————–
Pengantar Editor
Tak habis-habis legenda tanah Sunda ini muncul dalam berbagai bentuk, bahkan begitu menempel sampai ke nama jalan yang mungkin begitu sering kita lalui.
Menjadi bosankah kita karenanya? Pasti bosan kalau pembongkarannya tidak berhasil, tapi akan menyenangkan, kalau ada yang bisa membuat kepala kita terasa dikorek, dikupas, dan membuat kita terpelanting dari pemahaman kita yang sudah mengeras.
Dalam Sangkuriang, hanya dalam tiga babak: Dayang Sumbi membunuh Sangkuriang, Sangkuriang dan Tumang saling berbunuhan, Sangkuriang membunuh Dayang Sumbi. Isi dialog hampir selalu geraman dan teriakan kemarahan. Semua seperti histeri berbagai relasi yang tak tertanggungkan sampai-sampai meniadakan adalah jalan yang paling perlu.
Lalu kenapa sebetulnya kita perlu membaca drama seperti ini? Hahaha… bacalah…
— Dewi Noviami & Deandra Syarizka
————–
Sangkuriang
Karya Lili Awaludin
Tokoh-tokoh :
- Sangkuriang #1,
- Sangkuriang #2,
- Sangkuriang #3
- Dayang Sumbi #1,
- Dayang Sumbi #2
- Tumang
Tokoh-tokoh yang bernama sama ini secara refleksif, tidak harus sama dan tidak harus beda
(Panggung-panggung tempat lakon ini dimainkan bukan panggung-panggung kronologis)
Beberapa bait asmarandana mengalun sementara panggung masih gelap. Lampu mulai menyala ketika asmarandana memasuki bait terakhir.
Panggung #1, ada Sangkuriang dan Dayang Sumbi.
Sangkuriang: Ini Sangkuriang, Nyai.
Dayang Sumbi: Sangkuriang, kupikir aku mulai bosan bilang: aku ibumu, Dayang Sumbi. Aku …
Sangkuriang: Nyai, Sangkuriang baru seumur jagung. Iya. Sangkuriang juga bosan mendengar cerita tentang umur panjang dan luka di ubun-ubun ini. Nyai bisa bilang apa saja. Apa pun menjadi apa pun. Sangkuriang pun bisa menganggap diri sebagai dewa yang turun dari puncak Gunung Ciremai untuk…
Dayang Sumbi : Sangkuriang! Aku pernah dengar itu berpuluh tahun lalu. Aku tak ingin dengar lagi.
Sangkuriang : Lalu apa yang Nyai ingin dengar? Hutan tak pernah mengajarkan Sangkuriang berbicara luhur. Sungai tak pernah berkata-kata tentang harusnya manusia berbahasa. Sangkuriang tahu ada yang bisa dilihat, didengar, ada yang tak boleh dibawa, dimakan, diambil, tapi Sangkuriang tak pernah mendengar bahwa mengasihi itu terlarang.
Dayang Sumbi : Iya, mencintaiku, itu dilarang.
Sangkuriang : Kenapa?
Dayang Sumbi : Karena aku adalah ibu…
Sangkuriang : Ibumu…. Sangkuriang sudah bilang, Sangkuriang tak perlu percaya sesuatu yang Sangkuriang tidak tahu.
Dayang Sumbi : Luka di kepalamu, Sangkuriang.
Sangkuriang : Luka ya luka. Tak perlu jadi biang silat lidah.
Dayang Sumbi hanya tersenyum.
Sangkuriang : Nyai tidak percaya?
Dayang Sumbi menggeleng lemah.
Sangkuriang : Nyai bisa menguji cerita Sangkuriang tadi betul atau tidak?
Dayang Sumbi : Tidak.
Sangkuriang : Nah!
Dayang Sumbi : Jangan memaksa. Aku tahu kau tahu aku.
Sangkuriang : Lalu kenapa? Apa itu sudah berarti segalanya? (Sangkuriang menunggu sesuatu)
Dayang Sumbi : Lalu kapan kamu punya kewajiban buat aku?
