Fantasi Globalisasi dan Gerakan Budaya

Konsepsi tentang Kebudayaan Nasional Indonesia, yang oleh rezim Orde Baru diajukan sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah, dipandang membuahkan sejumlah masalah yang pelik.

Moh. Syafari Firdaus
Oleh Moh. Syafari Firdaus 389 Dilihat
31 menit membaca

Abstrak

Perubahan (ke)budaya(an), di kebudayaan manapun, merupakan suatu hal yang niscaya: sebuah proses dinamis yang senantiasa terjadi terus-menerus. Tentu saja, ada sejumlah faktor pendorong bagi terjadinya perubahan (ke)budaya(an) tersebut, baik faktor yang—sekadar untuk menyederhanakan istilah—“alamiah” maupun  faktor yang, secara sistematis, dibentuk dan diciptakan agar sebuah (ke)budaya(an) berubah. Di dalam tulisan pendek ini, saya hendak mengajukan pandangan bahwa salah satu faktor pendorong yang secara sistematis membentuk dan menciptakan perubahan (ke)budaya(an) Indonesia itu adalah proses globalisasi.

* * *

Pengantar

Ketika fantasi globalisasi menggelinding menjadi sebuah bola raksasa, diam-diam ia pun menggilas dunia dan menggiring masyarakat yang berada di dalamnya untuk berputar dalam gelombang arus besar roda percepatan yang digerakkannya: masyarakat diajak bertamasya ke sebuah wilayah yang tampak memukau, penuh pesona tapi sekaligus juga mengerikan, menikmati panorama yang menjanjikan harapan sekaligus kecemasan. Dunia pun lantas gepeng, sedatar layar televisi, termuat dalam microdisc: dunia yang tak lebih luas dari daun kelor, sungguh menjadi begitu nyata sekarang ini.

Demikianlah, fantasi globalisasi ini pun pada akhirnya kian meradang menjadi semacam semangat zaman yang tidak kenal ampun. Ia menjelajah memasuki setiap relung kehidupan masyarakat, menciptakan suatu realitas yang menampakkan wajah penuh bias, serba cepat, nyaris menuju titik kelenyapannya. Di sini, masyarakat dipaksa pula untuk berpacu dengan keingarbingaran berbagai wacana yang, sadar atau tidak, kemudian memerangkapnya ke dalam suatu jaring-jaring paradoks: tenggelam dalam keterpukauan akan riuhnya semesta tanda-tanda, image; sementara, diri mereka sendiri nyaris berkeliaran di dalamnya tanpa identitas lagi, anonim, yatim-piatu. Dentang cogito ergo sum ‘aku berpikir, maka aku ada’ Rene Descartes yang menandai lonceng awal kebangkitan modernisme dengan semangat progresi, rasionalitas dan universalitas, seakan menemukan kuburannya tatkala muncul penyikapan yang menempatkan progres sebagai sebuah “wacana permainan”, mendesersikan rasio, dengan kerinduan akan pluralitas: konon, demikian yang dikenal kemudian sebagai postmodernisme.

Halnya dengan Indonesia, sebuah negeri tropis yang terbentang di khatulistiwa: tak urung, Indonesia pun pada akhirnya harus menjadi bagian di dalamnya. Globalisasi yang (seolah) sudah menjadi konsensus sebagai proyek bersama warga dunia itu, memaksa Indonesia untuk ikut terlibat di putaran roda besar yang tengah digelindingkannya. Siap atau tidak, itu bukanlah bahan pertimbangan yang akan menawarkan pilihan; padahal, bagi Indonesia, yang harus dipertaruhkan kemudian adalah lebih dari 270 juta jiwa dan seluruh sumber daya alam yang (sesungguhnya) melimpah-ruah.

Tidak sedikit kalangan yang merasa pesimis, Indonesia tidak akan mampu bertahan di arus besar globalisasi itu. Munculnya pesimisme itu tentu saja bukannya tanpa alasan, dan tidak terlalu berlebihan pula. Jika kita melihat bagaimana kondisi sekarang ini, Indonesia nyaris sudah kehilangan karakteristiknya, baik sebagai negara—bangsa maupun sebagai sebuah “entitas budaya.”[1]

Fantasi Globalisasi

David Harvey (2000:54) menyebut bahwa globalisasi bisa dilihat sebagai sebuah proses, sebagai sebuah kondisi, atau sebagai suatu proyek politik tertentu. Sebagai sebuah proses, globalisasi kemudian didefinisikan secara harfiah oleh Peter N. Stearns (2010:1) sebagai “proses transformasi fenomena lokal ke dunia yang lebih luas […][,] suatu proses yang menyatukan masyarakat dunia menjadi sebuah masyarakat dan fungsi tunggal secara bersama-sama.” Proses ini merupakan kombinasi dari ekonomi, teknologi, sosial budaya, dan kekuatan politik; meski terminologi globalisasi sering digunakan dengan fokus utamanya pada ekonomi—integrasi ekonomi nasional ke dalam ekonomi internasional melalui perdagangan, investasi langsung asing, arus modal, migrasi, dan penyebaran teknologi. Makhluk yang serupa globalisasi, menurut Harvey, sesungguhnya telah muncul seiring dengan sejarah kapitalisme.

