Sangkuriang

Tak habis-habis legenda tanah Sunda ini muncul dalam berbagai bentuk, bahkan begitu menempel sampai ke nama jalan.

Lili Awaludin
Oleh Lili Awaludin 617 Dilihat
27 menit membaca

————–

Pengantar Editor

Tak habis-habis legenda tanah Sunda ini muncul dalam berbagai bentuk, bahkan begitu menempel sampai ke nama jalan yang mungkin begitu sering kita lalui.

Menjadi bosankah kita karenanya? Pasti bosan kalau pembongkarannya tidak berhasil, tapi akan menyenangkan, kalau ada yang bisa membuat kepala kita terasa dikorek, dikupas, dan membuat kita terpelanting dari pemahaman kita yang sudah mengeras.

Dalam Sangkuriang, hanya dalam tiga babak: Dayang Sumbi membunuh Sangkuriang, Sangkuriang dan Tumang saling berbunuhan, Sangkuriang membunuh Dayang Sumbi. Isi dialog hampir selalu geraman dan teriakan kemarahan. Semua seperti histeri berbagai relasi yang tak tertanggungkan sampai-sampai meniadakan adalah jalan yang paling perlu.

Lalu kenapa sebetulnya kita perlu membaca drama seperti ini? Hahaha… bacalah…

— Dewi Noviami & Deandra Syarizka

————–

Sangkuriang

Karya Lili Awaludin

Tokoh-tokoh :

  • Sangkuriang #1,
  • Sangkuriang #2,
  • Sangkuriang  #3
  • Dayang Sumbi #1,
  • Dayang Sumbi #2
  • Tumang

Tokoh-tokoh yang bernama sama ini secara refleksif, tidak harus sama dan tidak harus beda

(Panggung-panggung tempat lakon ini dimainkan  bukan panggung-panggung kronologis)

Beberapa bait asmarandana mengalun sementara panggung masih gelap. Lampu mulai menyala ketika asmarandana memasuki bait  terakhir.

Panggung #1, ada Sangkuriang dan Dayang Sumbi.

Sangkuriang: Ini Sangkuriang, Nyai.

Dayang Sumbi: Sangkuriang, kupikir aku mulai bosan  bilang: aku ibumu, Dayang Sumbi. Aku …

Sangkuriang: Nyai, Sangkuriang baru seumur  jagung. Iya. Sangkuriang juga bosan mendengar  cerita tentang umur panjang dan luka di ubun-ubun  ini. Nyai bisa bilang apa saja. Apa pun menjadi apa  pun. Sangkuriang pun bisa menganggap diri sebagai  dewa yang turun dari puncak Gunung Ciremai  untuk…

Dayang Sumbi : Sangkuriang! Aku pernah dengar itu  berpuluh tahun lalu. Aku tak ingin dengar lagi.

Sangkuriang : Lalu apa yang Nyai ingin dengar? Hutan tak pernah mengajarkan Sangkuriang  berbicara luhur. Sungai tak pernah berkata-kata  tentang harusnya manusia berbahasa. Sangkuriang  tahu ada yang bisa dilihat, didengar, ada yang tak  boleh dibawa, dimakan, diambil, tapi Sangkuriang  tak pernah mendengar bahwa mengasihi itu  terlarang.

Dayang Sumbi : Iya, mencintaiku, itu dilarang.

Sangkuriang : Kenapa?

Dayang Sumbi : Karena aku adalah ibu…

Sangkuriang : Ibumu…. Sangkuriang sudah bilang,  Sangkuriang tak perlu percaya sesuatu yang  Sangkuriang tidak tahu.

Dayang Sumbi : Luka di kepalamu, Sangkuriang.

Sangkuriang : Luka ya luka. Tak perlu jadi biang silat  lidah.

Dayang Sumbi hanya tersenyum.

Sangkuriang : Nyai tidak percaya?

Dayang Sumbi menggeleng lemah.

Sangkuriang : Nyai bisa menguji cerita Sangkuriang  tadi betul atau tidak?

Dayang Sumbi : Tidak.

Sangkuriang : Nah!

Dayang Sumbi : Jangan memaksa. Aku tahu kau tahu  aku.

