Almanak

Sepilihan Puisi Baban Banita

Baban Banita
Oleh Baban Banita 294 Dilihat
3 menit membaca

Almanak

ibu selalu melarangku
menyobek almanak
padahal ingin sekali
aku membuat topi pesta
dan perahu
bagi pacar manjaku

-bahkan almanak 10 tahun lampau
yang ada catatan burungku disunat 22 desember-

ibu memang rajin
sejak aku lahir almanak
tersimpan rapi di lemari

kini ibu sudah pulang
berpisah waktu dan tak memerlukan almanak lagi
almanak-almanak itu kulebur jadi kertas daur ulang
dan kubuat almanak baru

di almanak baru ada catatan ibu yang tak mau hilang
yaitu saat burungku disunat 22 desember

maka jadilah almanak baru itu
semua bergambar burungku
yang pucat meneteskan darah
di tangan ibu

 

2005

 

Sajak Juli

Rumah kita hanya kertas dengan coret moret seadanya
Kita begitu menyukai ruang makan
Padahal kosa kata di atas meja makan tidak pernah beranjak
Dari tahu dan tempe
Kadang sebulan sekali kita baru menemukan kata sapi
Itu pun dengan sedikit keributan
Karena harus berbagi kursi dengan para tamu atau ibu bapak kita

Untuk bercinta pun kita pilih ruang makan
Selain lebih lama ejakulasi juga rasanya lebih menantang
Karena ada semacam petualangan atau semacam ketakutan
Sebab ruang makan itu tanpa daun pintu
Ntahlah, mungkin karena aku sering kelaparan selepas orgasme

Rumah kita hanya kertas dengan coret moret seadanya
Dan ruang makan adalah tempat tidur kita, tempat belajar,
Tempat menerima tamu, mungkin juga tempat mati kita

 

Juli 2008

 

Umur

Barangkali umur seperti tanah
yang setia menunggu
hingga tubuh kita kembali. Atau umur
seperti layang-layang yang gemetar
sendirian di ketinggian
dan selalu merahasiakan ketakutannya.

Atau mungkin umur seperti daun belimbing
yang tiba-tiba lepas dari ranting
dan melayang mirip sajak.
Mungkin umur, seperti katamu,
adalah barisan doa yang begitu sabar berdiri
dalam antrian sangat panjang menuju Doa.

 

22 Desember 22

 

Tentang Waktu

Pada tik tok jam itu
Tersandera bermacam-macam nasib
Ikut berputar
Seperti ingin keluar
Dari detaknya

 

Desember, 2015

 

Daun yang Gugur

“Daun itu gugur karena dipukul angin,” ucapmu
“Bukan. Itu karena jarum waktu,” kilahku

dan sepanjang siang itu kita bertengkar kata
tentang daun yang kita jadikan perahu
dalam pelayaran menuju laut
kita takpernah berebut tempat
hanya kadang-kadang kau memelukku
di setiap kelokan yang menganga ular

“Hai, daun itu gugur karena kita ingin
menjadikannya perahu. Lihatlah
dia begitu erat mengingatkan usia.”

lalu, sebelum sampai di laut luas
kita berpencar dihembus angin
melayang seperti daun yang gugur
kita belum sempat bertanya
kenapa kita gugur daun

 

2005

Bagikan karya ini

Tentang Pengarya

Tinggalkan Komentar