Angin melambatkan langkah kakinya. Laki-laki itu tiba-tiba bicara sendiri dengan nada suara berubah-ubah, seolah tengah ada dua orang yang bercakap-cakap. Satu suara bernada setinggi derit pintu besi bergantian dengan suara yang seperti sengau tertahan di tenggorokan.
Akhirnya ketemu lagi.
Senang?
Sekali…
Kenapa?
Waktu itu saya lupa minta nomer.
Ah…
Kamu tau berapa luas kota ini?
Berapa?
Seratus lima koma empat kilometer persegi.
Langkah Kartika terhenti. Ia menoleh, memandangi laki-laki di sampingnya dengan ujung alis bertaut, pandangan tidak mengerti. Sejak bertemu di anak tangga paling atas perhentian kereta bawah tanah hingga memisahkan diri dari barisan panjang para demonstran, tidak banyak kata di antara mereka. Sama seperti perkenalan pertama mereka di bandara.
Ketika itu, Kartika nyaris memutuskan tidur di bandara selepas 30 menit, yang terasa lebih panjang dari sekadar 1.800 kali tik-tok detik, penjemput yang dikatakan temannya akan membawa kertas bertuliskan namanya tidak tampak. Untuk kesekian kali Kartika menyesal telah memilih jadwal penerbangan yang salah. Hanya orang bodoh yang memilih sampai di sebuah kota asing ketika hari sudah sangat larut.
Setelah mengambil koper di ban berjalan, Kartika mengikuti arus orang-orang yang bergegas menuju pintu keluar. Mereka lalu-lalang menghampiri para penjemput atau menyetop taksi atau hilang ditelan elevator.
Dalam sekedipan mata ruang kedatangan lengang. Kartika celingukan sambil terus berjalan ke luar ruangan. Ia mematung dekat pintu keluar. Udara malam meresap dalam jaket dan sweter yang dipakainya. Wajahnya terasa disayat-sayat dingin.
Kartika masuk lagi ke ruang kedatangan, melihat sekeliling, sekadar memastikan tidak ada kamera yang sedang memfilmkannya sebagai Victor Navorksi. Ia duduk di deretan kursi paling sudut, nemplok seperti cicak raksasa. Ia mengatur napas agar kepalanya dialiri oksigen untuk bisa berpikir. Kartika menyalakan jaringan koneksi tanpa kabel. Sebuah pesan yang terlambat masuk membunyikan teleponnya.
Belum sampai juga ya. Sori, tidur duluan. Acara besok mulai pagi banget. Masuk kamar kayak kemarin udah diobrolin. Just in case ini no Jeff yang jemput. Telepon aja. See you…
Ah.
Nomor yang diberikan temannya tidak bisa tersambung. Kartika makin menenggelamkan punggung di garis kursi besi. Tidak banyak waktu untuk mengeluh. Jarum jam makin menjauhi tengah malam. Dengan malas ia bangkit, menyeret koper di ruang kedatangan, dari satu ujung ke ujung lain, dan tidak menemukan toko yang menjual kartu telepon buka.
“Vous attendez quelq’un?” Seorang laki-laki berparas semitik menghampiri Kartika.
Masked men armed with tear gas robbed around 20 tourists who were waiting for shuttle buses outside a Paris airport hotel at the weekend. Last August, around six assailants sprayed tear gas on Chinese tourists outside a hotel near the airport and made off with their luggage. Two Qataris leaving Le Bourget in a Bentley headed for Paris were attacked in November when the thieves made off with some five million euros ($5.7 million) worth of jewellery and clothing. In February a Russian couple were robbed of jewelry and luxury goods worth some 100,000 euros on the same stretch of motorway.
Berita-berita berseliweran di kepala Kartika. Ia mematung sambil diam-diam memindahkan ransel ke dada dan mengeratkan pegangannya ke koper.
Laki-laki itu menatap Kartika. Dan ketika dalam sepuluh hitungan tidak dia lihat bibir Kartika bergerak, laki-laki itu hanya mengangkat bahu. Dia berjalan menjauh. Bibir Kartika masih terkatup ketika dilihatnya tangan laki-laki itu memasukkan paspor hijau ke saku jaketnya.
“Hai. Hai.”
Panggilan Kartika yang serupa teriakan itu berhasil membuat laki-laki itu membalik badan.
“Dari Indonesia?” Tanya Kartika mendekat.
Laki-laki itu mengangguk.
“Saya kira…”
“Pencopet?”
“Maaf.”
“Memang kalau dari Indonesia, pasti bukan pencopet?”
“Maaf. Maaf…”
“Belum dijemput?”
“Iya.”
