Seorang perempuan mengusap telapak tangannya berulang-ulang pada kaca berembun, mengoyak butiran embun, membentuk garis-garis berwarna. Ia terpekur. Wajahnya kering. Dingin telah menuakan usianya lebih dari semestinya. Ia menatap orang-orang yang terlihat di dalam dingin, berjalan lambat menjauhi petakan rumah desa. Baju mereka menyala di pagi abu-abu. Perempuan itu membuka perlahan ujung jendela kayu dengan tangan keriputnya.
”Tidak ada orang sepagi ini meninggalkan desa, apalagi dengan baju merah demikian,” bisiknya pelan pada kaca berembun.
Ia menggosok hidungnya yang membeku.
”Apalagi dengan jalan selambat itu. Apa yang sebenarnya mereka pikirkan?” gumamnya sendiri sambil menatap jauh ke kaki bukit, dengan mata yang masih baik dan belum tersentuh katarak.
Teriakan air mendidih membuyarkan keheranannya. Rutinitas harus dimulai sekarang.
”Seharusnya mereka tahu, sudah tahu. Selalu saja ada orang demikian setiap tahunnya. Muda dan bodoh. Miskin dan sok pemberani. Tapi lihat saja, mereka akan tua dan baru tahu mengapa. Keberanian itu habis hingga ke tulang sumsum, menyisakan ketakutan usia senja, bahkan untuk sebuah ketukan di pintu rumah,” gerutu Mak panjang pendek sambil menyelesaikan rajutannya.
Usia Mak sudah tujuh puluh lima tahun. Setua apakah itu untuk memulai sesuatu yang baru. Semuanya stok lama. Bahkan sampai ke susunan peniti di tirai jendela hingga guratan pada kaca rumah. Tas organdi dan beludru merah tua. Baunya sama, pekat dan apek. Tapi tentu semua terjaga baik, seperti halnya tungkai kaki yang masih kuat berjalan ke kaki bukit atau menaiki tangga rumah gadang. Ringkih tapi tak mudah rapuh.
Jendela kayu terkoak-koak ditiup angin. Mengantarkan siang yang melandai. Lalu terdengar kentongan bertalu-talu.
”Ha, apa kubilang. Ini sudah berabad lamanya. Mengapa orang terlalu malas mendengarkan ulangan sejarah. Keberanian itu bodoh. Muda itu sombong. Rasakan sendiri akibatnya,” gumam Mak marah entah pada siapa.
Seseorang mengetuk pintu. Siapa itu. Tidak ada janji apa pun hari ini, pikir Mak takut. Daun jendela tertutup perlahan. Damai seperti tiupan angin. Ketukan mengeras hingga terdengar seperti ancaman. Tongkat kayu jati mengeras di genggaman. Aduh, apa tidak ada orang lain di jalan sana. Tetangga tidak sekeras ini bunyinya. Pasti orang asing. Asing, asing, asing. Ya—ya ketukan itu terdengar sangat asing, batin Mak penuh kekalutan. Dan ketukan pun hilang di perempat jam lamanya.
“Sud, ini Mak.”
“Iya, cepat datang sini. Ada orang yang ingin celakai Mak!”
“Kau dengar tidak? Cepat Sud!” bisik Mak di teleponnya.
Sud datang saat siang memudar. Rambutnya basah dan mukanya kusut. Kemeja hitamnya merekah tak tersentuh licin. Menggantung tak berkesesuaian dengan tubuhnya yang tambun. Wajahnya setengah kesal, setengah mengantuk.
Ia hanya diam saja di beranda rumah tidak mengetuk ataupun masuk.
“Sud masuklah! Mak masak enak untukmu!” teriakan Mak melengking dari belakang rumah. “Aku tahu kau di sana!”
Sud bangkit dengan berat. Perut tambunnya bergoyang-goyang.
“Apa kata orang kalau kau tak juga mau masuk!”
Sud hanya mendengus dan menggaruk-garuk lengannya sambil berjalan lambat. Mak menyambut Sud dari balik tirai dapur.
