terdengar selentingan bahwa almarhum sudah bekerja di Tabloid Detik. Kami cukup dekat lagi dengan almarhum ketika terjadi pembreidelan Tempo, Editor, dan Detik. Sempat kami mengadakan acara untuk menolak pembredelan tersebut.

Al Fatihah buat sahabat tersayang Taufik Junaidi Wibowo. Damai dalam pelukan Sang Pengasih.

* * *

TAGGED:
Bagikan karya ini

Tentang Pengarya

Tinggalkan Komentar