Kenduri Teater Kampus

Sebuah pertunjukan dilakukan hanya dengan tiga kali latihan. Dua kali latihan daring dan sekali latihan panggung.

Amar Faishal
Oleh Amar Faishal 259 Dilihat
6 menit membaca

Sebuah pertunjukan dilakukan hanya dengan tiga kali latihan. Dua kali latihan daring dan sekali latihan panggung.

Para pemainnya berada di tempat yang berbeda, Depok, Solo, Sumedang, dan Bandung. Mereka baru bisa bertemu sehari sebelum acara berlangsung. Itulah sekalinya mereka latihan bersama di tempat pertunjukan. Langsung gladi bersih, jadinya.

Pertunjukan ini berupa dramatic reading yang diselenggarakan dalam rangka reuni GSSTF (Gelanggang Seni Sastra, Teater, dan Film), salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa Universitas Padjadjaran, berlangsung di gedung pertunjukan Teras Sunda Cibiru, Bandung, 13 Mei 2023.

Terpisahnya geografis, beragamnya aktivitas dan sempitnya waktu, dramatic reading jadi yang paling mungkin. Ada pejabat negara, mahasiswa, pemain musik, penulis, pengelola rumah makan dan ibu rumah tangga. Rentang usianya juga cukup lebar, dari mahasiswa angkatan 1983 sampai angkatan 2022. Yang pasti semuanya adalah pegiat kesenian kampus yang berada dalam satu wadah GSSTF, pada zaman kuliahnya masing-masing.

Semangatnya adalah menjaga ikatan, spirit, dan saling berbagi agar berkesenian di kampus jangan sampai padam. Bahwa kesenian adalah bagian dari kebudayaan dan peradaban yang wilayah kerjanya harus masuk juga pada dunia pendidikan, dunia kampus.

Selain pemain dramatic reading, para anggota keluarga besar yang hendak berbagi, diberi ruang. Ada yang membaca puisi, pementasan drama oleh para mahasiswa, Orkes Keroncong Rindu Order yang didirikan oleh para anggota GSSTF, turut naik ke panggung, group musik Surobuldog & Begal Cinta, Little Keroncong. Ada Peluncuran “Menuai.id”, wadah untuk menampung aneka karya. Reuni pun jadi semacam kenduri dengan beragam menu.

Yudi Latif, aktivis GSSTF angkatan 1985, memberikan orasi tentang pentingnya pengelolaan human capital. Kesenian adalah kakayaan yang diolah dalam konteks budaya. Itu menjadi aset bangsa yang sangat berdaya. Hanya manusialah yang bisa melakukan itu, bukan makhluk primata yang lain. Jadi bangsa ini tidak bisa mengabaikan kesenian untuk menjadi manusia sepenuhnya.

Meski reuni GSSTF, kenyataannya yang hadir pada acara ini bukan hanya para anggota. Undangan memang dibuat terbuka bagi keluarga besar, kerabat, sahabat dan simpatisan. Beberapa mantan para aktivis kampus juga hadir dan berkumpul.

Memang sebagian anggota GSSTF pada tahun akhir ‘80 sampai awal ’90 adalah juga para aktivis di kampus. Masa itu tidak jarang mereka diajak unjuk rasa oleh teman-teman dari kampus lain karena GSSTF punya orang jago orasi dan baca puisi, happening art-nya asyik, ada yang pintar main musik, bahkan nembang. Lengkap.

Tidak semua anggota, terutama yang baru, angkatan setelah tahun 2000 mengetahui sejarah unit kegiatan mahasiswa ini. Dihadirkanlah para saksi dan pelaku sejarah untuk berkisah, salah satunya, Dr. Aceng Abdullah, Unpad angkatan ‘79.

24 April 1983 diadakan perayaan Bandung Lautan Api di Aula Unpad (sekarang Graha Sanoesi Hardjadinata). Ada pementasan. Pemainnya mahasiswa dari beragam jurusan, Sastra Indonesia, Sastra Prancis, Pertanian, Publisistik (kini Fikom) dan lain lain seperti Prof. Dadang Suganda, Jarlis, Lea Pamungkas. Aceng Abdullah masa itu adalah mahasiswa Jurnalistik anggota Unit Kegiatan Mahasiswa Lises (Lingkung Seni Sunda).

Usai perayaan, Ketua Panitia Bambang Budi Asmara (Bambang Buas– Alm), Sastra 79/Fikom 81, ingin tim pendukung perayaan itu tidak bubar dulu. Sayang tim yang solid ini bubar begitu saja. Dari situlah muncul gagasan membentuk unit seni teater.

Gagasan itu bersambut, lantas terbentukan GSSTF yang secara resmi berdiri pada Oktober 1984. Ade Kosmaya (Alm.) dari Fakultas Sastra adalah salah satu penyusun AD/ART-nya.

Naskah awal yang dimainkan adalah Lawan Catur, naskah drama satu babak terjemahan Rendra tahun 60-an tentang perlawanan terhadap kekuasaan. Tema yang memiliki aktualitas hingga kini. Naskah drama ini paling sering dimainkan sepanjang sejarah GSSTF.

Bagaimana suasana kampus kini? Dengan sistem perkuliahan seperti sekarang apakah masih memungkinkan dan cukup leluasa bagi mahasiswa untuk berkesenian atau berteater? Inilah yang juga sempat dibincangkan.

Kalau melihat sistem kuliah secama umum, rasanya masih memungkinkan. Tinggal mengatur waktu dan menjaga semangat berkesenian jangan sampai kendor, kata Aceng Abdullah yang juga Ketua Senat Fikom Unpad.

Selain itu, dalam berkesenian jejaring kerja perlu terus dibangun, baik dengan lingkungan orang kampus maupun luar kampus. Jumlah mahasiswa baru (angkatan 2022) yang masuk unit teater ini ada 80-an orang. Optimisme berkesenian di kampus masih cukup terbuka.

Yang juga menarik adalah pengungkapan proses penciptaan Mars GSSTF.

Satu sore, beberapa mahasiswa unit teater ini nongkrong di Kampus Jl. Dipati Ukur: Lea Pamungkas, Mukti Wibowo, Maman Gantra, Maringan Simanjuntak.

Ada Hasudungan Rambe (Unpad ’85) dan Ridwan Wardayanto (Unpad ’82) memegang booklet Parade Teater 1985 warna merah dan membawa gitar. Di antara mereka, kedua orang GSSTF ini yang bisa genjreng-genjreng main gitar dengan baik dan benar. Teks dari booklet itulah, dengan beberapa penyesuaian, yang dijadikan lirik dalam nyanyian. Teks itu dianggap mewakili suasana kebathinan saat itu. Lantas jadilah lagu yang dianggap sebagai mars. Pada penerimaan mahasiswa baru 1986, Mars ini mulai diperkenalkan.

Kini Mars telah diaransemen ulang dan dinyanyikan bersama pada acara reuni, “Meinuai GSSTF: Orkestrasi Lintas Generasi”, kemarin.

Mungkin kami burung
Burung terbang malam
Mungkin kami anak-anak berang


Mungkin kami layang
Layang putus benang
Yang terhempas angin kencang zaman


Tapi kami datang dengan cinta
Dalam kata dan langkah sederhana
Kebersamaan, keselarasan
Kemerdekaan, Kesejatian
Itu… yang kami impikan.

* * *

Bagikan karya ini

Tentang Pengarya

Tinggalkan Komentar