Kapitalisme memang (nyaris) selalu dipandang sebagai pemain kunci dan agen penting dalam proses globalisasi. Kapitalisme yang meruang bersama globalisasi inilah yang kemudian membangun “imperialisme baru”. Imperialisme baru ini tidak semata bertolak dari agenda untuk merebut kuasa ekonomi dan politik sebagaimana praktik kolonialisme-imperialisme di masa lalu; namun, bergerak pula di ranah-ranah (ke)budaya(an) agar bisa melapangkan jalan dalam ekspansi ekonomi dan politiknya itu. Oleh sebagian kalangan, proses ini disebut sebagai “imperialisme budaya”,[2] yang dipandang terjadi sebagai akibat dari proses ekonomi dan budaya yang terimplikasi dalam reproduksi kapitalisme global.

Pada praktiknya, salah satu manisfestasi dari imperialisme budaya tersebut adalah dengan mencuatnya gejala “homogenisasi budaya”[3] (ada juga yang menyebutnya sebagai “delokalisasi”). Sebagaimana diuraikan Barker (2005), tesis homogenisasi budaya ini menganggap bahwa globalisasi kapitalisme konsumer akan mendorong hilangnya keragaman budaya, dengan penekanan pada meningkatnya “kesamaan”, dan mengasumsikan hilangnya otonomi budaya: ada dominasi dari satu kebudayaan atas kebudayaan lain, yang biasanya dilihat dalam pengertian nasional. Satu yang dipandang sebagai agen utamanya adalah perusahaan transnasional.[4] Pada konteks ini, sebagaimana ditegaskan Herbert Schiller, salah seorang pendukung utama tesis imperialisme budaya, industri komunikasi global (dalam hal ini, terutama, media massa), yang didominasi perusahaan-perusahaan yang dikendalikan Amerika Serikat, masuk pada sistem kapitalis dengan cara menyediakan dukungan ideologis bagi kapitalisme dan khususnya bagi perusahaan transnasional. Menurut Schiller, media massa bertindak sebagai kendaraan tumpangan bagi pemasaran korporasi, yang pada gilirannya menimbulkan efek ideologis yang menciptakan dan menguatkan keterikatan lokal pada kapitalisme Amerika Serikat.

Untuk konteks Indonesia, globalisasi, jika mengacu pada definisi harfiahnya Stearns, yaitu sebagai “proses transformasi fenomena lokal ke dunia yang lebih luas,” kiranya tidak akan menjadi problem yang pelik seandainya saja tidak ditunggangi kuasa kapitalisme. Dengan karakteristik dan kondisi budaya Indonesia yang majemuk dan cair, proses transformasi fenomena lokal ke dunia yang lebih luas sebagaimana yang disebut Strears, sesungguhnya sudah dipandang sebagai proses alamiah yang terjadi di tengah budaya-budaya komunitas atau masyarakat Indonesia sendiri. Budaya komunitas-komunitas masyarakat di Indonesia, pada umumnya, boleh disebut cenderung permisif terhadap keberadaan dan kehadiran budaya-budaya lain. Sejarah kebudayaan Indonesia kerap mencatat, persilangan budaya menjadi sesuatu yang tak terelakkan. Kemunculan kreativitas dan, bahkan, bentukan “budaya baru” adalah sesuatu yang lazim. Gejala saling mempengaruhi antara satu budaya dengan budaya lain (asimilasi, difusi, ekletisme, sinkretisme, dan hibriditas budaya), bisa dengan cukup mudah ditemukan di sejumlah komunitas, masyarakat, dan wilayah di Indonesia.

Lantas, mengapa proses globalisasi yang ditunggangi kuasa kapitalisme—dan kemudian oleh modernisme—sebagaimana yang terjadi sekarang ini dipandang sebagai sesuatu yang pelik dan problematik? Bukankah di negara—bangsa lain, proses globalisasi serupa ini pun tengah terjadi? Mengapa Indonesia, oleh sebagian kalangan, dipandang tidak akan siap untuk menghadapinya?

Relevansi masalah ini sepertinya tidak terlepas dari proses pertumbuhan dan perkembangan (ke)budaya(an) Indonesia itu sendiri. Ada proses-proses yang, sebut saja, tidak ajeg dalam mengindentifikasi identitas (ke)budaya(an) Indonesia. Kolonialisme, yang disebut sebagai gelombang pertama globalisasi, memiliki andil besar bagi ketidakajegan di dalam proses untuk mengidentifikasi identitas (ke)budaya(an) Indonesia itu.

