Mary Ann berlari menyeberang jalan. Dia tengok setiap jendela trem yang lewat. “Rocky, adakah kau di situ?” teriaknya dalam padat lalu lintas sore. “Jangan sembunyi, ini aku. Tadi malam kau gigit telingaku sampai nyaris putus. Masak kau lupa, ayo keluarlah,” diketuknya kaca jendela trem dengan keras. Beberapa orang yang duduk di dalam mengernyitkan dahi, cemberut.
Tetapi Mary Ann—dengan kulit warna manggis, tubuh padat, dan rambut diikat kuat-kuat ke atas, tidak peduli. Bibir lebarnya komat-kamit, matanya yang tak henti mencari-cari, sesekali merebak berkaca-kaca. “Hei, hei minggir! Pantatmu menghalangi pintu masuk,” seorang lelaki dengan koper besar menyenggol tubuh Mary Ann dengan genit. Beberapa lelaki lain yang tengah menunggu antrean masuk, tertawa kecil. Beberapa perempuan yang berjajar di halte, melengos tak peduli.
Mata Mary Ann mendelik sebentar. Kulit wajahnya tampak makin gelap. Ada angin menusuk dadanya dengan dingin. Dirapatkan kerah mantelnya, Mary Ann baru sadar tiga kancing atas bajunya copot semalam. Dirapatkannya mantelnya lebih keras. Hari ini terasa begitu buruk baginya, dan Rocky–gara-garanya. Lelaki yang membuatnya belingsatan. Lelaki yang datang tanpa mengetuk pintu, dan pergi tanpa menutup pintu. Mary Ann marah, bahagia, tersipu.
Mary Ann menyeret kakinya ke arah pasar. Para penjual sayur dan ikan saling mengejek. Dagangan mereka tampak masih menumpuk, sedang saat bebenah semakin dekat. Mereka semakin keras menjajakan dagangan, dan harga pun makin turun. Seorang penjual bunga menawarkan seikat kepada Mary Ann, “Aku tak ingin membeli bunga hari ini, tahu. Semua terlambat. Coba kautawarkan aku kemarin. Akan kubeli kau dan gerobakmu sekalian!” jawabnya ketus. Si penjual melengos.
Setelah tiga hari penuh mendung, sisa cahaya matahari yang turun tipis dari langit, mampu membikin sedikit senyum. Orang-orang bergegas mencari suasana lain di luar. Beberapa perempuan tua berjalan dengan tas-tas besar, pergi ke bak-bak sampah. Mengais, dan membawa sisa-sisa makanan, bungkus, kado, dan bekas hiasan Natal.
Pada hari kedua Rocky tidur melingkar di ranjangnya, Mary Ann merasakan hatinya begitu hangat, ingin dibelinya beberapa kuntum bunga. Tetapi yang paling menggairahkan adalah membuat bolu kukus, dan menyalakan lilin-lilin di meja makan. Lilin, bolu kukus, dan Rocky.
“Setiap sore, sebelum dia berangkat ke toko kue, ibu memanggilku untuk mencicipi bolunya yang masih hangat. Ah, begitu terus bertahun-tahun,” Rocky mengangkat kakinya ke atas meja makan. Dadanya telanjang dan bidang, turun naik perlahan. “Dan sekarang, kala aku mengingat ibu, aku tak bisa membedakan bolu kukus dan ibu, dua-duanya sama hangat dan gurih. Bau keringat ibu adalah bau bolu kukus, dan bau kue bolu adalah bau ibu,” tambah Rocky tersenyum. Mary Ann terbahak, di telinganya semua terdengar puitis.
Rocky menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya, lalu menempelkannya ke pipi Mary Ann. “Bolunya hangat seperti ini. Ah, tidak, tidak. Lebih, lebih hangat lagi…,” Mary Ann menatap Rocky dalam-dalam. Ia kangen menjadi bolu kukus yang paling hangat. Juga paling besar, supaya bisa menggulung tubuh Rocky.
“Tapi di mana dia?” desah Mary Ann dalam keletihannya. Tiga bulan sudah Mary Ann mencari-cari Rocky. Rindunya membakar gosong impiannya tentang bolu kukus. Belakangan perutnya kerap kali mual. Ada sesuatu yang sedang tumbuh, dan “memanusia” dalam dirinya. “Aku hamil,” kata Mary Ann dengan haru kepada dirinya dan semua orang.