Sangkuriang : Lalu kenapa? Apa itu sudah berarti  segalanya? (Sangkuriang menunggu sesuatu)

Dayang Sumbi : Lalu kapan kamu punya kewajiban buat aku?

Sangkuriang : Apa yang bisa Sangkuriang lakukan  buat Nyai? Atau apa yang orang lain bisa lakukan  pada Nyai?

Dayang Sumbi : Ubah aku, kalau begitu. Buat aku tak  abadi.

Sangkuriang : Mengubah dunia? Nyai, yang betul  saja!

Dayang Sumbi : Jangan jadi pengecut Sangkuriang.  Mana nyali yang kau peroleh dari jurang-jurang?  Sekarang sudah luntur hanya karena harus  berhadapan dengan Dayang Sumbi? Mana, apa itu  namanya, mmh, keahlianmu, ah, keahlianmu untuk  bertahan hidup, jika kau harus menyerah hanya  untuk menghidupkan aku, orang yang katanya kau  cinta setengah mampus?

Sangkuriang : Tapi, buat apa? Nyai sudah abadi.

Dayang Sumbi : Itu, itu, itu! Aku pun tak suka menjadi  abadi kalau aku harus berdosa juga.

Sangkuriang : Berdosa?

Dayang Sumbi : Berdosa karena kita harus  berhadap-hadapan sekarang. Kita harus dipaksa  oleh ini dan itu, harus ditahan oleh anu dan anu.

Sementara kita mungkin hanya mengucapkannya  dengan kata-kata dan kita…

Sangkuriang : Kita, kita, kita. Kita siapa? Siapa Nyai,  siapa Sangkuriang? Siapa yang merasa  didorong-dorong, siapa yang merasa dipaksa-paksa?

Dayang Sumbi : Sangkuriang! Jangan bodoh! Kita  diawasi!

Sangkuriang : (Ia mencari sesuatu di sekelilingnya.)  Mana… apa?

Dayang Sumbi : Oh, Hyang Agung. Kita diawasi karena  aku ibumu dan kau anakku.

Sangkuriang : Nah, sekarang Nyai yang menjadi  penakut.

Dayang Sumbi : Sangkuriang!!! Apa kau mau berkata lagi tentang sungaimu itu?!  Aku tidak butuh cerita, aku tidak butuh dongengan.  Aku perlu ketidaktahuanku sendiri. Aku sudah  cukup tahudiri untuk melihatmu sebagai sesuatu  yang lain. Aku juga tidak terlalu bodoh…

Sangkuriang : Yang lain? Nyai menganggap  Sangkuriang Orang lain?

Dayang Sumbi : Kau tak mengenalku lagi. Aku juga tak  mengenalmu lagi. Yang aku tahu bahwa ada tanda  di…Oh, Selalu saja tanda yang mengalahkan aku.

Sangkuriang : Begitu berartinyakah sebuah luka di  kepala buat Nyai. (Seperti sadar sesuatu.)  A…Sangkuriang merasa dipermainkan, Nyai. Nyai  lebih menganggap luka ini lebih bernilai dari diri

Sangkuriang.

Dayang Sumbi hanya menunduk sedih.

Seperti menunggu sesuatu, semuanya diam.

Nyai. Sekarang tak ada banyak pilihan, dan  Sangkuriang yakin Nyai tahu itu. Ada yang ingin  Sangkuriang katakan pada Nyai, buat terakhir  kalinya.

Dayang Sumbi : Apa yang membuatmu berpikir ada  yang harus dan ada yang tidak boleh?

Sangkuriang : Yang Sangkuriang tahu Sangkuriang  sudah belajar dan harus membuat Nyai tahu bahwa  Sangkuriang masih memiliki keberanian, yang  menurut Sangkuriang sudah cukup agung.  Sangkuriang ingin menikahi Nyai.

Dayang Sumbi mendekati Sangkuriang, perlahan-lahan. Terpaksa, Nyai.

Dayang Sumbi hanya mengangguk lemah dan tersenyum. Sangkuriang mendekati Dayang Sumbi. 

Wanita itu mulai bergetar. Sangkuriang memegang lengan  Sumbi.

Sangkuriang : (Wajahnya berduka.) Ini Sangkuriang,  sekarang…

Dayang Sumbi : Biar semuanya jelas. Biar terang bahwa  aku menolak karena alasan yang dibuat dan tak  mungkin dilangkahi.