Pada era kolonialisme, kemajemukan budaya masyarakat bumiputra (yang di kemudian hari menjadi) Indonesia dimanfaatkan dan dipertahankan sedemikian rupa untuk kepentingan kuasa kolonial. Mempertahankan budaya untuk tetap majemuk, pada konteks tertentu mungkin boleh dipandang sebagai “keuntungan”, meskipun tetap bukannya tanpa masalah. Seringkali, hal itu harus dibayar dengan harga yang sangat mahal. Sesuai dengan kepentingannya, kekuasaan kolonial itu pula yang seterusnya akan memilih dan sekaligus menentukan, (ke)budaya(an) mana yang berhak berkembang, mana yang tidak; begitu pun dengan aspek-aspek budaya apa saja yang boleh terus ditumbuhkembangkan, mana yang tidak. Budaya feodal tetap dipertahankan, bahkan untuk beberapa hal semakin dipertajam. Pada saat yang bersamaan, masyarakat bumiputra—siapapun itu—tetap ditempatkan sebagai subordinat dan inferior. Dengan kata lain, ada relasi kuasa yang sudah mencengkram dan mendegradasikan (ke)budaya(an) masyarakat bumiputra: membiarkan budayanya tetap majemuk, tetapi kemajemukan budayanya itu senantiasa terus berada dalam kontrol dan tekanan.

“Entitas budaya” Indonesia sebagai suatu “identitas baru” praktis mulai terbentuk seiring dengan munculnya kesadaran nasionalisme dan pergerakan kemerdekaan. Ikrar “Bahasa Indonesia sebagai bahasa kesatuan”, misalnya, boleh dipandang sebagai satu tonggak untuk menandai “entitas budaya” Indonesia itu. Terlepas dari soal, ikrar ini lebih bersifat politis, lebih ditempatkan sebagai simbol dan alat perjuangan melawan imperialisme dan kolonialisme, munculnya “entitas budaya” Indonesia itu sudah mulai mengandaikan akan adanya peleburan dan penyatuan kemajemukan budaya menjadi satu (ke)budaya(an) baru yang homogen.[5] Komunitas-komunitas masyarakat yang begitu majemuk itu pun kemudian menerimanya, bahkan nyaris taken for granted. Terlebih dengan dasar konsepsi, “Bhineka Tunggal Ika ‘Berbeda tetapi tetap satu’”—yang, pada konteks tertentu, bisa dipandang sebagai konsepsi yang paradoks—mengandaikan kemajemukan (ke)budaya(an) akan tetap bisa terjaga keberadaannya.

Hanya saja, Indonesia sebagai sebuah “entitas budaya”, dengan harapan bisa membangun (ke)budaya(an) baru itu, pada perkembangannya kemudian tetap memunculkan sejumlah implikasi dan konsekuensi tersendiri. Paling tidak, untuk menjadikan “yang bhineka” tetapi “satu” itu membutuhkan daya rekat yang sangat kuat. Daya rekat ini, yang mungkin akan terbentuk jika ada “strategi kebudayaan”, sepertinya tidak (atau belum) ada. Pada tingkat praksisnya, ada kerumitan-kerumitan tersendiri ketika “yang bhineka” itu harus terintegrasi sebagai “yang satu”.[6] Pasca-Indonesia merdeka, yang idealnya memiliki cukup kesempatan, “strategi kebudayaan” sebagaimana yang diharapkan masih tidak kunjung (atau belum) terumuskan.

Gerakan Budaya

Tidak adanya daya rekat yang berwujud “strategi kebudayaan”, pada perkembangannya kemudian, berbuntut konsekuensi yang luar biasa. Konsepsi tentang Kebudayaan Nasional Indonesia, yang oleh rezim Orde Baru diajukan sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah, misalnya, dipandang membuahkan sejumlah masalah yang pelik. Alih-alih mengintegrasikan kemajemukan, konsepsi itu kerap menjadi semacam penyederhanaan dan tumbuh hanya sebatas permukaan.[7] Satu hal yang penting untuk dicatat, pada masa rezim Orde Baru ini pula, dengan relasi kuasa dan praktik politik represifnya, gejala “homogenisasi budaya” justru mulai tumbuh dan terus menguat. Pada titik ini, proses globalisasi gelombang kedua—sebut saja demikian—mulai menggeliat di Indonesia.