“Kau tahu tidak, tadi ada orang mau mencelakakan Mak! Orangnya tinggi dan seram. Ia berteriak-teriak di muka pintu, sambil menggedor-gedor. Bikin jantungku mau copot!” ujar Mak dengan nafas cepat seperti takut tertinggal sambil meletakkan piring di meja. “Ia terus menggedor, sambil berteriak-teriak memanggil-manggil Mak. Aku takut sekali Sud—aku berlari dan sembunyi di balik lemari—sejam lamanya ia terus di depan pintu. Aku seperti sudah ingin kencing di celana Sud!”
Sud langsung duduk dan meraih piring dengan ikan kuah asam pedas yang terhidang dengan nasi panas di meja. Tangannya yang kotor tidak tersentuh air. Ia makan dengan cepat. Sebentar ia sudah meraih bakul nasi. Lahap dan tidak mendengarkan Mak barang sedikit.
“Sud, sepertinya lelaki itu orang seberang sungai, yang kabarnya membacok janda minggu lalu itu, Sud. Wajahnya mirip! Aku pernah dengar, kabarnya orangnya tinggi dan seram. Persis lelaki yang datang tadi pagi itu—kalau kau tadi ada di sini pasti terkencing-kencing juga, Sud! Aku tak habis pikir mau apa dia kemari, apa dia mau membacok aku juga—Sud.”
Mak berhenti untuk mengambil nafas. Diraihnya kipas bambu dari atas rak kayu dan dikipas-kipaskannya cepat.
“Pak Mur pernah bilang jangan buka pintu pada orang asing, sekarang musim perampok datang. Kau bermalam di sini, ya, Sud,” lanjut Mak,
Sud meraih bakul untuk ketiga kalinya. Lauk ikan sudah tandas tak bersisa, tinggal kuahnya yang masih dikais-kais Sud.
Ia melirik Mak cepat. “Menginap? Istriku bagaimana, Mak? Masih muda, cantik, bahaya kalau ditinggal pula!”
“Alah, Sud, mertuamu kan tinggal di seberang rumah. Biar istrimu sekali-kali bersama mereka! Kau mau, besok pagi didatangi tetangga mengabarkan aku mati dibacok?” ujar Mak menggelegak kesal.
“Ah, Mak ini ada-ada saja. Mana ada orang yang mau bacok Mak. Mak kan tetua di sini. Kalau ada yang macam-macam, lari saja ke Pak Mur di sebelah—ia sudah lama menduda,” ujar Sud terkekeh-kekeh sambil menjilati jemarinya.
Mak bangkit dan berjalan ke arah Sud dengan amarah. Sud menghentikan tawanya cepat.
“Ya, ya, aku menginap. Mak siapkan saja gulai pakis kalau aku bangun besok.” Sud segera bangkit dan berbaring di depan televisi berwarna Mak sambil mengipas-ngipas kegerahan.
“Hah, kau ini, Sud, enak saja mau menjodohkan aku dengan Pak Mur yang mata keranjang itu! Semua istrinya kabur tak tahan dengan tingkah lakunya. Dulu saja dia incar istrimu, untung kau cepat kawini, kalau tidak sudah disambarnya!” Mak masih mengoceh panjang lebar, tidak memperhatikan Sud yang sudah jauh mendengkur.
* * *
Esoknya Sud segera pulang setelah menandaskan piring nasi ketiganya. Meninggalkan Mak yang belum menyelesaikan kisahnya tentang anak perempuan Uni Mir yang pergi ke Batam dengan pria asing, dan tumpukan piring kotor di dapur. Mak melanjutkan hari dengan merajut sambil melamun-lamun tak tentu arah. Teringat Pak Tuo yang sudah pindah ke bawah pohon asam di depan rumah. Teringat Sal anak sulungnya yang merantau tak kembali ke ujung benua. Teringat pula Jafar anak kesayangannya yang hilang di hutan sewaktu masih sekolah dasar. Terbayang-bayang Mamak dan Apak. Tak terasa pipi kisut Mak tersurut-surut air mata.