Sangkuriang : Apa yang bisa Sangkuriang lakukan buat Nyai? Atau apa yang orang lain bisa lakukan pada Nyai?
Dayang Sumbi : Ubah aku, kalau begitu. Buat aku tak abadi.
Sangkuriang : Mengubah dunia? Nyai, yang betul saja!
Dayang Sumbi : Jangan jadi pengecut Sangkuriang. Mana nyali yang kau peroleh dari jurang-jurang? Sekarang sudah luntur hanya karena harus berhadapan dengan Dayang Sumbi? Mana, apa itu namanya, mmh, keahlianmu, ah, keahlianmu untuk bertahan hidup, jika kau harus menyerah hanya untuk menghidupkan aku, orang yang katanya kau cinta setengah mampus?
Sangkuriang : Tapi, buat apa? Nyai sudah abadi.
Dayang Sumbi : Itu, itu, itu! Aku pun tak suka menjadi abadi kalau aku harus berdosa juga.
Sangkuriang : Berdosa?
Dayang Sumbi : Berdosa karena kita harus berhadap-hadapan sekarang. Kita harus dipaksa oleh ini dan itu, harus ditahan oleh anu dan anu.
Sementara kita mungkin hanya mengucapkannya dengan kata-kata dan kita…
Sangkuriang : Kita, kita, kita. Kita siapa? Siapa Nyai, siapa Sangkuriang? Siapa yang merasa didorong-dorong, siapa yang merasa dipaksa-paksa?
Dayang Sumbi : Sangkuriang! Jangan bodoh! Kita diawasi!
Sangkuriang : (Ia mencari sesuatu di sekelilingnya.) Mana… apa?
Dayang Sumbi : Oh, Hyang Agung. Kita diawasi karena aku ibumu dan kau anakku.
Sangkuriang : Nah, sekarang Nyai yang menjadi penakut.
Dayang Sumbi : Sangkuriang!!! Apa kau mau berkata lagi tentang sungaimu itu?! Aku tidak butuh cerita, aku tidak butuh dongengan. Aku perlu ketidaktahuanku sendiri. Aku sudah cukup tahudiri untuk melihatmu sebagai sesuatu yang lain. Aku juga tidak terlalu bodoh…
Sangkuriang : Yang lain? Nyai menganggap Sangkuriang Orang lain?
Dayang Sumbi : Kau tak mengenalku lagi. Aku juga tak mengenalmu lagi. Yang aku tahu bahwa ada tanda di…Oh, Selalu saja tanda yang mengalahkan aku.
Sangkuriang : Begitu berartinyakah sebuah luka di kepala buat Nyai. (Seperti sadar sesuatu.) A…Sangkuriang merasa dipermainkan, Nyai. Nyai lebih menganggap luka ini lebih bernilai dari diri
Sangkuriang.
Dayang Sumbi hanya menunduk sedih.
Seperti menunggu sesuatu, semuanya diam.
Nyai. Sekarang tak ada banyak pilihan, dan Sangkuriang yakin Nyai tahu itu. Ada yang ingin Sangkuriang katakan pada Nyai, buat terakhir kalinya.
Dayang Sumbi : Apa yang membuatmu berpikir ada yang harus dan ada yang tidak boleh?
Sangkuriang : Yang Sangkuriang tahu Sangkuriang sudah belajar dan harus membuat Nyai tahu bahwa Sangkuriang masih memiliki keberanian, yang menurut Sangkuriang sudah cukup agung. Sangkuriang ingin menikahi Nyai.
Dayang Sumbi mendekati Sangkuriang, perlahan-lahan. Terpaksa, Nyai.
Dayang Sumbi hanya mengangguk lemah dan tersenyum. Sangkuriang mendekati Dayang Sumbi.
Wanita itu mulai bergetar. Sangkuriang memegang lengan Sumbi.
Sangkuriang : (Wajahnya berduka.) Ini Sangkuriang, sekarang…
Dayang Sumbi : Biar semuanya jelas. Biar terang bahwa aku menolak karena alasan yang dibuat dan tak mungkin dilangkahi.