Fenomena “homogenisasi budaya” yang terjadi pada masa rezim Orde Baru bukanlah homogenisasi sebagai konskuensi atas “entitas budaya” Indonesia sebagaimana yang dicita-citakan sebelumnya, yaitu sebagai sebuah kesatuan negara—bangsa yang “bhineka tunggal ika”. Homogenisasi budaya di rezim Orde Baru merupakan konsekuensi dari sejumlah kebijakan yang (hanya) bersandar pada kepentingan politik dan ekonomi, yang mengabaikan sama sekali kehadiran aspek sosio-budaya dari masyarakat Indonesia yang majemuk.[8] Dalam praktiknya, homogenisasi budaya di masa ini boleh dipandang sejalan-seperiringan dengan tesis imperialisme budaya yang terjadi sebagai akibat dari proses globalisasi yang telah ditunggangi oleh kapitalisme. Dengan dukungan kuasa yang dijalankan secara represif dan hegemonis, proses globalisasi gelombang kedua ini bisa berjalan dengan gilang-gemilang.

Kebijakan politik dan ekonomi Orde Baru jelas terlihat dengan paradigma modernisme dan developmentalisme yang dijalankannya. Paradigma modernisme dan developmentalisme yang mengasumsikan bahwa pertumbuhan ekonomi seoptimal mungkin akan melapangkan jalan menuju kesejahteraan (bagi negara dunia ketiga), nyatanya telah semakin mendorong homogenisasi untuk masuk ke hampir setiap aspek kehidupan masyarakat. Kapitalisme dan industrialisasi yang dipacu begitu rupa, baik lewat investasi asing maupun kucuran skema utang luar negeri, pada tahap tertentu memang sanggup untuk memperlihatkan kemajuan dan kesejerahteraan (secara fisikal) yang fantastis. Kala itu, pertumbuhan ekonomi dipandang maju pesat; meski pada saat yang bersamaan, Indonesia menjadi “pasar” bagi negara-negara dunia pertama.

Sayangnya, semua kemajuan dan pertumbuhan itu hanya realitas semu, ilusif dan harus dibayar dengan harga yang sangat mahal pula. Oleh karena Indonesia telah menjadi target pasar, fenomena konsumerisme dan materialisme di tengah masyarakat semakin menguat; sumber daya—baik sumber daya alam maupun manusia—mengalami kerusakan hebat akibat eksploitasi terus-menerus; dan, yang paling mendasar, “identitas budaya” yang semestinya hadir sebagai bagian inheren dari sebuah bangsa, hancur porak-poranda.

Paradigma modernitas, developmentalisme, dan juga kapitalisme yang mendorong pada terjadinya homogenisasi budaya di rezim Orde Baru ini, telah menggerus dan mencerabut basis tradisi dan akar primordial dari sebagian besar komunitas dan masyarakat Indonesia secara sistematis dan sampai pada batas yang boleh dipandang mencemaskan. Masyarakat terbius dengan klaim kemajuan yang semu dan ilusif itu. Sebagai konsekuensi dari Indonesia yang menjadi “target pasar” produk kapitalisme, masyarakat pun lebih berkembang sebagai masyarakat konsumen yang konsumtif.

Seiring dengan semakin menguatnya budaya konsumtif itu, potensi-potensi kreatif di masyarakat, yang mewujud sebagai produk budaya, kian terabaikan. Budaya agraris mulai tergusur. Lahan-lahan pertanian kian menyempit karena industrialisasi. Sejalan dengan itu pula, sebagai dampak dari “revolusi hijau” yang sempat dilakukan semasa rezim Orde Baru, sebagian besar varietas lokal tanaman pangan mengalami kehancuran. Budaya laut (pesisir) nyaris tidak diperhatikan; sementara, kota—yang selalu dijadikan sebagai pusat, parameter, dan tumpuan untuk berbagai hal (baik politik, sosial, ekonomi, maupun budaya)—pada akhirnya menjadi riuh dengan dengan berbagai persoalan, di samping terus dibanjiri oleh arus urbanisasi akibat dari munculnya berbagai ketimpangan dan kesenjangan sosial.

Kumpulan masyarakat urban yang “kehilangan akar”: barangkali, demikian yang terjadi pada masyarakat Indonesia sebagai warisan dari praktik kuasa kolonialisme-imperialisme dan, terutama, yang dijalankan oleh rezim Orde Baru. Babak baru dari proses globalisasi yang terjadi di Indonesia pada saat ini, yang dipandang oleh sejumlah kalangan akan semakin menggilas “entitas budaya” dan masyarakat Indonesia, tidak terlepas dari situasi dan kondisi tersebut.

Indonesia yang sampai hari ini masih hanya menjadi “target pasar”, dan kondisi sebagian masyarakatnya yang telah kadung terbius dengan berbagai tawaran menggiurkan dari para penggiat kapitalisme, kian memuluskan jalan bagi babak baru proses globalisasi yang terus membawa agenda imperialisme budaya itu. Ini ditambah dengan kemajuan teknologi informasi yang kini terus mengalami percepatan yang mengagumkan, imperialisme budaya makin mudah menyusup sebagai agen perubah budaya yang hadir dalam sifatnya yang sangat halus, tak terasa, bahkan seolah dianggap sebagai sesuatu yang alamiah adanya.