Angin bukit menguak jendela bersekat kayu lebar-lebar, mengantarkan pemandangan kebun jagung yang masih jauh dari panen. Tetangga tak terdengar suara, sibuk meladang hingga sore menjelang. Jalan pun tak terdengar derunya, hanya suara motor satu dua yang kemudian menghilang di ujung jalan. Gemerisik dedaunan tertiup angin menimbulkan rasa kantuk dan perasaan melamun-lamun.
Mak kemudian bangkit hendak meraih air wudu. Zuhur sebenarnya masih jauh untuk terdengar azannya. Baru sejurus berdiri, Mak mematung. Wajahnya pucat, kaget bukan buatan. Nafasnya tersekat bagai berhenti di tenggorokan. Badan Mak pun kaku tak dapat bergerak barang satu. Angin seperti mati berembus, suara-suara melenyap. Pandangannya terpaku pada seorang lelaki yang duduk di ruang tengah.
Lelaki itu tengah berongkang kaki di kursi kayu kesayangan Pak Tuo. Wajahnya hitam terbakar panas, hidungnya runcing dan mukanya bersegi-segi seperti batu adas. Ia menatap Mak seperti harimau mengincar anak itik. Mak bagai petir di siang bolong, muncul tak ada aba-aba mengguncang batin Mak yang selalu dibayang-bayangi akan takut.
Mak mengusap-usap mata berharap hanya khayalan orang tua renta yang tinggal sendiri penuh waspada dan waksangka. Namun, lelaki itu tetap di sana. Mak belum pernah melihat wajahnya sebelumnya. Tak ada orang di seluruh kampung yang tak Mak kenal. Dari anak lelaki umur seminggunya si Marwah hingga Da’ Liman yang hidup seabad lamanya di kampung seberang hutan damar. Tapi lelaki ini tak ada dalam ingatan Mak yang masih setajam pisau baru diasah. Rajutan setengah jadi Mak jatuh tepat di ujung kaki.
“Enak juga kursi ini, Mak. Empuk ‘kali. Tak seperti punyaku, keras dan berkutu,” lelaki itu tiba-tiba berkata. Suaranya berat dan parau seperti orang yang jarang bercakap-cakap dalam nada kencang. “Tidur pun aku hanya alas kain rami. Mak sungguh enak di sini, kasur busa bawaan anak rantau dari Jakarta.”
Tangan lelaki itu meraih ketan santan berbungkus daun pisang yang tergeletak di meja.
“Kemarin saja tiga anak buahku habis diterjang peluru. Belum sempat aku balas, ee… polisi sudah kabur terkencing-kencing.”
Ia melahap rakus, giginya yang kuning tak tersentuh sikat gigi terlihat menguak, membuat perut Mak mual. Kukunya kehitaman, panjang, dan meruncing di setiap ujungnya.
Kaki Mak bergetar tak dapat menahan takut. Tenggorokannya seperti terputus tidak dapat bersuara barang sedikit. Mak hanya berdiri di tengah ruangan rumah, yang biasa ia lalu-lalangi di hampir seluruh hidupnya.
“Duduk sini, Mak. Mengapa canggung begitu di rumah sendiri.”
Lelaki itu bangkit lalu mendekat ke arah Mak. Darah Mak naik cepat ke kepala. Air seni tidak dapat tertahan mengalir membasahi kain sarungnya, membuat tawa lelaki itu meledak tak tertahan. Tangannya yang besar meraih tangan keriput Mak yang kaku lalu menuntunnya duduk di kursi makan. Kulitnya terasa panas dan kesat. Lalu mereka duduk berhadapan hanya dua jengkal tangan saja. Mak kini dapat lebih jelas melihat mata kirinya yang ternyata buta karena menonjol demikian tak wajar.
“Ada orang yang menusuknya ketika aku tidur. Untung aku bisa memasangnya kembali.” Lelaki itu berkata sambil terkekeh, seperti dapat membaca pikiran.