Sangkuriang : Siapa yang membuat, Nyai, siapa yang melangkahi?
Dayang Sumbi : Bukan aku!
Sangkuriang : Lalu siapa? Bumi? Orang-orang? Langit? Tuhan?!
Dayang Sumbi : Sangkuriang!
Sangkuriang : (Dengan tubuh yang semakin lunglai, Sangkuriang jatuh berlutut di depan Dayang Sumbi.)
Dayang Sumbi : Kau tak memberi aku kesempatan!
Sangkuriang : Nyai yang tidak memberi Sangkuriang kesempatan.
Dayang Sumbi : Oh, kenapa harus membunuh? Kenapa harus?
Sangkuriang : Nyai, kenapa Nyai menolak? Sangkuriang tulus, Nyai. Nyai menganggap Sangkuriang buta, bisu, tak beradab, tak berpendidikan. Sangkuriang belajar dari pohon-pohon, tanah dan guru-guru yang hidup. Semuanya bertutur tentang cara makan, minum dan tidur yang sepantasnya. Sangkuriang tak punya pengetahuan apapun yang Sangkuriang tidak tahu. Sangkuriang tahu bahwa Sangkuriang hidup bernafas, dan itu sudah pantas. Nyai memaksa kesadaran Nyai ke dalam kesadaran Sangkuriang. Nyai tak memberi tempat bagi Sangkuriang untuk menjadi yang sepantasnya.
Nyai, Nyai Sumbi, ini adalah Sangkuriang yang untuk kesekian kalinya meminta, memohon pada Nyai… yang… yang… me… (ambruk tertelungkup)…yang…
Dayang Sumbi mendekat lalu meraba ikatan kain yang melilit perut Sangkuriang, Dayang Sumbi mencabut kujang dari pinggang Sangkuriang dan menghunjam-kannya tiga kali di perut dan hati Sangkuriang. Sangkuriang tanpa sempat melihat wajah Dayang Sumbi tergelepar lalu mati.
Dayang Sumbi : Inilah saatnya aku harus menyesal untuk kedua kalinya. Kujang ini, benda runcing hasil peradaban manusia ini sekian kalinya harus ditangisi. Dan tubuh kaku ini harus terbujur, tanpa batu peringatan.
Aku tak akan minta maaf Sangkuriang, atas nama dosa-dosaku. Aku hanya ingin mengutuk ayahmu yang datang dari barantah, membawa tongkat, mengaku dewa, dan berjanji akan memberi kehidupan yang lebih baik. Mungkin karena aku terlalu lemah sebagai sebuah tanda yang dihidupkan. Kami mungkin terlalu berbeda. Mungkin iya mungkin tidak.
Lampu panggung #1 padam bersamaan dengan mengalunnya kembali asmarandana. Asmarandana yang sama. Asmarandana yang itu-itu juga. Asmarandana mengayun semakin perlahan dan semakin perlahan. Sayup-sayup durma menggantikan syair kasih asmarandana bersama dengan menyalanya lampu panggung #2.
Sangkuriang dan Tumang saling berhadap-hadapan. Keduanya ‘tampak’ sedang berbincang-bincang. Kadang-kadang mereka hanya saling mengutuk atau mengejek tanpa ada tanda-tanda bahwa sebenarnya mereka saling mendengarkan.
Tumang : Kau bedebah, Sangkuriang. Buta kau, sampai kau kira aku hanya seekor anjing pemburumu, yang dengan seenaknya kau seret kesana-kemari? Tubuhmu itu Sangkuriang, kulitmu, tulangmu, dagingmu, darahmu; semuanya tak akan ada tanpa aku. Akulah yang seharusnya berada di atas punggungmu. Aku akui, hanya masalah sejarah saja kalau aku sekarang yang kau tunggangi.
