Episode Jumanti

Ini cuma berkisah tentang seorang gadis berusia 28 tahun bernama Jumanti Piun, atau dipanggil Juju saja ia sudah menengok.

Meliana V. Surya
Oleh Meliana V. Surya 289 Dilihat
12 menit membaca

Ini cuma berkisah tentang seorang gadis berusia 28 tahun bernama Jumanti Piun, atau dipanggil Juju saja ia sudah menengok. Juju bukan gadis dusun tetapi bukan pula gadis yang biasa menghabiskan waktunya di pusat-pusat pertokoan. Ia cuma gadis sederhana lulusan SMP yang tidak memiliki cita-cita. Juju sebenarnya manis, tapi sayang bekas luka ketika jatuh dari sepeda yang memanjang di pipi kanannya membuatnya selalu rendah diri.

Enam hari dalam seminggu, 9 jam sehari, Juju harus duduk berkutat menjahit baju yang jumlahnya ratusan, bersama sekitar 1500 orang lainnya di sebuah pabrik garmen. Istirahat yang tersedia hanya cukup untuk makan dengan terburu-buru tanpa sempat sholat Djuhur karena antrian di mushola 3 X 3 meter itu begitu panjang.

Pada pukul 5 sore, Juju dan yang lainnya berbondong-bondong mengejar bus yang selalu saja penuh sesak dan banyak copet. Kadang harus berjalan 500 meter untuk mencapai terminal terdekat. Bis di sana tentu lebih sedikit penumpangnya, walaupun Juju harus pasrah bila ada orang-orang bertato dengan botol bir di tangan, menggoda atau bahkan mencolek pantatnya kurang ajar. Juga merelakan paru-paru dan telinganya dipenuhi oleh asap hitam beracun serta  bising klakson dari berbagai penjuru kota.

Juju pulang ke sebuah rumah semen yang tidak sempat dicat. Di pinggir kali berwarna coklat kehitaman yang mengangkut beban berton limbah kota Jakarta. Penat sudah mencapai ubun-ubun Juju, tapi di rumah tak pernah ada kedamaian barang sedikit pun. Yang ada cuma empat orang adik yang masih ingusan dan berlari ke sana-ke mari. Berkelahi dan ribut.

Emak dan Bapak sudah cukup tua, tapi masih saja tidak kapok memproduksi makhluk kecil yang tidak tahu diberi makan apa dengan gaji Juju Rp. 375.000, yang belum dipotong segala tetek bengek tunjangan ini itu. Masih ditambah suara pertengkaran tetangga yang masuk menembus  dinding seng dapur. Gemuruh dan lengkingan kereta yang secara berkala datang menggetarkan rumah. Membuat Juju merasa, seperti orang-orang kaya sering bilang, stres. Tetapi tidak ada waktu untuk memikirkan stres, Juju biasanya cepat-cepat tidur karena tidak mau besoknya terlambat mengejar bus. Begitu selalu Juju menjalani harinya.

Tetapi hari ini berbeda, para buruh hanya berkumpul-kumpul saja di depan pabrik. Tidak buru-buru masuk seperti biasanya. Juju yang baru menjejakkan kedua kakinya ke aspal setelah sebelumnya berdiri selama dua jam di dalam bus, bingung tak mengerti ada apa. Ia bertanya pada Mas Diman, satpam pabrik, dan Pak Muling, Kepala Divisi Gudang. Keduanya berkeringat dan pucat. “ Ada apaan ya, Pak ?“ Tanya Juju sesopan mungkin.

“Alah, pake tanya segala lu, dasar buruh sialan! Udah dikasih kerjaan krismon begini, malah bikin pusing segala !” Semprot Pak Muling tanpa ujung pangkal. Juju langsung menyingkir dan mendekati teman-temannya.

“Eh Wi, kok kagak pada masuk sih?” Dwi, gadis Betawi asli yang gendut, cuma melirik Juju sekilas. Juju mencolek bahunya.

“Elu sih, pulang duluan melulu, ketinggalan berita lu.”

“Emangnya ada apaan sih ?”  Dwi cuma diam. Juju memanjangkan lehernya ke kiri dan ke kanan. Semua buruh duduk di aspal. Juju pun ikut. Wajah mereka mengambarkan keseriusan lebih dari ketika menghitung gaji di awal bulan. Suli, buruh senior dengan wajah penuh bopeng bekas sakit cacar air, sedang berteriak-teriak penuh semangat di dekat tiang bendera. Ludahnya menyebar ke mana-mana seperti selang bocor.

“Ayo, kawan-kawan jangan takut…,” cuma itu yang terdengar oleh Juju, selebihnya Suli terlihat seperti dukun yang sedang komat-kamit saja.

