Waiting for the Jazz

Sepilihan Puisi Fajar Syuderajat

Fajar Syuderajat
Oleh Fajar Syuderajat 407 Dilihat
5 menit membaca

Waiting for the Jazz[1]

Hanya sebuah meja makan
tanpa kopi hangat dan setangkup roti.
Dingin seperti telah membuat janji pada jendela. Mengantar harapan-harapan beku
di setiap sapa pagi ini.

“Aku ingin jazz-ku!”
(seorang anak kecil tanpa jenis kelamin berteriak)
Bukan yang ada di buku-buku,
bukan yang ada di rekaman-rekaman.
Aku ingin jazz-ku
yang menyanyikan dirinya sendiri.

Kemudian
cuma jarum jam yang tawarkan detik-detik berikutnya.
Sepi.

Mari melengkingkan malam.
Danau bulan bulat utuh
tak pernah kami punya
di genggaman.

Dan
langit kini sudah bergincu kabel-kabel.
Suara-suara gelisah
bertanya.
Semua orang
merasa makin berhak tahu
tentang waktu juga peristiwa.

Pagi dingin
dalam jazz, cuma jazz melankolis.
Sebuah paket kiriman:
setangkai rindu,
lorong-lorong kota jauh,
sisa kebun belakang rumah
dimana kuajak dia bermain ayunan
dan layang-layang.

“don’t be afraid… …don’t be afraid my child…
there’s still be love… and hope….”

Bandung, 8 Juli 1999

——————-
[1] Setelah mendengar lagu Somebody Nobody Loves, Benny Goodman & Peggy Lee.

 

Keroncong Perjumpaan I

Lagu keroncong melukis dirimu.
Memasak nada ranum di dada.

Ada yang menyentak:
sebentuk bisikan yang sublim
datang dari jarak kian menipis.
“Pisau-pisau muncul dari balik sayapnya,”[1]
berdesakkan dalam jurang gelisah yang kering.

“Engkau gemilang malam cemerlang.
Bagaikan bintang timur sedang mengembang.
Tak jemu-jemu mata memandang.
Aku namakan dikau juwita malam.”[2]

Kupu-kupu di kacamatanya
mewartakan demam yang tak kupahami.
Kau tertawa, tapi itu
tawa yang berbeda:
mengulum tuba.
Entahlah.

“Sinar matamu menari-nari.
Masuk menembus kedalam jantung kalbu.
Aku terpikat masuk perangkap.
Apa daya asmara sudah melekat.”[3]

Dan bisikan itu menjalar:
menapaki gerbong-gerbong rasa.
Hening bising hembuskan
kabut-kabut perih.

Kaca jendela pantulkan
diriku menaiki sampan kecil
mengarungi telaga hutan sunyi.
Teratai-teratai mulai berbunga;
nyamuk menari dengan katak menyambut
hujan pertama setelah kemarau panjang.

Jiwaku menengadah: membuka hati.
Membunuh bara dengan api.
Semoga rintik hujan menyuburkan
sepetak ladang harapan ini.

Bekasi, 1999

——————
[1] Kahlil Gibran dalam “Sayap-sayap Patah”
[2] Bait pertama lagu Keroncong “Juwita Malam” karangan Ismail Marzuki.
[3] Bait kedua, ibid.

 

Keroncong Perjumpaan II

Mata kita bicara dalam
bahasa mimpi.
Sejarah dijajakan sepanjang rel
nadi yang bergemeretak cepat.

“Kereta kita, segera tiba.
Di Jatinegara kita kan berpisah.
Berilah nama, alamat serta.
Esok lusa kita boleh jumpa pula.”[1]

Gigilku mengeja
nama dan nomor telefon.
Sepertinya kita pernah bertemu:
di ruang tunggu untuk dilahirkan kembali.
Lalu pekat senja tenggelamkan bayangmu.
Kau, angin musim kemarau
memagut dingin sepi.
Pergi.

“Juwita malam, siapakah gerangan tuan?
Juwita malam, dari bulankah tuan?”[2]

Kucari kau dalam daftar pustaka:
hanya menambah pertanyaan.
Lantas palmistri menjelaskan diri bersama
segelas kopi, tembakau import dan malam sunyi.
Lelah mencari jadi api.

Cello bermain ritmik kendang.
Larung melaut mendayung.
Berlayarlah,
engkau wahai nyali!
Aku tak mau kehilangan masuk
daftar belanjaku lagi.

“Juwita malam, siapakah gerangan tuan?
Juwita malam, dari bulankah tuan?”[3]

Kring-kring-kring: “Halo, apa isi perutmu?”
Kring-kring-kring: “Halo, bagaimana warnamu?”

Aku mengenali diri merenangi
benua pulsa.
Kotak biru jadi raja:
tempatku menjura.
Terbata-bata beraksara.

Pori-pori tubuhmu:
sampan harapan
tanpa jaminan.
Namun, aku tetap mengayuh; memuas ingin
sesat dalam labirin
aromamu.

Kereta waktu terus melaju.
Stasiun terakhir telah tiba.
Tak henti, kau berlari jua.

Bekasi, 1999

———————-
[1] Bait ketiga lagu Keroncong “Juwita Malam” karangan Ismail Marzuki.
[2] Bait refrain, ibid.
[3] Ibidem.

 

Catatan Konser Iwan Fals

Darahku yang kelu diserang
gemuruh megaspeaker.
Nadi mengalirkan listrik ribuan watt.
Menganaksungaikan magma di kepala.
Gejolak yang runtuhkan jeruji kesadaran.

Menarilah.
Bergeraklah!
Ajarkan pesan asmaramu pada
anak yang dibesarkan oleh kerusuhan.
Dan sengat iramamu
nyalakan asa yang padamkan
api di jalan-jalan protokol.

Aroma keringatmu yang
coklat tanah membuat padi tumbuh subur.
Memeras kosakata pada suratkabar
hingga tak ada lagi dusta.

Kaupun tersenyum.
Riuh tepuktangan:
bebaskan jiwa atas tubuh.
Terbang bersama dingin
angin malam Kota Bandung.

Betapa hangat malam ini.
Aku tak butuh pelukmu lagi!

Bandung, 29 April 1999

 

 

Bagikan karya ini

Tentang Pengarya

Tinggalkan Komentar