Sangkuriang : Aku tahu kau yang menunggangi ibu, Tumang. Kau anjing setan. Kau tak memberiku kesempatan buat mengenal sebagian tubuhku yang lain. Kau tak memberiku ruang buat mengenali diriku sendiri. Kau pikir aku buta, tuli? Kau penjelajah bajingan! Kau pikir aku tak tahu bahwa kau hanya sampah yang dibuang dari langit, dan mungkin akan diambil kembali jika tubuhmu dan keberadaanmu tak dibutuhkan lagi?, atau jika istana kahyangan kehilangan salah satu batu batanya? Dan aku tak mau tahu, kau mau jadi penguasa, jongos penguasa, meja tulisnya penguasa, anjingnya penguasa, atau anunya penguasa. Aku tidak akan peduli secuilpun. (Sangkuriang mengambil sejumput makanan yang dibungkus secarik kain lalu makan perlahan-lahan.)
Tumang :Ah, kau makan saja sejarahmu itu, makan kebanggaanmu itu. Aku pun punya dunia, punya bahasa, punya kekuasaan punya kehebatan
Sangkuriang : Terserah kau kalau kau merasa hebat. Sah-sah saja kalau kau anggap benakmu itu pengatur hidup. Boleh-boleh saja kau percaya kelaminmu itu penguasa tubuh lain. Tapi tidak buat aku, Tumang. Kau yang hanya budak buat aku: Sangkuriang, biarpun aku tak punya kemegahan dan keabadian.
Padahal berapa sering aku selalu bilang pada Ibu, “Jangan ambil peduli! Jangan ambil peduli! Jangan pedulikan!” Tapi Ibu selalu percaya. Sial. Bodoh sekali!
Tumang : Sial? Ya. Kau sial karena kau tidak tahu aku. Kau tidak tahu sejarahku. Tapi kau tidak bodoh sama sekali. Setidaknya karena kau adalah perwujudanku yang lain. Hasil pertukaran perwujudan antara aku dan Dayang Sumbi.
Dan Dayang Sumbi pun tak bodoh. Dia sadar dirinya, dia sadar kebutuhannya, dan yang paling hebat, dia sadar kemampuannya. Apa lagi?
Ah, Dayang Sumbi, selalu saja aku bergetar bila aku sebut namamu; selalu aku bergidik kalau terbayang bahwa aku pernah ada di dalam dirimu, di aliran darahmu, bahwa denyut jantungku pernah dan akan selalu pernah seirama dengan denyut jantungmu. Harus! Harus seirama! Kalau tidak aku
tak mungkin ada di sini bersama bocah ingusan ini, bocah yang aku dengar bisanya cuma menyumpah-nyumpah, merengek-rengek.
Aku tak pernah habis berpikir apa sebenarnya yang kau maunya?
Sangkuriang : Kalau kau mau tahu apa yang aku peduli, Tumang, biar kuberi tahu; aku cuma ingin tahu kalau setiap kali kau kusuruh kejar burung itu, kejar menjangan itu, kejar kelinci itu, cari babi, ambil anak panah, kau harus patuh dan kau harus kembali dengan kabar baik. Itulah ketika aku rasakan denyutmu dengan denyutku, nafasku dengan nafasmu. Bawalah hewan-hewan hasil buruanmu dan berikan padaku, jelasnya, lemparkan saja dan kau tidak usah tunjukkan moncong baumu di depanku dan di depan ibu. Itu sudah lebih dari cukup. Dengar itu, anjing kurap?!
Tumang : Padahal sudah kuajari kau cara mencari harta alam, jejak menjangan, tai banteng, sarang babi, arus yang penuh ikan. Hasilnya, tetap saja kau adalah anak gunung yang pintarnya cuma naik pohon kelapa dan mencangkul. Dan akhirnya aku-aku juga yang mengendus-endus, waspada pada setiap hembusan angin, mengawasi ranting dan daun-daunan, menyusur tanah sejengkal demi sejengkal, menandai wilayah yang baru atau lama aku kenali, sementara kau cuma bilang “kejar, satu saja jangan banyak-banyak!”
Entah dari mana kau belajar sombong dan keras kepala seperti ini. Hah! Jangan-jangan aku yang sial.