“Sudah dihubungi?”
“Enggak bisa.”
“Enggak bisa ditelepon?”
“Enggak bisa pakai whatsapp. Saya belum punya nomer sini.”
“Ini.” Laki-laki itu merogoh saku celananya. Kartika menerima telepon genggam yang disodorkan kepadanya. “Jangan dicopet ya.” Suara laki-laki itu terdengar sambil lalu.
Kartika menelan ludah yang kental dan terasa pahang.
“Bercanda. Pakai aja.”
“Terima kasih.”
Kartika menghubungi nomor supir yang diberikan temannya. Sesaat ia bicara lalu terdiam.
“Ehm, boleh minta tolong bicara dengan Jeff? Namanya Jeff. Saya bingung dia ngomong apa. Bicaranya cepat sekali.” Kata Kartika sambil menyerahkan telepon genggam.
Laki-laki itu menerima dan menempelkan telepon ke telinganya. “Oui… Ehm, dia bilang tunggu aja. Dia masih agak lama.”
“Oh.”
“Oke.” Jawab laki-laki itu membenarkan letak ransel sambil melanjutkan langkah menuju pintu keluar.
“Eh. Hai. Sebentar.”
“Ya?”
“Terima kasih ya.”
Kepala laki-laki itu terangguk.
“Ehm, boleh temani saya sampai Jeff datang?”
Laki-laki itu memperhatikan Kartika lalu melirik ke arloji yang melilit di tangan kanannya.
“Oke.” Kata laki-laki itu sambil melangkah berbalik ke toko kopi di bagian dalam ruang kedatangan.
Laki-laki itu memesan segelas ekspreso. Dia duduk di kursi bundar dan membuka membuka buku catatan. Tidak ada lagi yang mereka bicarakan selama 20 menit sebelum akhirnya telepon laki-laki itu berdering.
“Nah,” laki-laki itu menulis sesuatu di tisu dan berdiri. “Itu tadi Jeff. Dia sudah di depan pintu 7. Ini. Kalau ada apa-apa coba cari pinjaman telepon untuk hubungi saya.”
Tertulis deretan angka dan sebuah nama, Angin.
Dua hari menjelang kepulangannya, Kartika menghubungi Angin melalui pesan singkat. Laki-laki itu baru membalas keesokan hari. Maka, bertemulah mereka hari itu di tempat dan waktu yang tidak terlalu lazim. Di sebuah plaza di tengah banyak orang yang membawa bendera dan spanduk.
Kartika mudah menemukan Angin. Walau sebagian paras laki-laki yang bersandar di pegangan tangga itu tertutup bayangan topi, dia memakai jaket dan kemeja yang persis sama dengan ketika bertemu di bandara, seakan mereka hanya berpisah beberapa jam. Jaket kanvas hijau botol dengan empat saku di bagian depan menutupi kemeja bergaris vertikal.
Semakin lama semakin banyak orang memenuhi plaza. Orang-orang itu berdiri atau duduk berkelompok. Angin menemukan ruang di bawah pohon. Mereka duduk menghadap ke patung Marianne berwarna jelaga.
Kotak pengeras suara yang terletak di sisi panggung utara plaza memperdengarkan musik berirama mars. Tidak jauh dari mereka, enam perempuan tua berpakaian serba putih duduk menghadap ke jalan. Urat-urat biru yang menjalar di lengan yang nyaris transparan perempuan-perempuan tua itu kuat memegang selembar papan kayu tipis. Meditex Avec Nous 1 Minute Pour La Paix. Thaad Non! Paix Maintenant! Justice in Palestine. Non Au Coup D’etat Social.
Suara berdenging keluar dari pengeras suara. Ribuan orang bangkit, membentuk barisan mengular sepanjang bulevar. Angin bangkit. Kartika segera membereskan plastik bungkus roti. Botol minuman disisipkan dalam tas selempangnya. Sisa keju krim di sudut bibir ia sapu dengan ujung lidah. Ia mengejar Angin yang sudah berdiri di antara rombongan anak muda membawa bendera merah.
Keduanya berjalan mengikuti barisan yang pangkalnya tidak lagi terlihat. Barisan melewati bulevar yang panjang, berbelok di satu persimpangan, lantas menyusur pinggiran kanal. Kaki-kaki berderap menginjak pola yang dibuat bayangan daun-daun maple di jalan.
Jantung Kartika memompa keras membuat bulu di tengkuknya meremang. Baru saja bibir perempuan itu bersenandung mengikuti irama nyanyian seirama derap langkah, Angin mencolek bahunya. Laki-laki itu cepat-cepat keluar barisan. Kartika tersentak dan buru-buru mengikuti Angin menerobos laju para demonstran. Mereka menepi di trotoar.