Imperialisme budaya yang mengejewantah lewat gejala homogenisasi budaya, disadari atau tidak, telah masuk sedemikian rupa ke setiap aspek kehidupan. Televisi dan internet, misalnya, sekarang telah menjelma sebagai kebutuhan primer yang (seolah) tak bisa tergantikan: keberadaannya sanggup menggantikan ruang-ruang komunal yang tadinya hadir sebagai tempat interaksi individu di tengah lingkup sosialnya.

Tidak sebagaimana ruang-ruang komunal yang bisa tumbuh “secara hangat” sesuai dengan konteks dan lingkup sosial di tempat sebuah masyarakat berada, media televisi dan internet hadir tidak dengan skema lokalitas yang serta-merta menyesuaikan dengan lingkup dan medan sosial yang dimasukinya. Kedua media itu akan senantiasa memberikan berbagai “tawaran” langsung, terutama lewat iklan, kepada setiap individu, tanpa membuka peluang pada adanya kompromi dan negosiasi. Dengan caranya ini—sebagaimana yang diyakini Schiller, media massa (dan dalam konteks internet, media sosial) dijadikan sebagai tumpangan bagi pemasaran korporasi—televisi dan internet pun kemudian (mulai) membangun (ke)budaya(an)nya sendiri: (ke)budaya(an) yang homogen, dengan mengomodifikasikan pengalaman dan mengonstruksikan kebutuhan dan keinginan yang sama di berbagai konteks dan ruang sosial yang berbeda.

Gempuran iklan yang terintegrasi dengan teknologi, yang pada hari ini telah menjadi agen utama kapitalisme, telah mengubah banyak hal: mengonstruksi bahasa, pikiran, tindakan, rasa—yang menjadi elemen-elemen pembentuk budaya. Ruang-ruang personal dan sosial melebur dan sekaligus terserak begitu saja bersama keriuhan tanda-tanda, imaji (citraan), yang terus berganti dengan sedemikian cepat. Masyarakat nyaris tidak diberi kesempatan lagi untuk melakukan internalisasi dan proyeksi atas diri mereka sendiri. Sebagai akibatnya, identitas mereka pun semakin lesap dan melenyap.

Di tingkat permukaan, masyarakat memang dihadapkan kepada begitu banyak pilihan dan keragaman. Berbagai ekspresi budaya yang muncul di masyarakat terlihat begitu majemuk dan cair. Budaya punk, dengan segala atributnya “yang sangar”, bisa hidup sebagaimana layaknya, berdampingan dengan budaya metropolis dengan segala konformitasnya. Hibriditas budaya pun dipandang sebagai fenomena umum, diterima nyaris tanpa pertanyaan.

Pada konteks ini, hal yang alpa untuk direnungkan adalah bahwa bentuk-bentuk ekspresi budaya itu kerap hadir di luar ruang kesadaran. Bukankah kerap ditemui, sebagai contoh kecil saja, seseorang yang memakai kaos bergambar besar Che Guevara duduk berleha-leha di sofa empuk Starbucks? Sering pula ditemui, para pengusung budaya punk memakai pakaian dengan robekan yang sama, aksesorisnya dibeli di tempat yang sama, dan juga dipasang di bagian tubuh yang sama?[9]

Sebagaimana halnya tanda dan citraan yang ditawarkan media iklan, yang hadir di luar ruang kesadaran itu adalah ekspresi budaya yang hanya bergerak dari riuhnya tanda dan citraan. Dengan kata lain, kemajemukan itu hanyalah semu, tipuan: kemajemukan yang terkontrol, sebagaimana yang pernah terjadi dulu di era kolonialisme dan impreliasme, yang pada hari ini peran kontrol itu telah diambil alih oleh teknologi yang bergandengan tangan dengan (korporasi) media untuk menjalankan sebuah konglomerasi budaya.

Dengan kian mengakarnya kapitalisme dengan imperialisme, homogenisasi, dan konglomerasi budaya yang menunggangi proses globalisme, sejumlah kalangan di berbagai belahan dunia terus berusaha untuk menggagas ihwal “gerakan budaya”. Konsep keragaman budaya yang mucul di pertengahan 1990-an,[10] boleh disebut sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan hal itu.[11]

Di Indonesia sendiri, sejumlah kalangan telah menggagas berbagai hal sebagai upaya untuk melakukan “gerakan budaya” tersebut. Satu yang mencuat ke permukaan, misalnya, adalah gagasan tentang “revitalisasi budaya”, untuk mencari lokalitas dan akar budaya di masing-masing komunitas masyarakat Indonesia. Boleh jadi, gerakan budaya semacam itu akan bisa menjadi satu tumpuan dan harapan bagi “entitas budaya” Indonesia agar kembali muncul ke permukaan dengan segala kemajemukannya.