Sangkuriang : Siapa yang membuat, Nyai, siapa yang  melangkahi?

Dayang Sumbi : Bukan aku!

Sangkuriang : Lalu siapa? Bumi? Orang-orang?  Langit? Tuhan?!

Dayang Sumbi : Sangkuriang!

Sangkuriang : (Dengan tubuh yang semakin lunglai,  Sangkuriang jatuh berlutut di depan Dayang Sumbi.)

Dayang Sumbi : Kau tak memberi aku kesempatan!

Sangkuriang : Nyai yang tidak memberi Sangkuriang  kesempatan.

Dayang Sumbi : Oh, kenapa harus membunuh? Kenapa  harus?

Sangkuriang : Nyai, kenapa Nyai menolak? Sangkuriang tulus,  Nyai. Nyai menganggap Sangkuriang buta, bisu, tak  beradab, tak berpendidikan. Sangkuriang belajar  dari pohon-pohon, tanah dan guru-guru yang hidup.  Semuanya bertutur tentang cara makan, minum  dan tidur yang sepantasnya. Sangkuriang tak punya  pengetahuan apapun yang Sangkuriang tidak tahu.  Sangkuriang tahu bahwa Sangkuriang hidup  bernafas, dan itu sudah pantas. Nyai memaksa  kesadaran Nyai ke dalam kesadaran Sangkuriang.  Nyai tak memberi tempat bagi Sangkuriang untuk  menjadi yang sepantasnya.

Nyai, Nyai Sumbi, ini adalah Sangkuriang yang  untuk kesekian kalinya meminta, memohon pada  Nyai… yang… yang… me… (ambruk  tertelungkup)…yang…

Dayang Sumbi mendekat lalu meraba ikatan kain  yang melilit perut Sangkuriang, Dayang Sumbi mencabut  kujang dari pinggang Sangkuriang dan  menghunjam-kannya tiga kali di perut dan hati  Sangkuriang. Sangkuriang tanpa sempat melihat wajah  Dayang Sumbi tergelepar lalu mati.

Dayang Sumbi : Inilah saatnya aku harus menyesal  untuk kedua kalinya. Kujang ini, benda runcing  hasil peradaban manusia ini sekian kalinya harus  ditangisi. Dan tubuh kaku ini harus terbujur, tanpa  batu peringatan.

Aku tak akan minta maaf Sangkuriang, atas  nama dosa-dosaku. Aku hanya ingin mengutuk  ayahmu yang datang dari barantah, membawa  tongkat, mengaku dewa, dan berjanji akan memberi  kehidupan yang lebih baik. Mungkin karena aku  terlalu lemah  sebagai sebuah tanda yang  dihidupkan. Kami mungkin terlalu berbeda.  Mungkin iya mungkin tidak.

Lampu panggung #1 padam bersamaan dengan  mengalunnya kembali asmarandana. Asmarandana yang sama. Asmarandana yang itu-itu juga.  Asmarandana mengayun semakin perlahan dan semakin  perlahan. Sayup-sayup durma menggantikan syair kasih  asmarandana bersama dengan menyalanya lampu  panggung #2. 

Sangkuriang dan Tumang saling berhadap-hadapan.  Keduanya ‘tampak’ sedang berbincang-bincang.  Kadang-kadang mereka hanya saling mengutuk atau  mengejek tanpa ada tanda-tanda bahwa sebenarnya  mereka saling mendengarkan.

Tumang : Kau bedebah, Sangkuriang. Buta kau,  sampai kau kira aku hanya seekor anjing  pemburumu, yang dengan seenaknya kau seret  kesana-kemari? Tubuhmu itu Sangkuriang,  kulitmu, tulangmu, dagingmu, darahmu; semuanya  tak akan ada tanpa aku. Akulah yang seharusnya  berada di atas punggungmu. Aku akui, hanya  masalah sejarah saja kalau aku sekarang yang kau  tunggangi.