Sangkuriang : (Ia lempar sekerat daging kelapa) Makan itu. Kalau tidak doyan salahmu sendiri kenapa kau mau jadi anjing. Wauk…wauk…wauk…!!! (Menirukan suara anjing) Hrrrrrr … hrrrr … Wauk … wauuuuuuuuuuuuuk … hrrr … (Sangkuriang mengendus kesana-kemari).
Tumang : Dulu aku bayangkan bahwa anak yang lahir dari Dayang Sumbi adalah perempuan. Lalu ia secantik dan selembut ibunya; seperti kupu-kupu, atau…atau…seperti bunga putri malu. Ah jangan, jangan seperti bunga putri malu, ia berduri. Seperti, seperti kuntum, ah kuncup melati. Kuelus dan ia akan mekar di telapak tanganku (Sangkuriang mulai berteriak-teriak dan berguling-guling). Dia akan mekar dan menjadi wangi persis seperti ibunya. Aku yakin bahkan sepucuk daun keringpun akan tergiur padanya seperti mereka ternganga-nganga dan meneteskan liur jika melihat Dayang Sumbi mandi di padasan.
Sangkuriang : (Mengeluarkan tanah dari dalam mulutnya.) Puah!!!
Tumang : Brengsek! (matanya terbelalak ke arah Sangkuriang.) Ternyata yang kujumpai adalah setan kecil ini. Tak kusangka dia akan tumbuh menjadi sainganku sendiri. Ha, ha, ha, layaknya saja aku ini seorang raja yang sedang terancam mahkota dan tahtanya karena seorang bocah tak beradab gila ini.
Tapi, dia terlalu akrab dengan Dayang Sumbi. Aku tahu Dayang Sumbi adalah ibu kandungnya sendiri, tapi tak cukupkah baginya selama sembilan bulan menjadi satu dengan tubuh ibunya sendiri, selama sembilan purnama mendengar setiap deburan darah ibunya,
Sankuriang : (menggigil kedinginan) HHH…
Tumang: geletar tangisnya, ayunan nafasnya, tidak puaskah selama sembilan bulan dipeluk (Sangkuriang menguap lebar-lebar.) sedalam-dalamnya di tubuh ibunya yang gelap dan lembab.
Sangkuriang : Jadilah manusia, Tumang, sang penguasa sejati, penggagas yang tidak mengandalkan indranya saja. Lihat daging kelapa ini sudah masuk ke dalam perutku, gula merah ini (diambilnya secuil gula merah dari bungkusan yang sama tempat dia mengambil daging kelapa.), benda hasil tipu-menipu juga aku makan. Amm!!! Lihat!, aku tidak hanya makan yang kau makan. Aku tak hidup di dunia yang sempit seperti duniamu. Dan jika pun aku penguasa aku adalah penguasa yang tahu seluk beluk benak dan duniaku. Aku adalah aku: Sangkuriang sang manusia!
Kamu (pada Tumang) bisa lihat, bisa dengar, bisa rasakan? Bisa kamu tirukan? Hah? Hah? Hah? Bisa kau makan gula merah, bisa kau naik kelapa? Bisa kau panen padi? Dasar dewa tak berguna. Kerjamu cuma meneteskan liur, berlari, cuma menggonggong, menggonggonggonggonggonggong. Atau terkaing-kaing jika ekormu terinjak, atau terbirit-birit jika kamu lihat ada harimau belang.
Tumang : Masih saja rupanya kau bermimpi bahwa kau adalah pemilik ibumu. Ha, ha, sementara kau mungkin tak pernah berkhayal bahwa kau yang dimiliki oleh ibumu. Apalagi memikirkan, siapa yang menggenggam Dayang Sumbi.
Sangkuriang : Tumang, tidak seperti kau, aku bisa bermimpi dan aku punya hak disitu sebagai pemilik sejati duniaku. Ha, ha, dan kau pasti tak pernah memperhitungkan itu.
Tumang : Kau selalu lupa bahwa aku yang menjamin hidupmu, keberadaanmu.
Sangkuriang : Kau selalu lupa bahwa aku, akulah yang menjamin hidupku, duniaku.