Hampir ditabraknya seorang penjual telur. “Selamat sore, Mary Ann. Baru begini hari kau berangkat ke pasar? Bagaimana kabarnya Rocky, mmm bapak calon bayimu itu?” seseorang tetangga menyapanya dengan mata nakal. Mary Ann cuma menatap sekilas dan kembali meneruskan langkahnya yang lamban tanpa menjawab.
Kepalanya tertunduk, sambil berjalan dipermainkannya ibu jari kakinya yang kedinginan. Bedak tebal di pipinya mulai luntur, dibiarkannya. Biasanya Mary Ann selalu menyempatkan diri mengambil cermin dari tas tangannya: membedaki hidungnya. “Hidung seorang perempuan mengilap, itu menjijikkan,” katanya selalu. Dan Mary Ann benci musim panas.
Karenanya, musim dingin adalah saat-saat yang menyenangkan bagi Mary Ann. Menjelang malam tiba, disemprotkannya parfum di ketiaknya dan dipakainya gaun yang paling bagus. Sehelai selendang bulu menutupi tubuhnya. Dan Mary Ann merasa dirinya cantik. Ia pun berkeliling dari kafe ke kafe, dengan satu atau dua gelas bir, pasti ada seorang kawan bicara yang mengasyikkan untuk malam ini. Kalau beruntung, ya sampai besok pagi. Tapi sudah lama tak ada tawa di ranjangnya. Dan Desember diterimanya dengan perasaan menggigil yang dalam. Daun-daun kuning luruh, dan burung camar tercenung sendiri di atap rumah. Hingga pada satu malam, dibantingnya semua perasaan. Mary Ann bergegas mandi, hendak diciptakannya kebahagiaan, biar cuma beberapa jam. Bergerilya lagi. Mengais dan mereguk habis apa yang disisakan kehidupan bagi orang-orang seperti dia.
Kendati harus memakai uang terakhirnya, dimasukinya sebuah bar yang agak mewah sedikit. Dengan langkah anggun, dipilihnya satu meja di sudut. Sebatang lilin menerangi lamat wajah Mary Ann. Wow, seorang lelaki melirik ke arahnya dengan penuh hasrat. Mary Ann membuka mantel bulunya, seolah tak sengaja dibungkukkan tubuhnya dengan sensual. Isyarat tersebut ditangkap habis. Malam itu kamar Mary Ann gegap gempita. “Oh, jadi kau masih tidak percaya bahwa aku bakal punya anak?” dengan mata setengah mabuk Mary Ann mendelik genit ke arah kawan bicaranya. “Lihat ini,” Mary Ann mengangkat rok hitamnya, perutnya yang buncit dan bergaris-garis menonjol ke luar. “Dengar, dengar ada degup jantung yang lain. Nah, kakinya menendang dinding perutku,” mata Mary Ann berbinar.
Kawan bicaranya tertawa terbahak, “Ya, ya … anakmu nanti tentu kaget, sebab yang pertama dirasakannya biji penismu yang bergelantung dan memukul-mukul kepalanya heh?!” Mary Ann kehilangan gairah untuk melanjutkan pembicaraan. Ada yang tajam menebas hatinya.
Dari jendela kamar, sekilas dilihatnya lampu jalanan bergoyang keras ditiup angin. Jalanan dingin basah, dan ceracau orang mabuk terdengar lamat menyedihkan. Diteguknya habis minuman yang tersisa di gelasnya, dengan agak kasar, kepala kawan bicaranya ia benamkan dalam pelukan. Keduanya lantas terbahak dan bergumul.
Naik turun suara ngorok ditambah suara gemeletuk gigi membangunkan tidurnya. Kepalanya masih pening. Mary Ann merasa gundah, kalimat terakhir lelaki yang kepalanya kini lunglai menempel di dadanya, kembali menyergap. Ia merasa baru saja dirampok habis, dan ada lorong melompong dalam rongga jiwanya.
“Hei bangun, dengar…!!!” jerit Mary Ann. “Aku betul-betul hamil, dan bakal melahirkan anak!” Diguncang-guncangnya tubuh telanjang yang bergolek malas di tempat tidurnya. Oleh kejijikan liar yang kini menguasai dirinya, dengan seluruh tenaga, dihantamnya lelaki yang dua jam lalu mencumbunya.