Sangkuriang : Aku tahu kau yang menunggangi ibu,  Tumang. Kau anjing setan. Kau tak memberiku  kesempatan buat mengenal sebagian tubuhku yang  lain. Kau tak memberiku ruang buat mengenali  diriku sendiri. Kau pikir aku buta, tuli? Kau  penjelajah bajingan! Kau pikir aku tak tahu bahwa  kau hanya sampah yang dibuang dari langit, dan  mungkin akan diambil kembali jika tubuhmu dan  keberadaanmu tak dibutuhkan lagi?, atau jika  istana kahyangan kehilangan salah satu batu  batanya? Dan aku tak mau tahu, kau mau jadi  penguasa, jongos penguasa, meja tulisnya  penguasa, anjingnya penguasa, atau anunya  penguasa. Aku tidak akan peduli secuilpun.  (Sangkuriang mengambil sejumput makanan yang  dibungkus secarik kain lalu makan perlahan-lahan.)

Tumang :Ah, kau makan saja sejarahmu itu, makan  kebanggaanmu itu. Aku pun punya dunia, punya  bahasa, punya kekuasaan punya kehebatan

Sangkuriang : Terserah kau kalau kau merasa hebat.  Sah-sah saja kalau kau anggap benakmu itu  pengatur hidup. Boleh-boleh saja kau percaya  kelaminmu itu penguasa tubuh lain. Tapi tidak buat  aku, Tumang. Kau yang hanya budak buat aku:  Sangkuriang, biarpun aku tak punya kemegahan  dan keabadian.

Padahal berapa sering aku selalu bilang pada  Ibu, “Jangan ambil peduli! Jangan ambil peduli!  Jangan pedulikan!” Tapi Ibu selalu percaya.  Sial. Bodoh sekali!

Tumang : Sial? Ya. Kau sial karena kau tidak tahu  aku. Kau tidak tahu sejarahku. Tapi kau tidak  bodoh sama sekali. Setidaknya karena kau adalah  perwujudanku yang lain. Hasil pertukaran  perwujudan antara aku dan Dayang Sumbi.

Dan Dayang Sumbi pun tak bodoh. Dia sadar  dirinya, dia sadar kebutuhannya, dan yang paling  hebat, dia sadar kemampuannya. Apa lagi?

Ah, Dayang Sumbi, selalu saja aku bergetar bila  aku sebut namamu; selalu aku bergidik kalau  terbayang bahwa aku pernah ada di dalam dirimu,  di aliran darahmu, bahwa denyut jantungku pernah  dan akan selalu pernah seirama dengan denyut  jantungmu. Harus! Harus seirama! Kalau tidak aku

tak mungkin ada di sini bersama bocah ingusan ini,  bocah yang aku dengar bisanya cuma  menyumpah-nyumpah, merengek-rengek.

Aku tak pernah habis berpikir apa sebenarnya  yang kau maunya?

Sangkuriang : Kalau kau mau tahu apa yang aku peduli,  Tumang, biar kuberi tahu; aku cuma ingin tahu  kalau setiap kali kau kusuruh kejar burung itu,  kejar menjangan itu, kejar kelinci itu, cari babi,  ambil anak panah, kau harus patuh dan kau harus  kembali dengan kabar baik. Itulah ketika aku  rasakan denyutmu dengan denyutku, nafasku  dengan nafasmu. Bawalah hewan-hewan hasil  buruanmu dan berikan padaku, jelasnya,  lemparkan saja dan kau tidak usah tunjukkan  moncong baumu di depanku dan di depan ibu. Itu  sudah lebih dari cukup. Dengar itu, anjing kurap?!

Tumang : Padahal sudah kuajari kau cara mencari  harta alam, jejak menjangan, tai banteng, sarang  babi, arus yang penuh ikan. Hasilnya, tetap saja  kau adalah anak gunung yang pintarnya cuma naik  pohon kelapa dan mencangkul. Dan akhirnya  aku-aku juga yang mengendus-endus, waspada  pada setiap hembusan angin, mengawasi ranting  dan daun-daunan, menyusur tanah sejengkal demi  sejengkal, menandai wilayah yang baru atau lama  aku kenali, sementara kau cuma bilang “kejar, satu  saja jangan banyak-banyak!”

Entah dari mana kau belajar sombong dan keras  kepala seperti ini. Hah! Jangan-jangan aku yang  sial.