Tumang : Harusnya kau perhatikan aku. Aku ada dan aku melihatmu. Kau ada dalam mataku di dalam kepalaku.
Sangkuriang : Iya, ya, di sini, di luar mimpi ini ada kau, binatang bau. Kau selalu ada di sekelilingku, selalu menatapku dengan cara pandangmu yang menjijikkan itu. Dan aku selalu, dan selalu saja gagap jika harus menjawab matamu. (Sangkuriang seperti teringat sesuatu.) Aku juga disini punya dunia, kunyuk!
Berdirilah seperti aku, Tumang, dengan dua kaki terpentang di tanah dan dua tangan yang mengadah ke langit, dengan dagu menantang matahari! Ayo tirukan! Ayo! Atau aku yang harus menirukan kamu terus menerus? Iya, begitu?
Sangkuriang mulai merangsek ke arah Tumang. Dasar kau anjing tak punya harga diri, pemerkosa! Tumang menyambut sergapannya.
Tumang : Sekarang mungkin saatnya kau kuhabisi
Sangkuriang : Mahluk perampas. Bau busuk.
Tumang : daripada kau jadi Aku, daripada aku harus mati buatmu.
Durma menghentak-hentak menjadi genderang perang bagi keduanya. Mereka bergumul beberapa saat. Bergulat bernafsu memenangkan sesuatu. Sampai kedua-duanya berteriak, mereka, sambil masih saling peluk, terdiam sejenak. Setelah sadar sesuatu, mereka mundur beberapa langkah, masing-masing tangan kiri memegang dada yang sudah berdarah, sementara tangan kanan menghunus kujang. Keduanya jatuh, mengejang, lalu mati.
Durma menyisakan satu bait terakhir.
Asmarandana kembali muncul menghantar panggung #3.
Panggung #3 menyala. Ada Sangkuriang dan Dayang Sumbi disana.
Sangkuriang : Nyai, kapan hujan terakhir turun?
Dayang Sumbi : Setahun yang lalu, Sangkuriang. Setahun yang lalu langit masih mengirim hujan dan kembang-kembang melati disini masih berbiak dan aku masih bisa menjalin rangkaian kuntum-kuntumnya.
Sangkuriang : Entah apa maunya “langit” itu? Padahal dari mana lagi Nyai akan memetik melati kalau dia tak mau lagi mencurahkan air ke tanah ini.
Dayang Sumbi : Air itu sudah ada dalam tanah ini.
Sangkuriang : (memukul tanah) Tanah yang keras ini?
Dayang Sumbi : Aku saja masih bisa menyimpan tunas-tunas melati. Mungkin kelak aku juga masih bisa membuat rangkaian-rangkaian yang lain.
Sangkuriang : Untukku?
Dayang Sumbi : Sangkuriang!
Sangkuriang : Lalu kapan Nyai akan memakai rangkaian melati di rambut Nyai khusus untuk saya? Nyai sering berkisah tentang pelangi terakhir yang pernah memporak-porandakan ladang-ladang ini. Nyai pernah bertutur tentang air abadi yang akan mampu menghentikan waktu. Tapi Nyai tak pernah mau menunjukkan semuanya secara gamblang. Jangan selalu sembunyi Nyai, percuma.
Dayang Sumbi : Apanya yang percuma, Sangkuriang? Ladang kita bukan sekedar kisah-kisah. Waktu yang kita miliki pun akan tetap mengalir. Semuanya akan tetap tumbuh.
Sangkuriang : “Tumbuh,” sementara Nyai membiarkan saya tumbuh seperti ini. Mati-matian saya membunuh keberadaan Bapak dan mati-matian pula saya tutup telinga pada orang-orang yang berteriak, “Hei! Anak sundal!,” “Hei, bocah cacat!” Cacat, tahu apa mereka tentang saya. Hhh, selalu saja mereka berpihak pada Bapak.
Dayang Sumbi : Mereka punya hak, Sangkuriang.
Sangkuriang : Silakan, silakan kalau mereka punya hak atas ucapannya. Silakan kalau mereka mau mengatur tingkah-polahnya semau-mau mereka. Tapi kapan saya punya hak atas saya, atas Nyai, atas ladang-ladang saya sendiri, atas ladang-ladang kita?