Akan tetapi, untuk mewujudkan hal itu tentu saja bukanlah perkara yang mudah, terlebih dengan siatusi dan kondisi masyarakat Indonesia sendiri yang, sebagian besar di antaranya, boleh disebut telah (kadung) tercerabut basis tradisi dan akar primordialnya. Tantangan yang sangat besar adalah bagaimana agar semua agenda dari “gerakan budaya” itu tidak kembali didominasi oleh kekuatan-kekuatan ekonomi. Pada konteks ini, kehadiran strategi dan juga politik kebudayaan menjadi penting, terutama untuk merumuskan kerangka kerja dan agenda dan “gerakan budaya” itu sendiri.

Satu hal yang tak kalah penting, meskipun tidak lantas berarti harus selalu tergantung pada negara, pada konteks ini negara tidak boleh absen, setidaknya untuk turut terus mendorong agar gagasan “gerakan budaya” tersebut bisa terwujud. Kehadiran negara, senaif apapun itu, diperlukan, terutama untuk menghadapi kekuatan-kekuatan kapital yang pastinya akan berusaha dengan segala cara untuk terus mendapatkan pasar.

Selain itu, tetap penting pula untuk dicatat jika ada sebagian kalangan yang pesimis, “gerakan budaya” semacam itu akan sanggup muncul, menguat, dan mengimbangi percepatan dari proses globalisasi, khususnya dalam konteks Indonesia. Paling tidak, kepesimisan itu di antaranya bertolak dari hal-hal berikut ini:

  1. Potensi masyarakat Indonesia yang tadinya (lebih) merupakan masyarakat komunal, kini telah bergerak menjadi masyarakat individual;
  2. Akibat dari akar budaya yang telah tercerabut, ada indikasi percepatan yang tidak seimbang antara pertumbuhan masyarakat secara fisikal dengan pendewasaan masyarakatnya secara budaya (kultural);
  3. Kreativitas masyarakat Indonesia cenderung pada “kreativitas terapan”, sehingga bentukan kreativitasnya itu pun cenderung hanya sebatas permukaan, fashion/trend, dan sekejap;
  4. Kalaupun ada imaji kolektif, dengan asumsi a priori, hal itu akan tetap menjadi imaji kolektif yang sektarian, fragmentaris dan temporal, yang muncul dari kepentingan kelas-kelas masyarakat tertentu, yang sangat mungkin (atau, bahkan, seringkali) antara satu kepentingan dengan kepentingan lainnya saling berbenturan atau bahkan “saling mematikan”;
  5. Negara masih kerap absen dalam relevansinya dengan persoalan budaya sebagai bagian inheren negara—bangsa. Alih-alih memproteksi, yang justru kerap terjadi, negara malah turut andil dan berperan serta dalam mengodifikasi budaya dan menjajakannya—karena (hanya) dijadikan—sebagai “barang dagangan”;
  6. Sangat terbukanya peluang untuk mengaburkan identifikasi “gerakan budaya” itu sendiri. “Gerakan budaya” semacam apa? Dengan justifikasi dan sederet argumen tertentu, segalanya akan menjadi sangat mungkin untuk disebut sebagai “gerakan budaya”; atau, malah justru sebaliknya, apa yang kemudian disebut sebagai “gerakan budaya” itu jangan-jangan hanya nonsens, karena kita sendiri boleh jadi sebenarnya—meminjam istilah Afrizal Malna—(telah) ”yatim piatu secara kultur”.

Simpulan

Sejumlah persoalan yang membelit (ke)budaya(an) Indonesia, terutama yang menyangkut perubahan budaya yang secara sistematik dibentuk oleh proses globalisasi sebagaimana yang terjadi sekarang ini, boleh jadi sangat mencemaskan. Kuasa ekonomi dan politik yang tumbuh bersama kapitalisme semakin melanggengkan budaya konsumtif di masyarakat. Ini merupakan konsekuensi logis dari Indonesia yang hanya mampu menjadi “target pasar”.

Tidak adanya “strategi kebudayaan” yang bisa menjadi penopang kehidupan (ke)budaya(an) yang begitu majemuk, secara langsung atau tidak, semakin memperlemah “entitas budaya” Indonesia yang semestinya menjadi bagian inheren dari sebuah negara—bangsa. Imperialisme budaya, bisa dengan cepat terserap, nyaris tanpa ada mekanisme pertahanan budaya yang kokoh sebagai saringannya. Bahkan, segala sesuatu yang berbau globalisasi nyaris dipandang sebagai sebuah pesona yang penuh dengan daya pukau luar biasa: seolah-olah, globalisasi menjadi fantasi yang harus diraih, meski sebatas hanya demi eksistensi atau, bahkan, cukup jika sekadar untuk memenuhi trend.