Sangkuriang : (Ia lempar sekerat daging kelapa) Makan  itu. Kalau tidak doyan salahmu sendiri kenapa kau  mau jadi anjing. Wauk…wauk…wauk…!!!  (Menirukan suara anjing) Hrrrrrr … hrrrr … Wauk …  wauuuuuuuuuuuuuk … hrrr … (Sangkuriang  mengendus kesana-kemari).

Tumang : Dulu aku bayangkan bahwa anak yang lahir  dari Dayang Sumbi adalah perempuan. Lalu ia  secantik dan selembut ibunya; seperti kupu-kupu,  atau…atau…seperti bunga putri malu. Ah jangan,  jangan seperti bunga putri malu, ia berduri. Seperti,  seperti kuntum, ah kuncup melati. Kuelus dan ia  akan mekar di telapak tanganku (Sangkuriang mulai berteriak-teriak dan berguling-guling). Dia akan  mekar dan menjadi wangi persis seperti ibunya. Aku  yakin bahkan sepucuk daun keringpun akan tergiur  padanya seperti mereka ternganga-nganga dan  meneteskan liur jika melihat Dayang Sumbi mandi  di padasan.

Sangkuriang : (Mengeluarkan tanah dari dalam  mulutnya.) Puah!!!

Tumang : Brengsek! (matanya terbelalak ke arah  Sangkuriang.) Ternyata yang kujumpai adalah setan  kecil ini. Tak kusangka dia akan tumbuh menjadi  sainganku sendiri. Ha, ha, ha, layaknya saja aku ini  seorang raja yang sedang terancam mahkota dan  tahtanya karena seorang bocah tak beradab gila ini.

Tapi, dia terlalu akrab dengan Dayang Sumbi.  Aku tahu Dayang Sumbi adalah ibu kandungnya  sendiri, tapi tak cukupkah baginya selama sembilan  bulan menjadi satu dengan tubuh ibunya sendiri,  selama sembilan purnama mendengar setiap  deburan darah ibunya,

Sankuriang : (menggigil kedinginan) HHH…

Tumang: geletar tangisnya, ayunan nafasnya, tidak  puaskah selama sembilan bulan dipeluk  (Sangkuriang menguap lebar-lebar.)  sedalam-dalamnya di tubuh ibunya yang gelap dan  lembab.

Sangkuriang : Jadilah manusia, Tumang, sang penguasa  sejati, penggagas yang tidak mengandalkan  indranya saja. Lihat daging kelapa ini sudah masuk  ke dalam perutku, gula merah ini (diambilnya secuil  gula merah dari bungkusan yang sama tempat dia  mengambil daging kelapa.), benda hasil tipu-menipu  juga aku makan. Amm!!! Lihat!, aku tidak hanya  makan yang kau makan. Aku tak hidup di dunia  yang sempit seperti duniamu. Dan jika pun aku  penguasa aku adalah penguasa yang tahu seluk  beluk benak dan duniaku. Aku adalah aku:  Sangkuriang sang manusia!

Kamu (pada Tumang) bisa lihat, bisa dengar, bisa  rasakan? Bisa kamu tirukan? Hah? Hah? Hah? Bisa  kau makan gula merah, bisa kau naik kelapa? Bisa  kau panen padi? Dasar dewa tak berguna. Kerjamu  cuma meneteskan liur, berlari, cuma  menggonggong, menggonggonggonggonggonggong. Atau terkaing-kaing jika ekormu terinjak, atau  terbirit-birit jika kamu lihat ada harimau belang.

Tumang : Masih saja rupanya kau bermimpi bahwa  kau adalah pemilik ibumu. Ha, ha, sementara kau  mungkin tak pernah berkhayal bahwa kau yang  dimiliki oleh ibumu. Apalagi memikirkan, siapa yang  menggenggam Dayang Sumbi.

Sangkuriang : Tumang, tidak seperti kau, aku bisa  bermimpi dan aku punya hak disitu sebagai pemilik  sejati duniaku. Ha, ha, dan kau pasti tak pernah  memperhitungkan itu.

Tumang : Kau selalu lupa bahwa aku yang menjamin  hidupmu, keberadaanmu.

Sangkuriang : Kau selalu lupa bahwa aku, akulah yang  menjamin hidupku, duniaku.