Dayang Sumbi : Kita masih punya tunasnya, Sangkuriang.
Sangkuriang : Bohong! Nyai cuma ingin meninabobokan Saya. Nyai tak benar-benar mau mendengar keluhan saya. Nyai hanya peduli pada tanah, air, tunas melati dan orang-orang.
Dayang Sumbi : Dari mana lagi aku akan hidup?
Sangkuriang : Dari saya, Nyai. Saya satu-satunya yang paling merasakan bahwa Nyai hidup.
Dayang Sumbi : Usiaku jauh lebih tua daripada kau, Sangkuriang.
Sangkuriang : Selalu saja begitu. Kenapa tidak lihat saya sebagai, sebagai manusia, sebagai, sebagai pria saja, Nyai?
Hening.
Nyai, kapan hujan akan turun lagi? Kemarau sudah terlalu lama. Saya takut kuntum-kuntum melati tak akan sempat lagi memberikan kesempatan.
Dayang Sumbi : Kamu ini bicara apa? Bagaimana kamu mengharapkan sesuatu dari kuntum-kuntum melati? Seperti penyair saja kerjaanmu. Menopengkan anu, mengelabui anu, memoles ini, mengupas itu.
Sangkuriang : Ah, Nyai ini. Lalu kenapa Nyai mengapa Nyai selalu menyempatkan diri meronce melati, dulu, sambil nembang asmaradana.
Dayang Sumbi : Kau pikir memangnya aku sedang apa? Kau terlalu menaruh curiga. Lagipula, kau kan sudah aku ajari. Harusnya kau pun bisa ngidung sendiri.
Sangkuriang : Saya tak suka suara saya sendiri. Suara saya, banyak yang menganggap suara saya menyeramkan. Laksana gelombang laut kidul, katanya. Saya lebih senang jika Nyai yang bernyanyi.
Dayang Sumbi : Malu?
Sangkuriang : Bukan!
Dayang Sumbi : Kau malu dengan suaramu?
Sangkuriang : Bukan itu!
Dayang Sumbi : Kau malu dengan asmarandanamu?
Sangkuriang : Saya bangga dengan asmaranda kita, Nyai. Tapi saya lebih bangga bahwa Nyailah yang ngidung demi asmarandana, demi nyai, demi saya.
Dayang Sumbi : Apalah sekedar bernyanyi sementara kita selalu di sini, dilihat orang sedang bermimpi, sedang bercengkerama dengan melati-melati busuk.
Sangkuriang : Melati milik mereka yang busuk. Mata mereka busuk: terlalu tua buat melati yang memang sekedar melati. Menyanyilah buat saya, Nyai, tak ada yang jadi busuk.
Dayang Sumbi : Hmm, tak ada alasan buat menjadi busuk memang. Cuma kalau aku harus nembang, aku memang suka melakukan itu…
Sangkuriang : Buat Bapak?
Dayang Sumbi : Itu lagi, itu lagi.
Sangkuriang : Apa lagi? Tentang hujan lagi? Tentang Asmarandana lagi? Tentang sawah ladang lagi? Tentang, tentang kemarau lagi?
Dayang Sumbi : Sudah Sangkuriang, lebih baik kamu pergi lagi melanglang. Lalu kembali nanti membawakan aku kehidupan baru.
Sangkuriang : Begitu?! Nyai tidak suka kehadiran saya?! Nyai menafikan cinta saya?! Nyai jijik dengan cinta saya yang, yang, yang…kotor, kotor karena saya harus mengagumi kejelitaan, keabadian dan keagungan Nyai, ibunda saya sendiri?
Dayang Sumbi : Jangan ajari aku moral, Sangkuriang! Biarkan saja dia, kalau dia ada, memenjarakan dirinya sendiri. Dan biarkan saja kita yang memenjarakan diri kita sendiri. Asal tolong, jangan bicara muluk-muluk tentang aku, tentang kamu, tentang bapak.