Sebagai upaya untuk mengatasi peliknya persoalan itu, memang bukan sesuatu yang berlebihan jika kemudian ada usaha yang mengarah untuk mengangkat kekuatan imaji kolektif menjadi suatu “gerakan budaya” sebagaimana yang dibayangkan oleh sejumlah kalangan. Boleh jadi, ada yang tetap merasa pesimis dengan gagasan “gerakan budaya” itu. Akan tetapi, terlepas akan berhasil atau tidak, “gerakan budaya” semacam itu kiranya harus tetap dipandang sebagai sebuah proses yang penting untuk dilakukan. Barangkali, dengan menjalani proses tersebut, Indonesia bisa membangun “strategi kebudayaan” yang kokoh, yang sampai hari ini tidak (atau belum) tuntas terrumuskan.

* * *

—————————-

[1] Penyebutan Indonesia sebagai sebuah “entitas budaya” boleh jadi membuahkan problematika tersendiri, seturut dengan problematika dipilihnya nama (konsep) Indonesia untuk merujuk sebuah kesatuan wilayah yang kini disebut sebagai Negara—Bangsa Indonesia. Penjelasan mengenai problematika penamaan (konsep) Indonesia itu, setidaknya bisa dibaca dalam tulisan Daniel Dhakidae yang menjadi pengantar untuk buku Benedict Anderson, Komunitas-Komunitas Terbayang (2001: vii—xlvi), terutama pada catatan kaki #4. Di luar konteks problematika tersebut, sekadar untuk menyederhanakan pembahasan, “entitas budaya” yang saya maksud di sini akan merujuk pada pengertian sebagaimana yang pernah dipaparkan oleh Umar Kayam (1981:16): “Kebudayaan Indonesia adalah suatu kondisi majemuk karena ia bermodalkan berbagai kebudayaan lingkungan wilayah yang berkembang menurut tuntutan sejarahnya sendiri-sendiri.”

[2] Uraian yang cukup komprehensif mengenai imperialisme budaya di antaranya bisa dibaca dalam John Tomlinson, 1991, Cultural Imperialism: A Critical Introduction, London: Continuum.

[3] Contoh yang paling sering dirujuk untuk menunjuk gejala homogenisasi budaya semacam ini adalah McDonaldization ‘McDonaldisasi’, yang diajukan George Ritzer, seorang sosiolog Amerika, untuk menunjukkan fenomena karakteristik proses budaya di masyarakat yang terasionalisasi—ruang dan tempat di mana manusia hidup, bekerja, dan mengonsumsi—dengan mengacu pada restoran cepat saji sebagai paradigmanya. Menurut Ritzer, proses McDonaldisasi merupakan konsekuensi langsung dari naiknya empat proses yang saling terkait: dorongan untuk mendapatkan efisiensi yang lebih besar, daya prediksi (prediktabilitas), daya hitung (kalkulabilitas), dan kontrol, yaitu dengan adanya strandarisasi, buruh yang seragam, dan penggantian manusia dengan teknologi non-manusia. Keberhasilan sistem yang diterapkan oleh restoran cepat saji ini kemudian diadopsi oleh berbagai institusi lain, di antaranya oleh institusi pendidikan dan kesehatan.

[4] Sebagaimana yang juga dicatat Barker, homogenisasi budaya yang dibawa globalisme itu tidak serta merta bisa diterima. Argumen yang disodorkan Barker di antaranya adalah “globalisasi tak bisa dengan jelas dilihat sebagai proses homogenisasi, karena fragmentasi dan hibridisasi juga muncul sama kuatnya.” Pada tahap tertentu, Tomlinson (1991:135) pun menyanggah, homogenisasi budaya tidak semata terjadi dan hanya sebagai “alat kapitalisme”. Kalaupun hal itu ada, yang mesti dipertanyakan adalah seberapa jauh proses itu dipandang sebagai suatu ancaman? Bagi Tomlinson, jawaban dari pertanyaan itu akan tergantung pada di belahan dunia mana kita berada.

Untuk konteks Indonesia, relasi antara proses globalisasi dan kapitalisme yang berimplikasi pada menguatnya imperialisme budaya yang kemudian mengejawantah lewat gejala homogenisasi budaya kehadiran dan pengaruhnya terasa sangat kuat. Dengan kata lain, setidaknya bagi saya, tesis homogenisasi budaya untuk konteks Indonesia kiranya masih sangat relevan untuk dikedepankan.