Mak tak dapat bernafas, sesak memenuhi dada, sungguh tak keruan rasanya. Apa kata Sud dan Pak Mur kalau tahu ia bertemu si Raja Rampok, yang dicari-cari orang satu provinsi, mungkin pula satu pulau! Pemimpin bajing loncat yang paling ditakuti sopir truk dan bus, dan semua orang yang melintasi jalan trans-Sumatera. Tak ada orang yang tahu pasti wajahnya karena tak ada yang tahu di mana bisa menemuinya. Hutan jati di pinggir kampung Mak hanya salah satu kekuasaannya dari daerah lain di sekitar Bukit Barisan. Kabar yang beredar, ia punya rambut yang menjurai kaku sampai ke pinggang, tubuh kebal peluru dengan mata yang cuma satu. Kini Mak tahu mata kiri tepatnya.
“Aku mau menginap di sini,” katanya seperti membacok telinga Mak. “Di hutan sudah terlalu ramai. Tak nyenyak tidur diintai orang terus.” Kakinya bergoyang santai, tak kelihatan ia punya rasa takut sedang diburu-buru orang. “Aku juga ingin nonton TV Mak yang katanya paling besar di kampung ini.” Kekehnya kembali menggema. “Kudengar ada pula telepon—wah—aku mau juga jadi anak Mak.”
Giginya menyeringai lebar. Tangannya tiba-tiba meraih tangan Mak cepat dan menciumnya tepat di punggung. Mak pingsan kemudian.
* * *
Lama Mak baru membuka mata. Foto Pak Tuo tersenyum kaku di dinding kamar. Selimut bulu angsa menutupi hingga ke dagu. Mak segera ingat apa yang terjadi. Ketakutan menjalar tak dapat tertahan, merambat-rambat seperti gelombang ombak. Seluruh sendi berderak-derak, bahkan jantung pun terasa talunya. Mak belum pernah setakut ini. Bahkan dulu ketika ditinggal oleh Pak Tuo pun tak sebegini rasanya. Ketakutan ini melebihi takut Mak pada pesawat terbang dan naik komidi putar di alun-alun kampung. Ketakutan yang langsung terasa tanpa punya waktu untuk berpikir-pikir, lalu mengendap begitu saja dalam aliran darah.
Mak menyingkap selimut sangat perlahan. Tanpa mengeluarkan suara satu nafas pun. Mendapati baju dan sarung yang sama masih melekat di badannya yang penuh oleh peluh dan bau tak sedap. Tak ada luka dan rasa nyeri yang terasa. Hanya debaran hebat dalam dada. Keremangan kamar semakin membuat gigil Mak semakin meraja. Cahaya lampu ruang tengah masuk melalui kisi-kisi pintu. Membentuk bayang-bayang aneh. Samar-samar suara televisi berdengung memenuhi ruangan. Tak ada suara lain. Tak ada satu gerakan pun yang terdengar.
Mak tak mengira waktu bisa berjalan demikian lambat. Bahkan perjalanan usia setua ini pun bagai tak terasa. Tapi kini semua seperti tak bersisa. Mak ingin hidup lebih lama. Tak apa bertambah keriput atau usia yang semakin merenta. Mak cuma ingin umur panjang walau tak tahu lagi mau dibuat apa. Asal jangan mati, jangan dulu, jangan sekarang.
Angin sepoi-sepoi bukit menguak pintu kamar yang ternyata tidak tertutup rapat. Deritnya pelan perlahan. Cahaya lampu pijar merambat memasuki kamar. Membuka mata Mak yang terduduk kaku dan setengah terpejam di atas ranjang. Ruang tengah terkuak selapis demi selapis. Ujung lemari kayu jati, dua kaki meja, sebaris ubin marmer, selarik rumbai karpet persia, gagang lampu gantung berukir, dan sejulur kaki manusia.
Kaki itu rasa-rasanya Mak kenal. Kaki yang dulu sering Mak guntingi kukunya. Dengan luka memanjang di betis kanan karena tersobek bambu saat main bola sepak, tepat satu minggu sebelum ia menghilang di hutan. Kaki yang gemuk dan buntek seperti ikan belanak petelur, persis seperti kaki Pak Tuo. Kaki yang terhampar tepat menghadap layar televisi. Mak lalu tersengguk-sengguk tak dapat menahan air matanya.
* * *
Tangerang, 11 Mei 2015