“Kok berhenti?”
Angin tersenyum. Tidak ada jawaban kecuali tangannya merogoh saku dan mengeluarkan bungkusan. Laki-laki itu membakar sebatang rokok.
Kartika menggelengkan kepala. Ia membuka jaket dan mengikatkannya ke pinggang. Perempuan itu menyeberangi jalan, menaiki anak tangga, melangkah ringan ke tengah jembatan. Ia memotret orang-orang di kanan-kiri kanal, memotret sinar matahari di antara daun-daun pohon, memotret kibaran bendera yang menyembul di atas kepala barisan demostran. Memotret Angin yang berdiri menentang matahari.
Kartika melambaikan tangan ke Angin. Laki-laki itu mematikan bara di puntung sebelum melemparnya dengan tepat ke dalam tempat sampah.
“Ke mana kita?” Tanya Kartika langsung menghentikan langkah Angin.
Angin mengangkat bahu.
Kartika mengambil telepon genggam dari dalam tas, jarinya menekan-nekan permukaan telepon, membuka peta. “Nah. Dekat. Kita ke taman ini,” kata perempuan itu sambil mendahului ke sisi lain jembatan. Ia melewati mobil polisi di sudut jalan, menghindar dari Belgian Malinois yang tiba-tiba menggonggong, masuk ke jalan kecil dengan trotoar selebar rentangan tangan.
Sinar matahari yang semakin tinggi menyinari bagian muka bangunan di kiri jalan. Suara-suara seruan dan nyanyian para demonstran menjauh. Lama-lama jadi samar, hilang, berganti dengan keresek daun-daun yang jatuh menyentuh permukaan jalan.
Mereka berjalan dalam diam.
kelima jari kanan Kartika menyusur permukaan dinding bangunan, kaca etalase, atau pagar rumah. Sesekali ia berhenti untuk membaca plakat yang menempel di dinding bangunan atau saat berpapasan dengan orang-orang yang kakinya bergerak cepat.
“Tolong foto dong.” Kartika menyetop langkah Angin. Di layar telepon genggam terlihat Kartika merekahkan senyum, kedua telapak tangan berada di saku celana, matanya melirik ke gambar di dinding, seorang perempuan beralis tebal dengan kepangan rambut dilintari tlacoyales rumit, Frida Kahlo.
“Terima kasih.”
Keduanya terus berjalan hingga sampai di satu persimpangan ramai. Mereka berdiri di pinggir jalan, menunggu lampu berganti warna sebelum menyeberang, berjalan ke sebuah jalan kecil.
Hangat matahari terhalang bangunan tinggi di kanan-kiri jalan. Siliran angin mengurung dan membekap. Batu-batu jalan lembab. Permukaannya yang tidak rata menyerupai petak-petak di tempurung kura-kura. Mereka jalan bersisian. Kadang-kadang tanpa sengaja kulit tangan mereka saling sentuh.
Mereka tiba di pelataran taman. Kartika berlari kecil ke pagar pembatas setinggi dada. Ia melihat ke bawah. Terlihat musim panas masih menyisakan warna hijau di rerumputan. Jajaran pohon dengan daun hijau dan kuning berkilau memantulkan sinar matahari. Mahkota bunga matahari, lavender, peony, daisy, berayun-ayun seperti kepakan sayap kupu-kupu di Batimurung. Napas Kartika tertahan.
Angin mendekat pelan ke pagar pembatas setinggi dada. Ia menatap jauh. Kota terbentang sepenuhnya sesak. Bangunan-bangunan tinggi kelihatan bergelombang, berasap, seakan mencair dijilati lidah matahari. Di batas horison langit biru melengkung. Angin membawa kebisingan serupa kerumuman lebah. Napas Angin tertahan.
Kartika menggenggam jemari Angin yang terkepal di pegangan pagar pembatas. Perempuan itu menarik Angin menuruni anak tangga. Mereka melewati buah apel dan pir yang jatuh di jalan setapak, kolam dengan daun teratai mengapung di tengahnya, deretan kursi beton. Terdengar suara obrolan serak perempuan-perempuan tua berkerudung. Sekelompok anak muda berwajah mediteran mengerubuti layar telepon genggam. Di atas hamparan rumput beberapa pasangan asyik masyuk.
Mereka berjalan dalam diam. Sampai ketika Angin melambatkan langkah kakinya dan tiba-tiba bicara sendiri dengan nada suara berubah-ubah seolah tengah ada dua orang yang bercakap-cakap. Satu suara bernada setinggi derit pintu besi bergantian dengan suara yang seperti sengau tertahan di tenggorokan.