[5] Boleh jadi, hal ini yang disebut oleh Edward W. Said dalam Kebudayaan dan Kekuasaan sebagai keadaan yang tumpang tindih. Bagi Said (1995: 270), keadaan tumpang tindih ini bukanlah masalah kecil atau boleh diabaikan: “Sebagaimana kebudayaan dapat mempengaruhi atau secara aktif mempersiapkan masyarakat untuk menerima dominasi luar negeri dari masyarakat lainnya, ia juga dapat mempersiapkan masyarakat tersebut untuk melepaskan atau mengubah gagasan dari dominasi luar negeri [….] Perubahan-perubahan tersebut juga mustahil terjadi kecuali jika keletihan ekonomi atau politik berlangsung di dalam negeri, atau gagasan tentang imperium dan harga pemerintahan kolonial ditantang secara terbuka, atau gambaran-gambaran tentang imperialisme mulai kehilangan pembenaran dan keabsahannya, atau, akhirnya, ‘bangsa-bangsa pribumi’ yang melawan itu mengingatkan kebudayaan metropolitan akan kemerdekaan dan integritas kebudayaan mereka sendiri, yang bebas dari campur tangan kolonial. Namun, setelah mencatat seluruh prasarat itu, kita mesti mengakui bahwa […] perlawanan dan perjuangan melawan inperialisme diartikulasikan bersama-sama atas suatu wilayah yang umum, namun disengketakan yang disodorkan oleh kebudayaan.”

[6] Pada konteks ini, kiranya masih tetap kontekstual untuk kembali merenungkan pernyataan dan pertanyaan yang pernah dilontarkan oleh Umar Kayam (1981:17) di tahun 1979: “Maka tantangan kebudayaan kita yang paling serius dalam menggalang satu konsep kebudayaan baru yang disebut Indonesia itu adalah kondisi majemuk kita serta ketimpangannya. Dapatkah dari kemajemukan dan ketidakseimbangan atau ketimpangan kondisi itu dikembangankan suatu kultur baru yang homogen? Ataukah justru kondisi yang tidak homogen ini, yang majemuk ini, justru dinamika yang menguntungkan kita untuk membangun suatu solidaritas baru?”

[7] Bagaimanapun, dalam hal ini saya bersepakat dengan Smiers (2009:129), konsep “kebudayaan nasional” lebih menyuarakan keinginan hati kelompok-kelompok dominan di dalam teritori nasional, untuk menganggap ekspresi kebudayaan mereka sebagai satu-satunya yang relevan; dan kekuasaan mereka membuatnya memang terlihat seperti itu. Padahal, hal itu sungguh jauh dari kenyataan yang sebenarnya.

[8] Kalaupun ada aspek budaya yang terlihat, maka budaya yang muncul di masa rezim Orde Baru ini adalah budaya Jawa (Jawanisasi).

[9] Hal ini mungkin sejalan dengan apa yang disebut Mediacult (dalam Smierst, 2009:178) sebagai “globalisasi (yang) mengimplikasikan heterogenisasi sekaligus homogenisasi umum.” Sementara itu, satu bahaya ketika menyoroti konsep hibriditas, sebagaimana yang juga dicermati Smierst (2009:188), adalah kegagalan untuk meletakkannya pada konteks sejarah.

[10] Konsep ini pula yang secara langsung atau tidak kemudian turut mendorong terbitnya Deklarasi Universal Keanekaragaman Budaya sekaligus dengan Rencana Aksi-nya yang dicanangkan Unesco. Pada Oktober 2005, Majelis Umum Unesco menyetujui Konvensi tentang Proteksi dan Promosi Keanekaragaman Ekspresi BudayaConvention on the Protection and Promotion of the Diversity of Cultural Expressions’. Sampai saat ini, Indonesia baru berencana untuk meratifikasi konvensi Unesco tersebut.

[11] Menyikapi konsep keanekaragaman budaya ini, kiranya menjadi penting untuk menengok pendapat Homi K. Bhaha (Smierst, 2009:178), bahwa pertaruhan dari kerangka konsep keanekaragaman budaya itu bukan hanya dilihat sebagai barang dan nilai-nilai artistik yang bervariasi secara estetis, tetapi juga membantu perseorangan dan kelompok atau masyarakat kolektif untuk mengonstruksi identitas budaya yang kokoh bagi diri mereka sendiri yang mungkin berbeda secara mendasar dengan identitas-identitas yang dihayati oleh orang lain sebagai simbol eksistensi mereka.

 

—————————–

Daftar Pustaka

  • Anderson, Benedict. 2001. Komunitas-Komunitas Terbayang (Terj. Omi Intan Naomi). Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar.
  • Barker, Christ. 2005. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Bentang.
  • Harvey, David. 2000. Space of Hope. Edinburg: Edinburg University Press.
  • Kayam, Umar. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan.
  • Said, Edward W.. 1995. Kebudayaan dan Kekuasaan. Bandung: Mizan.
  • Smiers, Joost. 2009. Arts Under Pressure. Yogyakarta: Insist Press.
  • Stearns, Peter N.. 2010. Globalization in World History. New York: Routledge.
  • Tomlinson, John. 1991. Cultural Imperialism: A Critical Introduction. London: Continuum.

 

* * *

Bagikan karya ini

Tentang Pengarya

Tinggalkan Komentar