Sangkuriang : Sementara bilang “kalau memang ada,” sementara itu juga Nyai akan selalu dan selalu ada menyediakan tempat buat Bapak…
Dayang Sumbi : Apa balas budimu buat Bapak, Sangkuriang. Dia mengajarkan kamu melihat, mendengar sampai kamu tumbuh menjadi pemuda (suaranya menjadi lembut) gagah, cekatan, tampan, seperti sekarang.
Sangkuriang : Saya telah berkelana, Nyai.
Dayang Sumbi : Dan kau sudah merasa itu lebih dari cukup, itu bisa memberimu segalanya: kebijaksanaan?
Sangkuriang : Kekuatan Nyai, bukan sekedar kebijaksanaan.
Dayang Sumbi : Itu biadab, Sangkuriang. (Suaranya bergetar) Itu namanya biadab.
Sangkuriang : Kalau begitu tolong ajari saya. Beri tahu apa itu beradab. Jangan cuma menghina-hina saja. Saya juga pemuda yang sedang mendidih, yang punya ingatan panjang.
Dayang Sumbi : Oh, Semesta, jangan berikan percakapan ini buat kedua kalinya.
Sangkuriang : Percakapan apa, Nyai?
Dayang Sumbi mulai terisak.
Percakapan apa Nyai? Nyai bertemu siapa?
Dayang Sumbi : Kamu harusnya tahu.
Sangkuriang : Apa, kapan, di mana?
Dayang Sumbi : Andai saja saat itu…
Sangkuriang : Saat itu apa Nyai?
Dayang Sumbi : Oh, sama persis.
Sangkuriang : Jangan buat saya marah, Nyai.
Sangkuriang mencengkeram lengan Dayang Sumbi. SementaraDayang Sumbi semakin menangis. Sangkuriang pun menangis.
Jujur saja, Nyai. Tolong, Jujur saja. Siapa yang menemui Nyai, kapan, ada apa?
Dayang Sumbi : Kalau saja kau pernah menjadi aku, Sangkuriang, kau akan tahu.
Sangkuriang : Itu yang aku inginkan. Setidaknya sebagian saya adalah Nyai, sebagian Nyai adalah saya.
Dayang Sumbi : Bohong! Alasan! Kamu hanya ingin merampas sesuatu dari dalam diriku. Akui saja!
Sangkuriang : Nyai, teganya Nyai…. Aku rindu tidur dalam rahimmu, itu saja.
Dayang Sumbi : Ayo Sangkuriang, lakukan. Rampok aku. Kuasai aku sepenuhnya, anggap saja aku ini pelacur yang bisa kau bayar dengan kemegahanmu,
Sangkuriang : Nyai!
Dayang Sumbi : (Memejamkan mata) yang bisa kau paksa dengan bahasamu. Ayo Sangkuriang, ada banyak yang tak kamu ketahui dalam tubuhku. Cari tahu di sana, melanglanglah disana. (Sangkuriang, menghunus kujang.) Dan jangan pernah melabuhkan sesuatu. Aku adalah aku, Sangkuriang, Dayang Sumbi yang selalu tahu bahwa dirinya adalah tuan rumah yang ulung.
Sangkuriang : Nyai… (Ia tusukkan kujangnya ke jantung Dayang Sumbi.)
Dayang Sumbi : Aaah! Aku adalah aku, Dayang Sumbi yang selalu menang pertempuran. Dayang Sumbi yang abadi.
Sangkuriang : Nyai…
Dayang Sumbi ambruk ke tanah. Mati.
Sangkuriang : Nyai, saya tak akan minta pengampunan atas nama saya dan atas namamu, Nyai. Saya tak menyesal bahwa saya yang membunuhmu. Biarkan saja nanti tuturan-tuturan lain yang menggantikannya. Urusan saya sekarang adalah mencintaimu sebagai kuntum melati yang akan jadi kepala saya.
Maafkan saya jika kau kelak akan jadi legenda, yang mungkin tak pernah kauimpikan.
Jatinangor, Sarijadi, 13 Oktober 1997
Terima Kasih untuk N. dan L. N. H.