Suara jeritan, suara pukulan, suara gedabuk-gedebuk, dan suara tangisan; membuat seluruh penghuni apartemen tempat Mary Ann tinggal terbangun. Semua menghambur ke arah kamar Mary Ann, yang lain segera menelepon polisi. Mary Ann terus mengamuk, si lelaki terkapar dengan wajah berantakan, dan benjol besar di kening. Dengan susah payah, polisi dan beberapa tetangganya yang berbadan kekar, memberangus Mary Ann. Sampai akhirnya, sebuah jarum suntik membuat Mary Ann lemas.
Tatkala tersadar, Mary Ann berada dalam suatu ruangan putih dengan tangan dan kaki terikat di besi ranjang. Antara sadar dan tidak, Mary Ann melihat sinar lampu menyemprot matanya. Ada sesuatu yang lunak basah meluncur dan pecah. Kemudian tangis bayi yang lemah dan serak bergema….
“Buka ikatan ini…,” ratap Mary Ann ketika seorang perawat meletakkan botol-botol obat di sisi ranjangnya. “Mana anakku? Mana?” suara Mary Ann tiba-tiba meninggi. Dia mulai berontak. “Aku ingin melihatnya, bukankah aku harus menyusui dia?”
Perawat menatap Mary Ann dengan kering. Seolah tak mendengarkan apa pun, ditutupnya kembali pintu. Suara detak sepatunya menghilang. Mary Ann masih terus menceracau, tetapi sinar lampu di dinding makin lama makin kabur. Dan akhirnya ia kembali jatuh tertidur. Dalam keremangan itu, sosok ibunya yang mungil dengan rambut penuh uban, memandangnya dengan penuh kasih. “Bangunlah, cari dia,” katanya dengan lembut.
Mary Ann terkesiap, matanya terasa kasat. Ingatannya terlempar jauh, bukankah perempuan saleh itu telah mengusirnya, bahkan membuangnya sama sekali dari keluarga? Mary Ann tahu persis bagaimana ibunya merasa terkutuk dan memanggul rasa bersalah, karena di matanya anak lelaki satu-satunya ini adalah kandidat pertama penghuni neraka. “Ah, sudahlah. Tapi apa yang dia katakan tadi, aku harus mencari dia. Anakku,” desahnya. Mary Ann mulai berteriak-teriak, dihantamkan kepalanya ke dinding, kaki dan tangannya menghentak-hentak. Tetapi ikatan itu terlalu kuat, lalu segerombolan perawat kembali menyuntiknya hingga terkapar.
Setelah itu setiap hari, Mary Ann ngamuk. Dan tetap tak putus menanyakan soal bayinya. Baru pada bulan kedua, tatkala Mary Ann mulai penurut, para perawat mengizinkan Mary Ann pergi berjalan-jalan di sekitar kompleks rumah sakit.
“Adakah kau melihat bangsal bayi di sini?” tanya Mary Ann setiap saat dan pada setiap penghuni yang ditemuinya. Sambil terus bekerja dengan sapunya, seorang petugas kebersihan berkata dengan acuh tak acuh, “Hmm ya, bayi-bayi dengan kulit yang keriput dan berteriak-teriak minta bir atau whisky.”
“Hei aku serius bertanya kepadamu, adakah kau….”
“Apa aku tidak serius dan berbohong kepadamu?” Petugas itu tampak agak berang, dan bergegas pergi. Ya, jika bukan kemarahan seperti tadi, maka jawaban yang diterima Mary Ann adalah kebisuan. Tapi, akhirnya Mary Ann menemukan jawabnya. Pada suatu hari, perjalanan Mary Ann tiba di satu bangsal yang diisi sekitar 6 orang lelaki dan perempuan. Wajah mereka tampak tenang, dengan sinar mata tak punya persoalan.
Dari balik jeruji, Mary Ann berteriak, “Adakah kalian melihat bangsal bayi di sini?” Serempak keenam orang itu menjawab, “Ada!” Mary Ann berteriak gembira, “Di mana?” Keenamnya kembali menyahut, “Di mana-mana.” Tanya jawab semacam itu berlangsung setengah hari lamanya. Mary Ann merasa kesal, akhirnya ditariknya baju seorang lelaki tua hingga mendekat.
