Metamorfosa Pantun

Sepilihan Puisi Kartawijaya

Kartawijaya
Oleh Kartawijaya 395 Dilihat
5 menit membaca

Metamorfosa Pantun

dari Dabo ke Penyengat
kalau sempat ke Anambas
meski risau tetap semangat
menjelajahi laut tak hirau tempias

maka, kujejaki lagi ombak-ombak besar yang menelusup di pulau-pulau kecil. di tempat lain, bajak laut yang tersisa hanya adegan penutup di gedung bioskop sambil tak tentu mencari air kehidupan. di sini, kapal-kapal perang berpatroli, kapal-kapal barang hilang dilahap penculik buni

ke Bunguran Besar dengan perahu
ke Sekatung yang terjauh
berharap besar laut dituju
berdengung terus hasrat di kalbu

“siapa yang menamainya laut China selatan? bukan, ini adalah samudra Indonesia Utara”, begitu para elang membuka percakapan sambil mengikuti alunan buih yang pecah di karang-karang terjal. tak akan kami kurangi, juga kami tambahi, kamilah yang paling banyak melarung ke penghuni lautan, sejak masa ekspedisi awal. kami hanguskan kapal-kapal penuh keramik, kami benamkan kapal pembawa emas, dan kami tenggelamkan kapal pembawa rempah, aroma untuk para dewa

air ditepuk bumi berguncang
kami menelungkup di keping lengang

tidak, kami tidak pernah merampas untuk sekedar menukar dengan mata uang. kami terbawa hawa para leluhur untuk selalu melakukan persembahan laut yang paling istimewa, agar selalu bersama berkah

Januari 2020

 

Sketsa Lagu

intro
nada menyandera gerimis
pagi menipis
hanya jendela
menatap mula cahaya

verse
bambu bergeser, berderit
sawah ladang seperti lindap
hanya roda
datang dari kenangan
menarik pikulan dari bayangan

refrain
aku memegang ani-ani
gemetar
kuning membentang
hanya gambar
padi telah bersembunyi
tak diketahui

interlude
badan kami mengeras
menjadi arca
pipi kami retak
dipanggang cuaca

coda
bebukit runtuh
menimbun
ilalang berkejaran tumbuh
merimbun
suara tinggal gaung
luruh dari senandung

outro
ting
jadi lengking
malam tak putus mendengking

Juli 2020

 

Montase Berpasangan

kita dipasangkan
mungkin bukan karena kasih maha dalam
atau debar yang tak berkesudahan
menyeberangi jurang dan tanjakan
tetapi
ketika kanopi tubuhku runtuh
engkau menyanggaku
ketika daun jiwamu layu
aku menetesi dengan embun
perlahan semburat
urat yang cokelat
menghijau oleh tarian keramat

beberapa kali
aku menunggangi badai
poranda berwujud berai
engkau memunguti meski lunglai
dipelihara dalam derai
air matamu
air mataku
menumbuhkan tunas
yang hendak berkemas menuju limpas

aku memang tak biasa mempersembahkan bunga
engkau tak terlatih menggulai kopi
mudah-mudahan harum dan manis
menanti tanpa kalis
hingga pelabuhan hidup berdesis
hikayat maut, tak mungkin kita tepis

Desember 2020

 

In Memoriam Ani-Ani

ani-ani itu bermimpi mengetam padi dengan menggugurkan tetangkai satu persatu, bulir berayun gemulai menerjemahkan mendung menjadi rinai yang sejuk. ia dicekam haru paling linu dan berharap dengan permohonan sangat sendu, “satu kali saja, aku ingin membaui jerami di hamparan lelangit biru, setelah itu biarlah diperam waktu.”

ani-ani itu pisaunya mengarat
sawah menguning begitu dirindu
bayangan rayap membuatnya luruh

beberapa serangga malam membujuk bersama desau pembuluh, “ayo ani-ani, kami gendong dengan jaring laba-laba, ke tepi samudra menghanyutkan silsilah.” ani-ani mematung, pelupuk kesabararannya terbuka, tak mengatup meski angin beraroma nanah. ia tetap di sela bilah bambu hingga tetulangnya gugur merapuh

oh ani-ani
tak ada yang tahu bentukmu kini
entah runcing atau bergerigi
setiap malam digerogoti sunyi
hingga pupus sawah berganti beton berjeruji

Juni 2021

 

T e l u k

kita pernah di sini, ketika pasir dan gelombang dituangi fajar dengan percik kuning yang berkedipan sepanjang perbincangan. “perahu itu akan tenggelam di lazuardi ungu karena padanya kutitipkan pesan dari pemupuk peluh,” ucapmu sambil menunjuk beberapa kelompok awan yang diam, meskipun angin berputar di pusat sumbu

matamu memantulkan bunga ilalang
putih dan lengang

maka aku beringsut
mencari jaring yang disulam pengandaian
hari melepuh berulang
tak juga kudapatkan

ketika kembali, aku tersesat menuju pelabuhan
diam-diam teluk telah menghutankan jejak perambah ajaran yang melintas pada jam rentan
diam-diam
bunga bakau mekar seperti gerak laba-laba menyempurnakan sarang

Agustus 2021

 

 

Bagikan karya ini

Tentang Pengarya

Tinggalkan Komentar