Kartika menghentakkan jemari Angin. Genggaman mereka terlepas. Mereka berhadapan. Di bawah alis yang saling bertaut, bola mata Kartika yang membesar menyerupai biji bunga mawar memancarkan rasa heran. Sejak memisahkan diri dari barisan panjang para demonstran hingga membeku di ketinggian menghadap lanskap kota, baru rentetan kalimat-kalimat itu keluar dari bibir Angin.
“Kamu kenapa?”
“Itu.” Bibir Angin miring ke kanan, menunjuk ke pasangan yang duduk di bangku taman.
Seorang perempuan berkulit hitam dengan jaket bulu angsa biru tua tengah berdempetan dengan seorang laki-laki berambut pirang. Kartika memperhatikan jemari lentik bak ranting-ranting pohon perempuan dan tungkai kencang dibalut celana kulit ketat si lelaki.
Angin duduk tidak jauh di seberang pasangan yang tubuhnya makin saling menghimpit. Kartika yang jengah menelan ludah sambil menjatuhkan diri di atas jaket yang dibeberkannya di rumput. Tubuh Kartika mengigil rikuh.
“Dingin?”
“Enggak.”
“Nanti kalau dingin bilang ya.”
“Mau kasih pinjam jaket?”
“Bukan.”
“Terus?”
“Mau ajak jalan lagi.”
Kartika tersenyum.
“Eh. Tadi itu kenapa?”
“Yang mana?”
“Tiba-tiba ngomong sendiri. Saya benar enggak paham.”
“Oh. Bukan apa-apa. Hanya permainan.”
“Maksudnya?”
“Hmm, saya asal ngomong, ngikuti gerak bibir mereka.”
“Oh… Saya ngerti. Lagi dong.”
“Apanya?
“Seperti tadi.”
“Enggak mau.”
“Kok?”
“Mereka enggak mungkin ngomong, kan sedang begitu. Tuh lihat…”
Kartika menunduk, menghindari penglihatan ke pasangan di seberang mereka. “Jalan lagi yuk…”
“Sebentar lagi gelap. Dudukmu pindah ke sebelah sini, biar enggak harus lihat mereka.”
Kartika menggeser badan, lutut ia luruskan. Ujung sepatunya mempermainkan rumputan yang warnanya mulai memudar seperti warna langit kota.
“Ehm, apa benar luas kota ini kayak yang tadi kamu bilang?”
Angin mengangguk. “Iya. Coba cek di google. Tapi masih lebih besar kotamu beberapa puluh kilometer.”
“Eh, kok kamu tau?”
“Tau apa?”
“Kotaku lebih besar. Memang kamu tau saya dari mana?”
“Saya pernah mondok di pinggiran kotamu, jadi saya agak hapal logat Bandung.”
“Sering ke Bandung?”
“Enggak. Dalam beberapa tahun ini hanya sekali.”
“Ada kerjaan?”
“Iya.”
“Apa?”
“Mengukur luas kotamu.”
Kartika tidak bisa hanya tersenyum, ia lepas tertawa hingga pasangan di seberang mereka menoleh. Suara tawa itu memanjang seperti melunasi kediaman sepanjang hari dan baru benar-benar berhenti ketika warna keemasan matahari ruyup tiba di pangkuannya.
“Besok saya pulang.”
“Ehm….” Angin membaringkan badan.
“Saya sudah pesan mobil pagi-pagi sekali…”
“Besok ya?”
“Semestinya besok lusa, kalau kamu langsung balas pesan saya dua hari lalu, terus kita ketemu kemarin. Mungkin kamu masih bisa menemani saya mengukur luas kota ini sebenarnya atau…”
Angin terbalik membelakangi Kartika. Dari balik topi tampak dahan-dahan pohon Judas yang telah ditinggal bunga berayun-ayun. Angin semilir. Terdengar batang-batang stipa saling bersentuhan, beradu dengan suara tipis Kartika. Bau rumputan yang menempel di ujung hidungnya mengisi penuh paru-paru. Angin menarik napas panjang dan menahannya lama-lama.
“Jangan-jangan sinar matahari akan beda…”
“Maksudnya?”
Angin tidak menjawab. Dia meletakkan kepalanya ke atas ransel sambil memejamkan mata. Di bawah tengkuk, di dalam ransel, terasa permukaan keras menyodok kulit tengkuk Angin. Lima silinder fiber menguar bau mesiu terekat kuat dengan kotak hitam bertombol merah berlilit kabel kuning dan biru yang penunjuk waktunya masih belum menyala. Belum meledak.
* * *