Di tengah persiapan menuju Meinuai, 13 Mei lalu di Teras Sunda Cibiru, kami diundang berbuka puasa bersama oleh Teh Sri dan Kang Ridhwan ke rumah mereka di bilangan Simpang Dago. Kekenyangan oleh hidangan yang super enak dari Mbak Sri dan puteri-puterinya, beruntunglah kami terhindar dari dosa bengong : Kang Ridhwan dan Cak Amar amat bersemangat mengajak kami semua menggenapkan syair himne GSSTF dan menyanyikannya. Dengan bebas merdeka seakan rumah sendiri – mudah-mudahan tak ada tetangga yang mengeluh setelah kami pulang – kami menyanyikan himne itu merasa seperti paduan suara terbaik sejagat. Kami bersuara kencang sebagaimana dicontohkan Cak Gangsar, betapa pun paraunya suara kami. Dosa bengong akibat kekenyangan pun sirna …
Seperti syair himne, maka lalu “…Kami pulang dengan cinta …” – ya iyalah, udah dapat makan enak. Sudah menjelang tengah malam, kayaknya. Masing-masing ke kendaraannya di parkiran salon kondang yang dulu ada wartelnya di Simpang. Saya nyetir, Olin duduk di depan dan di baris kedua Dhini, Yufik, Fajar dan Hikmat duduk dengan jinaknya kayak merpati. Para cowok bertiga itu ikut sampai tempat parkir mobil Fajar di UNPAD Dipati Ukur – jangan tanya kelakuan ini ya : acara di Simpang tapi parkir di Dipati Ukur, UNPAD? Sementara Ina, Neng kepala Produksi, kami lihat sudah bersetelan lengkap mau bermotor malam.
Baru mau memundurkan mobil, eh ujug-ujug ada yang mengetuk-ngetuk jendela Olin. Busyet, kami pikir, udah malam begini tukang parkir kagak ada sabarnya ya. Begitu jendela diturunkan, eh tukang parkirnya geulis : Neng Ina geuningan.
“Ada yang punya masker baru nggak?” tanya Ina bari nyengir.
Kontan kami sibuk cari-cari masker dengan gestur badan putar kiri-kanan, buka tutup laci seakan semua dengan yakin bakal menemukan masker dengan mudah di mana pun masing-masing kami berada. Sementara kenyataan hidup toh berlawanan dengan gestur sok otomatis dari kami itu : tak ada masker baru yang berhasil kami temukan. Yah, nasibmu Ina.
Eh, tiba-tiba Hikmat berseru, sepertinya menemukan masker yang dibutuhkan Ina.
“Ini nih ada, baru… baru kupakai dua hari,” kata Hikmat.
Kontan kami semobil penuh ngabarakatak ngakak udah nggak peduli lagi perasaan Neng Pimpro.
***