Juju menengok ke sana-ke mari. “Jal, Jali..ada apaan sih ?” Bisiknya pada Jali, laki-laki yang dilihat dari samping seperti Rano Karno. Jali menengok.

“Ada demo, bego.”

Juju mengerutu. “Demo–demo apaan Li ?

“Demo ya demonstrasi, emangnya demo masak !” Jali  melotot.

Juju membulatkan mulutnya. Tapi sebentar ia mengerutkan keningnya. “Lah, apaan yang didemonstrasiin, Li ?”

“Udah dah, kagak usah banyak nanya ! Lu ikut aja !”

“Tapi, Li..” akhirnya Juju berhenti bertanya. Kemudian ia mengurut-ngurut kakinya yang pegal karena berdiri di bus. Garis-garis hijau meliuk-liuk  di betisnya seperti peta. Lalu Juju membetulkan karet gelang yang menyatukan rambutnya yang berantakan. Memasang jepit yang hampir copot. Hingga terlambat menyadari ratusan buruh yang lain satu persatu mulai berdiri seperti gelombang laut.

“Eh, eh pada mau kemana nih ?” Juju buru-buru ikut berdiri dan berjalan terseret oleh arus manusia yang bergerak rapat dan berteriak semangat. Bau keringat, minyak wangi murahan, balsem caplang, seragam pabrik yang belum disetrika, rambut-rambut bau asap, semua bercampur  menerpa Juju, membuat sulit bernapas. Langkahnya terseret-seret, sepatu yang baru disol kemarin di pasar rasanya sudah mau copot lagi. Dompet merah berbunga-bunga dipegangnya erat. Pemberian Ikum bekas pacarnya yang kuli beras, yang sekarang sudah kawin dengan janda kaya. Isinya uang Rp.3250, KTP, surat cinta Ikum yang sudah lusuh, kartu nama Pak RT, tensoplast, foto Emak dan Bapak waktu menikah, juga kartu absen pabrik. Semua itu terlalu berharga buat Juju untuk dicopet.

Kemudian terdengar sahut-sahutan buruh yang bernyanyi dan mengacung-acungkan kepalan tangan dipimpin Suli dan orang-orang yang belum pernah dilihat Juju sebelumnya. Mereka kelihatannya terlalu rapih untuk menjadi buruh. Entah dari mana datangnya. Juju pun ikut-ikutan nyanyi, setelah Upi gadis pindahan Solo yang judes, menyodok punggungnya keras.

“Nyanyi dong, ndak  solider  kamu !”

Dan ikut pula mengumpat, memaki dan menunjuk-nunjuk Bos Dolly, pimpinan pabrik yang biasanya sangat galak dan selalu marah-marah dengan bahasa asing itu. Kini ia cuma bisa menghapus keringat di dahinya dengan tisu, pucat dan ketakutan. Ia berdiri diantara laki-laki gagah dengan lengan yang tak bisa di rapatkan ke badan. Satpam dan puluhan orang dengan pentungan di tangan mengelilingi membentuk benteng manusia.

Hari semakin panas dan panas, sinar matahari menyirami dengan ganasnya. Membakar ubun-ubun. Suasana pun semakin memanas. Juju sebenarnya tidak tahan ingin minum teh botol atau sepiring gado-gado di kantin belakang. Tapi tak ada jalan keluar dari lautan manusia ini. Dan begitu pula ketika entah dimulai dari mana datangnya batu, botol, kaleng, bahkan sendal jepit berterbangan di atas kepala Juju dan yang lain.  Semua menjadi kacau-balau, tak ada lagi nyanyian atau yel-yel yang terdengar, yang ada hanya jeritan dan pekik ketakutan kaum perempuan. Berlarian menyelamatkan diri masing-masing.

Untuk beberapa saat Juju cuma celingukan saja, tak tahu harus berbuat apa dan lari ke mana. Kemudian entah siapa yang menabraknya hingga ia jatuh terjerembab mencium aspal yang panas dihujani cahaya matahari, dan entah siapa pula yang tega menginjak-injak tubuhnya. Semua begitu cepat dan tak terkendali. Juju cuma bisa berteriak-teriak minta tolong tanpa bisa bangun dan menyelamatkan diri. Tak ada yang mendengar dan peduli dengan jeritannya yang tenggelam diantara riuh-rendah pekik histeris manusia.

Orang-orang dengan emosi yang memuncak, aparat dengan senjata yang terkokang, hawa dan nafsu menghapus kesadaran. Suli serta orang-orang asing itu  pun terbang entah kemana. Begitu pun Dwi, Jali, Upi dan semua orang yang masih memiliki rasa kemanusiaanya tak kelihatan wujudnya lagi.