“Kakek, aku mencari bangsal bayi, aku mencari anakku. Atau mungkin kau tahu siapa yang mengambil anakku?” Dengan hidung menempel di jeruji besi, dan bau napas yang langsung menyemprot ke wajah Mary Ann, lelaki tua itu menjawab dengan suara serak, ”Seorang lelaki berwajah lembut, berambut gondrong keperakan, dengan sinar bulat di atas kepalanya. Seorang lelaki berwajah lembut, berambut gondrong keperakan, dengan sinar bulat di atas kepalanya. Seorang lelaki berwajah lembut, berambut gondrong keperakan, dengan sinar bulat di atas kepalanya.”
Mary Ann bersorak. “Lelaki yang mengambil anak-anakku itu bermata biru ’kan?” tanya Mary Ann. Lelaki tua itu menggumamkan kalimat yang sama. Semua penghuni bangsal itu berkumpul di depan Mary Ann.
“Dia berjubah putih dan….” belum selesai kalimat Mary Ann. Semua penghuni itu kembali mengangguk bersamaan. “Kalian perhatikan juga, bahwa saat dia berjalan, semua rumput menepi dan memberi jalan kepadanya. Begitu ’kan?” Wajah Mary Ann bertambah cerah dan yakin. Untuk kesekian kalinya, orang-orang itu kembali mengangguk.
“Ah, tidak salah pasti dia,” kata Mary Ann dengan geram. Adalah sangat mudah menemukan si penculik anak itu, pikir Mary Ann. Bukankah banyak rumah menempelkan poster-posternya? Memajangnya dengan segala kelembutan dan kekhidmatan. Dan di tempat-tempat lain, orang-orang membuat patung-patungnya, berlutut dan menyalakan lilin untuknya.
Berbulan-bulan setelahnya, Mary Ann lebih banyak tercenung. Sepanjang hari ia duduk di bangku terdepan gereja rumah sakit, dan para pastor membiarkan Mary Ann berlama-lama menatap altar. Pihak rumah sakit menilai ada perkembangan bagus pada Mary Ann. Beberapa minggu kemudian, ia dinyatakan siap memasuki kehidupan normal, asal seminggu sekali tetap wajib mengikuti terapi dan pengobatan.
Begitu ke luar dari gerbang rumah sakit, Mary Ann pun langsung melakukan penyisiran lagi. “Dia ada di sana,” dengan jari menunjuk ke atas seorang lelaki berjubah hitam mencoba menjelaskan dengan penuh belas. “Dia ada di sini, di hatimu,” jawab seorang perempuan tua sambil menunjuk ke dadanya sendiri, ketika Mary Ann menanyakan di mana gerangan lelaki gondrong yang gambarnya dipajang dengan pigura keemasan di ruang tamu rumahnya. Banyak jawaban kabur diperolehnya.
Mary Ann jadi sebal. Dia merasa semua orang tengah bersekutu menyembunyikan Si Gondrong babak belur itu. “Mereka berarti sama-sama penculik anakku,” geramnya. Tetapi toh setiap saat ia terus berkeliling, bertanya kepada seluruh penghuni kota. Dan jawaban yang paling nyata dari hasil wawancaranya, adalah dia ada di sana: di atas sana.
Keputusan harus cepat diambil. Suatu pagi, beberapa orang melihat Mary Ann sibuk mengangkut kayu-kayu bakar ke halaman gereja rumah sakit. Orang-orang yang baru selesai melakukan Misa Minggu, hanya memandang kesibukan itu dengan acuh tak acuh. Tetapi seorang pastor sempat menyapa Mary Ann. “Aku mau mengejar penculik anakku,” jawab Mary Ann sambil terus menumpukkan kayu bakar.
Sang pastor merasa curiga, dan bergegas untuk menghubungi orang-orang di rumah sakit. Namun, setibanya di gerbang rumah sakit, ia mendengar suara hiruk pikuk dari arah gereja, serta sekumpulan asap tebal kehitaman membumbung jauh ke atas langit. Ia memutar arah langkahnya.
“Astaga! Dia membakar dirinya!” pekik seseorang dengan wajah pucat pasi.
Tak ada yang menjemput jenazahnya. Akhirnya Mary Ann dikuburkan di pemakaman gereja. Pada batu nisannya, entah bagaimana, seseorang menulis, “Mary Ann, si Pengejar Tuhan”.
* * *
Amsterdam, 2023