Tumang : Harusnya kau perhatikan aku. Aku ada dan  aku melihatmu. Kau ada dalam mataku di dalam  kepalaku.

Sangkuriang : Iya, ya, di sini, di luar mimpi ini ada kau,  binatang bau. Kau selalu ada di sekelilingku, selalu  menatapku dengan cara pandangmu yang  menjijikkan itu. Dan aku selalu, dan selalu saja  gagap jika harus menjawab matamu. (Sangkuriang  seperti teringat sesuatu.) Aku juga disini punya  dunia, kunyuk!

Berdirilah seperti aku, Tumang, dengan dua kaki  terpentang di tanah dan dua tangan yang mengadah  ke langit, dengan dagu menantang matahari! Ayo  tirukan! Ayo! Atau aku yang harus menirukan kamu  terus menerus? Iya, begitu?

Sangkuriang mulai merangsek ke arah Tumang. Dasar kau anjing tak punya harga diri, pemerkosa! Tumang menyambut sergapannya.

Tumang : Sekarang mungkin saatnya kau kuhabisi

Sangkuriang : Mahluk perampas. Bau busuk.

Tumang : daripada kau jadi Aku, daripada aku  harus mati buatmu.

Durma menghentak-hentak menjadi genderang perang  bagi keduanya. Mereka bergumul beberapa saat. Bergulat bernafsu memenangkan sesuatu. Sampai kedua-duanya  berteriak, mereka, sambil masih saling peluk, terdiam  sejenak. Setelah sadar sesuatu, mereka mundur beberapa  langkah, masing-masing tangan kiri memegang dada yang  sudah berdarah, sementara tangan kanan menghunus  kujang. Keduanya jatuh, mengejang, lalu mati.

Durma  menyisakan satu bait terakhir.

Asmarandana kembali muncul menghantar panggung #3.

Panggung #3 menyala. Ada Sangkuriang dan Dayang  Sumbi disana.

Sangkuriang : Nyai, kapan hujan terakhir turun?

Dayang Sumbi : Setahun yang lalu, Sangkuriang.  Setahun yang lalu langit masih mengirim hujan  dan kembang-kembang melati disini masih  berbiak dan aku masih bisa menjalin rangkaian  kuntum-kuntumnya.

Sangkuriang : Entah apa maunya “langit” itu? Padahal  dari mana lagi Nyai akan memetik melati kalau  dia tak mau lagi mencurahkan air ke tanah ini.

Dayang Sumbi : Air itu sudah ada dalam tanah ini.

Sangkuriang : (memukul tanah) Tanah yang keras ini?

Dayang Sumbi : Aku saja masih bisa menyimpan tunas-tunas melati. Mungkin kelak aku juga  masih bisa membuat rangkaian-rangkaian yang  lain.

Sangkuriang : Untukku?

Dayang Sumbi : Sangkuriang!

Sangkuriang : Lalu kapan Nyai akan memakai rangkaian  melati di rambut Nyai khusus untuk saya? Nyai  sering berkisah tentang pelangi terakhir yang  pernah memporak-porandakan ladang-ladang ini.  Nyai pernah bertutur tentang air abadi yang akan  mampu menghentikan waktu. Tapi Nyai tak  pernah mau menunjukkan semuanya secara  gamblang. Jangan selalu sembunyi Nyai,  percuma.

Dayang Sumbi : Apanya yang percuma, Sangkuriang?  Ladang kita bukan sekedar kisah-kisah. Waktu  yang kita miliki pun akan tetap mengalir.  Semuanya akan tetap tumbuh.

Sangkuriang : “Tumbuh,” sementara Nyai membiarkan  saya tumbuh seperti ini. Mati-matian saya  membunuh keberadaan Bapak dan mati-matian  pula saya tutup telinga pada orang-orang yang  berteriak, “Hei! Anak sundal!,” “Hei, bocah  cacat!” Cacat, tahu apa mereka tentang saya.  Hhh, selalu saja mereka berpihak pada Bapak.

Dayang Sumbi : Mereka punya hak, Sangkuriang.

Sangkuriang : Silakan, silakan kalau mereka punya hak  atas ucapannya. Silakan kalau mereka mau  mengatur tingkah-polahnya semau-mau mereka.  Tapi kapan saya punya hak atas saya, atas Nyai,  atas ladang-ladang saya sendiri, atas  ladang-ladang kita?

