Please Wake Me (to look) for Meals
Tolong bangunkan aku. Setiap hari puluhan tahun aku berjalan dalam
tidur. Hatiku makin kotak dalam adab ini – hati kotak merindu bulan!
Mimpiku bilang aku menemukan surga, betapapun itu neon.
Sepertinya pernah kamu menggugah aku dahulu : di jejalur yang
dibekap aspal kamu nemu kecambah tumbuh menembus lapisan
hitam itu. Kita terpana, membelai-belainya, mendoakannya. (Kita tak
ingat apakah waktu itu kita lantas mencari tahu cara menggembur-
suburkan aspal.) Kita melulu takjub, memanjang-manjangkan desis
doa kita bersamaan dengan memanjang dan melebarnya ular hitam
itu. Maka bulatan bumi pun memuai. Rongga dada mengembang.
Udara mengembung. Kita berpencaran. Mega-mega yang tersibak
baling-baling begitu dekat mengiringi. Dan lagi-lagi kembali ke
dataran ini, punggung si ular hitam dengan sisiknya berupa batu-batu
purba. Diatasnya orang-orang berkerumun, menyebar, berkerumun
lagi, semua dengan mata terpejam. Kita berhadapan kembali saling
menunjuk geli : seperti mereka kita sama terbungkus jas panjang
hitam. Lantas betotan pusaran yang silih menjauhkan-mendekatkan
ini. Pusaran yang bikin kita tak sempat bingung pada tampilan‚ yang
kemarin ada hari ini raib’. Pusaran tak berjeda untuk memeriksa:
aku mungkin mencari pulang, kamu barangkali mengejar berangkat’.
Kita hanya terayun dalam tempo terus meninggi. Kita bertumbukan.
Orang-orang bertumbukan. Banyak yang saling terpental ambruk,
sisanya yang sedikit saling melekat (Tentu saja tetap dengan mimpi
masing-masing. Adakah dua mimpi yang persis sama-sebangun?).
Semua lantas meluncur dalam gerak spiral yang berulang meluas-
mengkerut. Ini dansa yang rapi Neon dan Nisan! Ada dentang
lonceng rumah doa menggaung ajeg. Seseorang mendentingkan
piano di tengah hamparan pelataran, imbuhan kenyamanan kepada
ketertiban. Tak ada cahaya rupawarna. Hanya terang, putih, datar.
(Dalam luncuran-tidurku kulihat diriku bermimpi mengulek tempe,
cabai dan terasi. Tak lupa kuselipkan lembar-lembar daun kemangi.
Nasi barusan matang berkepul-kepul. Kamu tersenyum menunggu di
meja sambil menyusun-nyusun kotak mimpimu serupa rumah…).
Matahari sembunyi. Dingin sekali. Tubuh-tubuh yang melekat,
berseluncuran, namun kini dengan rongga dada kelewat meluas
sehingga kosong. Bernafas sudah tak lagi saling menghembuskan
hangat. Gesekan kaki-kaki dengan sisik ular kian meruapkan asap
busuk. Gumam doa tak menjadi halte (Pasar kok melulu dagang ya?
Kemarin Ibu ke pasar menggadaikan gelang-emasnya). Ini gerak
hanya melingkar tanpa terminus. Lutut-lutut sudah pada gemetar.
Aku lapar sekali. Tolong bangunkan kami untuk menemukan padi!
Bandung – Metropol, 5 – 7 April 2006