Dompet bunga-bunganya terlepas dari genggaman dan hilang  tertendang-tendang orang. Jepit rambutnya copot dan yang pasti, Juju yakin besok ia tidak bisa berangkat kerja. Tulang dan badannya seperti remuk, mana bisa mengejar  bus dan berdiri selama dua jam ?  Apalagi mengejar setoran jahitan. Mbak Mine pasti marah.  Kemarin saja ia masih kurang 35 jahitan. Habis perutnya sakit melilit-lilit. Maklum datang bulan hari pertama. Tapi Mbak Mine mana mau maklum, biarpun ia perempuan juga.  Dan bagaimana pula Juju pulang nanti sore, dikantongnya tak ada uang barang sepeser. Mungkin pinjam Upi atau Dwi saja. Itupun kalau bertemu di tengah orang banyak begini.

Waduh, Emak juga akan marah-marah. Soalnya dari kemarin Emak sudah wanti-wanti minta dibelikan mangga muda di pasar. Kata Emak, sepertinya ia  mengidam. Juju bilang bapak saja yang membelikan. Tapi bapak tidak mau, sibuk katanya. Sibuk menghitung nomer togel dan main gaplek.

Emak juga mengapa hamil lagi. Tiwi, adik bungsunya saja baru berumur satu tahun! Nanti siapa yang akan menggendongnya ke sana-kemari. Merawat dan menyuapi. Masa harus Juju juga? Idud, adiknya yang terbesar, pasti tidak mau. Ia mulai pacaran dengan anak tetangga, si Tati. Malah kemarin Juju lihat mereka sedang peluk-pelukan di sumur belakang. Kalau Juju tidak menyiram mereka dengan air bekas cucian, entah bagaimana jadinya. Hamil baru tahu rasa !

Juju saja sampai saat ini belum kawin. Si Idud malah sok pacaran. Bukannya Juju tidak laku, tetapi ia kasihan Emak dan adik-adik. Kalau ia kawin bagaimana dengan mereka, siapa yang akan membiayai? Lagipula Juju malu, sebenarnya ini amat rahasia, soalnya Juju ternyata sudah tidak perawan lagi! Si Ikum, bekas pacarnya itu yang berhasil memaksa Juju menyerahkan segala kehormatannya. Habis katanya kalau Juju tidak mau, berarti ia tidak cinta pada Ikum. Eh, setelah tiga bulan mereka melakukan perbuatan yang membuat Juju malu bertemu dengan guru mengajinya itu, Ikum malah kabur dengan Saripah, janda kaya yang punya sawah 20 hektar di kampungnya itu. Padahal jeleknya amit-amit. Masih untung Juju tidak sampai hamil. Benar-benar kurang ajar si Ikum itu.

Juju sampai mendatangi dukun di Banten supaya Ikum kembali lagi padanya. Tapi tak ada hasilnya sama sekali, malah Juju sempat di pegang-pegang dan diajak kawin dukun mata keranjang itu.   Juju juga pernah nekat menyusul Ikum di kampung si Saripah, sampai dua jam naik ojek. Menangis-nangis minta Ikum mengawininya. Dan yang membuat Juju sangat sakit hati, Ikum pura-pura tidak kenal dan mengusirnya tega. Mengata-ngatainya perempuan begituan, mata duitan dan tidak tahu malu. Tapi sampai sekarang, Juju masih saja menyimpan surat cinta Ikum.  Entah untuk apa dan sampai kapan.

Darah merembesi kepala Juju. Luka, lecet, bilur-bilur biru menghiasi tubuhnya. Retak menghampiri jemari tangannya. Rasa sakit menyelimuti, menghilangkan kesadarannya. Ada banyak bidadari-bidadari menari-nari di sekitar matanya. Juga panggilan untuk Jumanti Piun di speaker dari bagian administrasi, bentakan marah emak, rayuan bapak minta uang lagi untuk masang judi, rengekan Idud yang mau malam mingguan, tangisan kurang gizi Tiwi, teriakan pendukung partai kalah pemilu, lonjakan harga cabe keriting, serta sayup-sayup suara minta tolong orang-orang hilang. Jujuu, Juju—Ju, JUMANTI!

*  *  *

 

Cerpen ini pernah memenangi lomba cerpen yang diadakan Komunitas Per-Empu-an Himpunan Sastra Indonesia Gelanggang Unpad, 1 Juni 2002

 

Bagikan karya ini

Tentang Pengarya

Tinggalkan Komentar