Dayang Sumbi : Kita masih punya tunasnya,  Sangkuriang.

Sangkuriang : Bohong! Nyai cuma ingin meninabobokan  Saya. Nyai tak benar-benar mau mendengar  keluhan saya. Nyai hanya peduli pada tanah, air,  tunas melati dan orang-orang.

Dayang Sumbi : Dari mana lagi aku akan hidup?

Sangkuriang : Dari saya, Nyai. Saya satu-satunya yang  paling merasakan bahwa Nyai hidup.

Dayang Sumbi : Usiaku jauh lebih tua daripada kau,  Sangkuriang.

Sangkuriang : Selalu saja begitu. Kenapa tidak lihat saya  sebagai, sebagai manusia, sebagai, sebagai pria  saja, Nyai?

Hening.

Nyai, kapan hujan akan turun lagi? Kemarau  sudah terlalu lama. Saya takut kuntum-kuntum  melati tak akan sempat lagi memberikan  kesempatan.

Dayang Sumbi : Kamu ini bicara apa? Bagaimana kamu  mengharapkan sesuatu dari kuntum-kuntum  melati? Seperti penyair saja kerjaanmu.  Menopengkan anu, mengelabui anu, memoles ini,  mengupas itu.

Sangkuriang : Ah, Nyai ini. Lalu kenapa Nyai mengapa  Nyai selalu menyempatkan diri meronce melati,  dulu, sambil nembang asmaradana.

Dayang Sumbi : Kau pikir memangnya aku sedang apa?  Kau terlalu menaruh curiga. Lagipula, kau kan sudah aku ajari. Harusnya kau pun bisa ngidung  sendiri.

Sangkuriang : Saya tak suka suara saya sendiri.  Suara saya, banyak yang menganggap suara saya  menyeramkan. Laksana gelombang laut kidul,  katanya. Saya lebih senang jika Nyai yang  bernyanyi.

Dayang Sumbi : Malu?

Sangkuriang : Bukan!

Dayang Sumbi : Kau malu dengan suaramu?

Sangkuriang : Bukan itu!

Dayang Sumbi : Kau malu dengan asmarandanamu?

Sangkuriang : Saya bangga dengan asmaranda kita,  Nyai. Tapi saya lebih bangga bahwa Nyailah yang  ngidung demi asmarandana, demi nyai, demi saya.

Dayang Sumbi : Apalah sekedar bernyanyi sementara  kita selalu di sini, dilihat orang sedang bermimpi,  sedang bercengkerama dengan melati-melati  busuk.

Sangkuriang : Melati milik mereka yang busuk. Mata  mereka busuk: terlalu tua buat melati yang  memang sekedar melati. Menyanyilah buat saya,  Nyai, tak ada yang jadi busuk.

Dayang Sumbi : Hmm, tak ada alasan buat menjadi  busuk memang. Cuma kalau aku harus  nembang, aku memang suka melakukan itu…

Sangkuriang : Buat Bapak?

Dayang Sumbi : Itu lagi, itu lagi.

Sangkuriang : Apa lagi? Tentang hujan lagi? Tentang  Asmarandana lagi? Tentang sawah ladang lagi?  Tentang, tentang kemarau lagi?

Dayang Sumbi : Sudah Sangkuriang, lebih baik kamu  pergi lagi melanglang. Lalu kembali nanti  membawakan aku kehidupan baru.

Sangkuriang : Begitu?! Nyai tidak suka kehadiran  saya?! Nyai menafikan cinta saya?! Nyai jijik  dengan cinta saya yang, yang, yang…kotor, kotor  karena saya harus mengagumi kejelitaan,  keabadian dan keagungan Nyai, ibunda saya  sendiri?

Dayang Sumbi : Jangan ajari aku moral, Sangkuriang!  Biarkan saja dia, kalau dia ada, memenjarakan  dirinya sendiri. Dan biarkan saja kita yang memenjarakan diri kita sendiri. Asal tolong,  jangan bicara muluk-muluk tentang aku, tentang  kamu, tentang bapak.

Sangkuriang : Sementara bilang “kalau memang ada,”  sementara itu juga Nyai akan selalu dan selalu  ada menyediakan tempat buat Bapak…

Dayang Sumbi : Apa balas budimu buat Bapak,  Sangkuriang. Dia mengajarkan kamu melihat,  mendengar sampai kamu tumbuh menjadi  pemuda (suaranya menjadi lembut) gagah,  cekatan, tampan, seperti sekarang.

Sangkuriang : Saya telah berkelana, Nyai.

Dayang Sumbi : Dan kau sudah merasa itu lebih dari  cukup, itu bisa memberimu segalanya:  kebijaksanaan?

Sangkuriang : Kekuatan Nyai, bukan sekedar  kebijaksanaan.

Dayang Sumbi : Itu biadab, Sangkuriang. (Suaranya  bergetar) Itu namanya biadab.

Sangkuriang : Kalau begitu tolong ajari saya. Beri  tahu apa itu beradab. Jangan cuma  menghina-hina saja. Saya juga pemuda yang  sedang mendidih, yang punya ingatan panjang.

Dayang Sumbi : Oh, Semesta, jangan berikan  percakapan ini buat kedua kalinya.

Sangkuriang : Percakapan apa, Nyai?

Dayang Sumbi mulai terisak.

Percakapan apa Nyai? Nyai bertemu siapa?

Dayang Sumbi : Kamu harusnya tahu.

Sangkuriang : Apa, kapan, di mana?

Dayang Sumbi : Andai saja saat itu…

Sangkuriang : Saat itu apa Nyai?

Dayang Sumbi : Oh, sama persis.

Sangkuriang : Jangan buat saya marah, Nyai.

Sangkuriang mencengkeram lengan Dayang Sumbi.  SementaraDayang Sumbi semakin menangis. Sangkuriang  pun menangis.

Jujur saja, Nyai. Tolong, Jujur saja. Siapa  yang menemui Nyai, kapan, ada apa?

Dayang Sumbi : Kalau saja kau pernah menjadi aku,  Sangkuriang, kau akan tahu.

Sangkuriang : Itu yang aku inginkan. Setidaknya  sebagian saya adalah Nyai, sebagian Nyai adalah  saya.

Dayang Sumbi : Bohong! Alasan! Kamu hanya ingin  merampas sesuatu dari dalam diriku. Akui saja!

Sangkuriang : Nyai, teganya Nyai…. Aku rindu tidur  dalam rahimmu, itu saja.

Dayang Sumbi : Ayo Sangkuriang, lakukan. Rampok  aku. Kuasai aku sepenuhnya, anggap saja aku  ini pelacur yang bisa kau bayar dengan  kemegahanmu,

Sangkuriang : Nyai!

Dayang Sumbi : (Memejamkan mata) yang bisa kau  paksa dengan bahasamu. Ayo Sangkuriang, ada  banyak yang tak kamu ketahui dalam tubuhku.  Cari tahu di sana, melanglanglah disana.  (Sangkuriang, menghunus kujang.) Dan jangan  pernah melabuhkan sesuatu. Aku adalah aku,  Sangkuriang, Dayang Sumbi yang selalu tahu bahwa dirinya adalah tuan rumah yang ulung.

Sangkuriang : Nyai… (Ia tusukkan kujangnya ke jantung  Dayang Sumbi.)

Dayang Sumbi : Aaah! Aku adalah aku, Dayang Sumbi  yang selalu menang pertempuran. Dayang Sumbi  yang abadi.

Sangkuriang : Nyai…

Dayang Sumbi ambruk ke tanah. Mati.

Sangkuriang : Nyai, saya tak akan minta pengampunan  atas nama saya dan atas namamu, Nyai. Saya  tak menyesal bahwa saya yang membunuhmu.  Biarkan saja nanti tuturan-tuturan lain yang  menggantikannya. Urusan saya sekarang adalah  mencintaimu sebagai kuntum melati yang akan  jadi kepala saya.

Maafkan saya jika kau kelak akan jadi  legenda, yang mungkin tak pernah kauimpikan.

 

Jatinangor, Sarijadi, 13 Oktober 1997

Terima Kasih untuk N. dan L. N. H.

Bagikan karya ini

Tentang Pengarya

Tinggalkan Komentar